[10] Cium
Aku payah soal cinta, aku bodoh soal rasa, aku gila soal dia, dan aku sadar bahwa seharusnya aku tidak terbawa suasana.
***
Gak tau kenapa, sejak pertemuan di gerbang sekolah waktu itu, Hera jadi sering ketemu sama cowok serampangan kayak Dega. Dan, hal paling gak banget dia sangka-sangka lagi, sekarang dia malah sedang berada di boncengan cowok itu.
Sama-sama hening, gak ada yang mulai percakapan. Hera agak gimana gitu, first time dibonceng cowok lain yang bukan bokapnya.
"Sengaja banget!" teriak Hera sewaktu Dega mendadak ngerem sepeda motor tanpa aba-aba. Udah gak pakek helm, Dega ngerem mendadak, keningnya jadi korban kebrutalan Dega yang terantuk pada helm cowok itu.
"Biar lo sadar."
"Sadar gimana maksud lo?"
"Gak lucu tiba-tiba lo kesurupan gara-gara ngelamun," jawabnya disertai seringai kecil.
Dega tanjap gas dengan kecepatan normal sih, tapi namanya juga motor satria, bunyi motornya beneran berisik.
Ke mana fokus cowok itu saat Hera melihat ada lubang yang lumayan besar di jalan yang akan dilalui.
"Dega awas!" Jeritan yang luar biasa membuat Dega kaget dan banting setir ke kiri, alhasil mereka jatuh dari sepeda motor. Ulah siapa coba?
Bukannya saling menanyakan keadaan masing-masing, Hera sama Dega malah debat udah kayak kontroversi antar para pejabat. Mana di pinggiran jalan lagi.
"Lo seharusnya fokus! Bilangin gue gak boleh ngelamun, lo sendiri malah ngelamun?!"
"Gue kaget tiba-tiba lo teriak, Cil."
"Kaget doang, keseimbangan harus dijaga dong. Masa motoran gitu aja oleng." Hera mencak-mancak nih di pinggir jalan sementara Dega lagi fokus membenarkan sepedanya.
"Lo kayak paling bener aja!"
"Ya, iyalah."
"Cewek emang gak mau disalahin."
"Kan gue udah bilang, beneran gak safety, jadinya kecelakaan kan!"
Diam, Dega kicep sementara waktu. Masalahnya daripada ngeladeni bocil, mending dia fokus sama motornya. Gak menduga, ban motor bagian depannya kayak bocor gitu. Alamat cari bengkel kalau kayak gini.
"Kenapa? Bocor?" tebak Hera yang melihat ban motor depan. "Ya, iyalah, gimana gak bocor, lubang sebegitu gedhenya lo main terabas aja, terus pas banting stang juga udah telat lagi!" Hera masih menggerutu, gak tau aja Dega pas udah ngamuk kayak gimana.
"Diem!" ucap Dega tegas dan sorot matanya yang tajam. Hera mati kutu seketika.
"Lo dibiarin malah ngelunjak ya. Gak usah bikin emosi, gue muak denger ocehan lo dari tadi."
Hera cemberut. Dia diam sekarang, takut kalau mengoceh lagi Dega bakal ngapa-ngapain dia. Moodnya sangat buruk. Mending tadi dia naik ojol aja kalau ujungnya kayak gini.
Hera mau cari ponselnya di tas, tapi tidak ditemukan. Hera baru ingat, ponselnya tadi ia taruh di samping desikator pas mindahin cawan-cawan porselen ke meja praktik. Ia lupa gak masukkin ponselnya ke tas. Takdirnya, emang dia hatus terjebak sama Dega.
"Gue mau cari bengkel, lo kalo gak mau ikut gapapa sih, bisa mesen ojol atau telepon temen lo."
"Udah niat gitu gue, masalahnya ponsel gue ketinggalan di lab." Hera menjawab yang sebenarnya. Mau jalan kaki juga agak jauh, nunggu angkot juga gak mungkin karena daerah sini jarang ada kendaraan umum.
Dega tertawa serata berkacak pinggang. "Bocil, bocil, belum tua-tua amat tapi udah pelupa."
Hera mendengkus, sepertinya Dega ini emang suka lihat Hera sengsara. Ekspresinya itu loh annoying banget. Hera merasa hari ini hari tersialnya.
"Bantu dorong motor gue dong, cari bengkel."
Selain annoying, Dega juga seenak jidat banget. Nyuruh-nyuruh Hera dengan gampangnya.
"Salah lo juga ini, tadi ngagetin gue. Coba aja kalo lo gak teriak, gue pasti banting setirnya bisa stabil."
Capek Hera mendebat. Energinya terbuang percuma karena tadi marah-marah. Dega kayaknya juga bukan tipe orang yang mau dengerin omelan orang.
"Ya."
Jawaban singkat membuat Dega menoleh, raut masam Hera membuat cowok itu menarik sudut bibirnya.
"Cil, lo itu udah jelek, raut lo begitu malah tambah jelek."
Bisa nggak sih ngutuk Dega jadi batu?
***
Perasaan yang ban motornya bocor itu Dega. Tapi, yang nungguin motornya dibenerin itu Hera. Ini gak kebalik? Seharusnya Dega dong yang di sini. Ini gak tau Dega ke mana. Pas nyampek bengkel terus udah tau motornya dibenerin itu cowok malah hilang. Hera mau nanya sih tadi, tapi kayak gak berhak aja nanya-nanya. Entar kegeeran lagi.
Gabut banget Hera. Bingung mau ngapain, maunya main ponsel tapi ya gimana ponselnya aja masih di lab. Hera cuma ngayun-ngayun kaki gak jelas nunggu Dega balik. Buat kesel aja itu cowok.
"Loh, ceweknya Dega, ya?" tanya Elios dengan tampang ngeledek. Mana gak ada yang lucu sama sekali.
"Ngapain lo di sini?" Kali ini Satya yang bertanya.
Ini tiba-tiba dua orang datang terus ngasih pertanyaan. Hera gak kenal, tapi wajahnya kayak gak asing. Ah, dua cowok ini kan kakak kelasnya— temen Dega yang di warkop waktu itu.
"Oh, nungguin motornya Dega dibenerin." Satya manggut-manggut membuat kesimpulan sendiri. Dia bisa melihat jelas ban motor depan Dega sedang direparasi.
Si Elios yang gak kunjung dijawab tanya lagi. "Lo ceweknya Dega, kan? Ngaku lo."
"Ih, apaan sih! Ngaco." Hera memutar bola mata.
"O ... gitu, kirain iya. Kalau iya juga gak apa sih. Tapi, mana nih si Dega kok gak kelihatan?" Elios celingukan, sosok Dega gak terlihat. Ya kali si cewek ini nyuri motor Dega.
"Gak tau gue," jawab Hera malas.
"Yuk, Sob, motornya Deva udah bener nih," kata Satya pada Elios yang mengambil alih motor dari bengkel. "Lo masih nungguin motor Dega dibenerin?"
Hera mengangguk.
"Nih." Satya menyodorkan kertas berisi nomor teleponnya. "Bisa lah, add contact gue."
Hera menerima sodoran kertas itu. Agak sangsi, tapi ia terima saja buat sopan santunnya sebagai adik kelas.
Elios memukul lengan Satya. "Sa ae lo masih bisa modus."
Satya nyengir. "Bye, kita cabut," ujar Satya mengeluarkan senyuman manis yang memperlihatkan lesung pipinya yang dalam.
Setelah kepergian Elios dan Satya Hera kembali sendiri. Hera melihat nomor Satya di lembar sobekan tadi. Hera membuat bulatan kecil lalu membuang asal kertas itu. Masa bodoh, ia juga bukan cewek gampangan yang asal save kalau belum dekat-dekat amat.
Entah dari mana saja Dega, cowok itu kembali dengan sekantung kresek putih. Ia melihat kertas yang dibuang Hera dan mengambilnya. Setelah tau itu nomor telepon, Dega membuangnya kembali ke tempat yang seharusnya.
"Kok lo bisa dapet nomornya si Satya?" Dega penasaran. Tentu saja dia ingat dua belas digit nomor teman dekatnya itu.
"Tadi ngasih."
Dega tampak berfikir. "Oh, ngambil motor si Deva?"
"Hem." Hera jawab seadanya.
"Buat lo nih." Dega menyodorkan minuman mineral dingin dan dibalas dengan tatapan curiga Hera. "Kurang baik apa coba gue? Ambil gih."
Hera menerima minuman itu. Baik juga si Dega. Ternyata dia abis dari minimarket.
Kemudian Dega berjongkok menarik kaki sebelah kiri Hera. Cewek itu terlonjat tentu saja. Kaget diberi sentuhan seperti itu.
"Dengkul lo luka. Gue mau obatin."
Hera melihat ke bawah ke arah dengkulnya. Ada beset-beset sedikit, juga ngeluarin darah tapi gak banyak soalnya kelihatannya kayak udah kering. Kenapa dia gak nyadar dari tadi? Kenapa harus Dega yang sadar?
Dega dengan telaten mengobati luka itu. Perlahan tapi pasti. Dia udah kayak petugas PMR. Cowok itu mendongak setelah selesai ngobatin luka Hera dan ditutup sama plester.
"Mau cium?"
"Hah?!" Hera syok berat. Ia merasa sesak, debaran jantungnya tiba-tiba menggila. Maksud ucapan Dega apa? Tiba-tiba menawarinya cium? Apa Hera salah dengar? Telinganya masih normal, kan?
"Mau cium nggak?" ulang Dega lagi.
"C-cium?"
"Gak usah merah gitu kali mukanya." Dega nunjuk kresek yang ada di samping Hera.
"Cium."
Muka Hera seperti panas, mungkin akan terlihat merah karena malu. Otaknya juga tidak bisa berfikir normal. "Lo mesum banget!"
Dega mendesah, ternyata otak cewek yang ada di hadapannya ini lemot luar biasa. Cowok itu duduk di samping Hera dan mengambil sesuatu dalam kresek.
"Nih, cium," ujarnya sembari menyodorkan permen berwarna merah rasa ceri.
***
HAHAHA....
NIAT YA KAMU BIKIN ANAK ORANG JANTUNGAN
LAGUNYA NCT DREAM YANG JUDULNYA NEVER GOODBYE ENAK BANGET PLISSS😭😭😭
SEE U......
LOVELIN
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top