[09] Dibonceng Dega
Siapa yang tahu, perselisihan adalah awal dari munculnya sebuah rasa? Hati gak bisa ditebak, perasaan juga sulit diprediksi. Yakin ... gak mau jatuh sama dia yang menyebalkan itu?
***
Hera, Arel, Ikke, dan Cici kini ada di belakang sekolah. Seharusnya kemarin mereka harus membicarakan ini. Tapi, kemarin, saat mereka selesai praktikum. Ikke dan Cici langsung menghilang dan tak dapat ditemukan.
Ikke dan Cici bertukar pandang, rautnya berubah bingung saat tatapan tajam Arel menghunus mata mereka.
"Maksudnya apa nyuri tugas kita?" Arel to the point, ia maju selangkah sambil berkacak pinggang.
Hera ikut maju berusaha meredam emosi temannya itu. "Rel, santai aja Rel, tanya baik-baik."
"Gabisa, Her, gara-gara mereka kita kena hukuman!"
"Lo kalo ngomong dijaga, bisa? Siapa yang nyuri sih?!" sanggah Cici tak mau kalah.
"Emang kalian ada bukti apa?" Kali ini Ikke yang bersuara.
"Wah, songong kalian! Kemarin kita liat—"
"Oke, kalo itu bukan salah kalian. Sorry karena kita udah nuduh sembarangan," ujar Hera. Ia tak mau ada perkelahian di pagi hari. Menyerah saja. Lagi pula ia ataupun Arel tak punya bukti kalau memang Cici dan Ikke yang mencuri tugas. Hera dan Arel hanya memiliki asumsi karena di ruang guru kemarin tugas Cici dan Ikke sama persis dengan tugas milik Hera dan Arel yang hilang.
Cici dan Ikke pergi dari sana dengan langkah angkuhnya.
"Ih, Hera apaan sih?!"
"Udah lah ngalah aja, toh kita gak ada bukti, Rel. Kalau tahu Bu Grace, kita juga yang bakal disalahin." Hera menoyor kepala Arel. Hera juga bukan tipe orang yang suka mengalah, tapi ia memikirkan efek ke belakangnya. Bisa jadi setelah Bu Grace mendengar keributan ini, beliau malah menambah hukuman.
"FINE!"
Hera tertawa melihat temannya yang sedikit merajuk. Matanya menangkap sosok Deva yang sedang berjalan beriringan dengan Bu Nani. Kelihatannya mereka sedang membicarakan sesuatu yang asik, bahkan Hera dapat melibat Bu Nani tertawa beberapa kali karena Deva.
"Eh, Rel, liat abang lo deh." Hera menunjuk Deva dengan Bu Nani.
"Kenapa? Biasa aja liatnya, Her."
"Gak, gitu, kayak orang pacaran tau nggak sih."
Arel tertawa. "Tu si abang gue emang suka sama tuh guru fisika. Biarin dah, gue si gak mau ikut campur."
Hera manggut-manggut. Jika selama ini ia hanya tahu cerita itu dalam buku novel, iya cerita murid yang mendekati gurunya ataupun sebaliknya. Kini ia sadar, bahwa novel juga kadang terinspirasi dari kisah nyata. Contohnya saja yang ada di depannya saat ini.
"Gak usah terkejut gitu, Her. Bu Grace tuh, suaminya malah dosennya waktu kuliah," papar Arel membuat Hera membulatkan mata.
"Hah?! Serius?"
"Lo nggak tahu?!" Kini ganti Arel yang menoyor kepala Hera. "Berita itu udah gak asing tau nggak. Udah nyebar juga, seantero jurusan kita juga pada tau sih. Kudet lo ah! Lo sih kebanyakan baca novel."
"Ishh, gak gitu juga!"
"Iya, denger-denger sih ya, suaminya bu Grace itu dosennya waktu kuliah dulu." Arel dan Hera mulai berjalan menuju kelas. "Makanya yang update, jangan baca novel percintaan mulu."
"Biarin si, itu namanya mencari referensi."
"Referensi apaan? Pacar aja nggak punya."
"Gue gak minat pacaran! Wlee." Hera menjulurkan lidah.
"Iya, deh, percaya."
***
Laboratorium kimia analis, di sinilah Hera dan Arel berada. Bukan pelajaran tambahan atau praktikum yang membuat mereka ada di sini, tapi karena hukuman yang mereka dapatkan. Ya, bu Grace sepertinya ingin memanfaatkan peluang yang ada.
Lusa adalah jadwal praktikum untuk anak kelas dua belas kimia analis satu. Sudah jelas pembimbing praktik mereka itu bu Grace—kaprodi jurusan kimia yang yang merangkap menjadi pembimbing sekaligus wali kelas murid dua belas kimia satu. Beliau tak suka membuang waktu dengan acara berebut alat kimia yang akan digunakan muridnya nanti. Maka dari itu beliau memberi hukuman Hera dan Arel untuk menyiapkan setiap alat yang akan digunakan di setiap meja masing-masing kelompok.
"Harus ekstra hati-hati, Rel, tau sendiri ni alat-alat pada mahal-mahal anjir," ungkap Hera. Ia menuju lemari kaca untuk mengambil beberapa buah pipet.
Arel yang sedang mencari gelas ukur di lemari kaca seberang menoleh. "Gue dari tadi ngejer buat ati-ati. Takutnya gue nyenggol atau apa. Kelar kita."
Suara bising di depan membuat Hera dan Arel terganggu. Apalagi mereka sekarang sedang menata peralatan di laboratorium yang rata-rata terbuat dari kaca.
Gak heran sih, bagian samping agak depan dari laboratorium adalah tempat praktik anak mesin. Pasti mereka lagi praktik makanya suaranya bisa sebising ini. Kalau kayak gini salah yang bangun sekolah. Kenapa laboratorium kimia harus dekat dengan tempat praktik anak mesin.
Heta mengintip dari jendela. Terus terang saja dia kepo dan ternyata memang benar, anak kelas dua belas sedang praktik. Dilihat dari betnya saja kentara.
"Hera cepet ih, malah ngintip-ngintip lo!"
Hera malah cengengesan. "Sori-sori."
"Males banget gue sebenernya, bukan kita yang salah, malah kita yang ngerjain!" Arel dari tadi emang ngedumel sih, tapi dia tetep menata alat-alat kimia di atas meja dengan rapi.
"Itung-itung cari pahala, Rel."
"Seharusnya gue udah ada di rumah nih jam segini, marathon drakor yang kemarin," tukas Arel sambil mengembalikan keranjang alat-alat ke tempatnya semula.
"Drakor mulu."
"Kayak lo enggak aja. Haha."
Dering ponsel Arel membuat tawanya terhenti. Arel berdecak mengetahui siapa yang meneleponnya. Si tukang rusuh, temen abangnya, alias Dega kampret.
"Kok gak diangkat?"
"Biasa si kampret."
Hera tertawa. "Siapa, Rel?"
"Dega."
Ohh, Dega. Hera membatin.
"Kenapa sih?!"
"Si Deva mau kencan, motornya lagi di bengkel. Lo di mana? Dia mau minjem motor lo ini."
Arel memutar bola matanya. "Kencan-kencan! Males!"
"Eh, jadi adek gak tau diri dikit. Gue aduin juga ke Satya kalau lo naksir dia," ancam Deva tiba-tiba dari balik telepon.
"LOH KOK TAU!" Sial, kok abangnya bisa tau dia suka temennya sih. Kan berabe. Masalahnya Arel mau memendam rasa itu.
"Pokoknya lo cepet pulang, gue mau pinjem motor lo."
"Tapi, Hera gimana? Gue nganterin Hera pulang dulu. Ini dia lagi gak bawa motor."
"Gampang. Nanti biar Dega yang anter."
"Yakin, si kampret bakal bawa temen gue pulang dengan aman selamat sentosa?"
"Bentar gue tanya dulu orangnya." Deva sedikit menjauhkan teleponnya, meskipun begitu samar-samar Arel dapat mendengar percakapan abangnya dan temannya itu.
"Lo bisa bawa pulang temennya si Arel dengan aman selamat sentosa nggak, Ga?" tanya Deva dengan kalimat sama yang diucapkan Arel tadi.
"Lo pikir?"
"Lah, gue nanya ini." Deva berdecak.
"Hmm."
"Jangan diculik, tuh anak orang, baik-baik, ye?" Deva puk-puk pundak Dega. Untung Dega mau, kalau tidak, bisa batal kencannya dengan guru tercinta, eh, ayang tercinta maksudnya.
Telepon dimatikan. Arel langsung menatap Hera dengan rasa bersalah. "Sori, gue gak bisa anter lo balik."
"It's okey, gue bakal pesen ojol."
"Nooooo. Lo bakal balik sama Dega."
"KOK DEGA?!"
Arel cuma terkekeh dan menampilkan jari pertanda peace.
***
Kalau di cerita-cerita pada bilang 4L alias Lo Lagi Lo Lagi, karena udah terlalu sering maka Hera menggantinya menjadi 2D 2L alias Dega Lagi Dega Lagi. Selain Dega apa gak ada cowok lain gitu yang jemput dia?
Tadi mau nolak sebenernya, waktu tau Dega yang bakal anterin Hera pulang. Tapi, namanya juga Arel, gak maksa mana bisa. Repot kalau udah debat sama Arel, bisa panjang urusan dan gak kelar-kelar.
Arel udah cabut dari beberapa menit yang lalu. Sekarang, Hera lagi ngeliatin Dega yang mau belok di tikungan jalan depan sekolah.
"Hai, Cil, sori lama, abis isi bensin."
"Gak nanya."
"Gue cuma jelasin."
Siapa juga yang butuh penjelasan.
"Mana helm?" pinta Hera dan dibalas Dega dengan kening berkerut.
"Lah, lo kira gue tukang ojek?" tanyanya gak percaya.
"Lo gak safety banget sih! Nanti kalo di jalan ada apa-apa gimana? Kalau ada polisi gimana? Kalau misal lo kecelakaan gue gak pakek helm gimana Dega? Lo gak berpikir panjang ya!"
Sumpah ya, si Hera ini berisik banget, kayak emak-emak yang lagi belanja di pasar terus minta dilayanin duluan padahal datang belakangan.
"Gue sumpel juga itu mulut pakek kaos kaki." Dega sebal. "Urat lo putus semua nanti mampus."
Bugh. Hera memukul badan Dega.
"Kok mukul sih?!" Dikira nggak sakit apa, ya? Main pukul seenaknya. Ia kalau samsak benda mati, Dega, kan makhluk hidup.
"Biarin! Biar tau rasa!"
Dega menggelengkan kepalanya tak percaya. "Sadis bener, Cil? Udah baik gue masih jemput lo ke sini, malah kena pukul." Dega mengadahkan kepalanya ke atas. "Dosa apa hamba, Tuhan?" monolog cowok itu.
"Udah deh, gak usah sok-sok an tersolimi gitu. Mana helm?"
"Nih anak emang gak hisa dibilangin. Gue bukan kang ojek, ya helm gue cuma satu lah."
Hera mendesah panjang.
"Ya udah sih, gak mau bareng juga ora popo." Dega bersiap menancap gas motor satrianya. Tapi urung karena Hera menarik kerah baju cowok itu.
"GITU AJA GONDOK!" Setelah mengatakan itu Hera naik begitu saja ke motor Dega.
***
setop cakep bisa nggak sihh?!😭😭😭
SONG KANG😭😭😭
masa kemarin abis mimpiin song kang lokal, ada tiga lagi😭😭😭
strange banget sih aku
See you next chap
Lovelin
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top