[08] Gamers

Chattingan? Maaf, itu hanyalah sampingan di saat game ku tidak kumainkan.

***

"Ga, lo udah sampek level berapa?"

"Bentar, yashhh, akhhh!" Dega membanting ponselnya kesal karena fokusnya terpecah.

"Lo sih Dev! Mati kan gue."

Deva tertawa. "Waktunya lo kalah itu, mah."

"Eh, anyink, pinjem korek lo dong," pinta Elios kepada Dega.

"Noh." Dega melempar korek itu dan ditangkap gesit oleh Elios.

"Untung tangan gue cekatan."

Dega, Deva, Elios sedang berada di warkop. Biasa anak cowok suka nongki sambil nyebat, apalagi warkop ini disediakan free wifi jadi mereka sangat nyaman di sini. Kedatangan Mario, Orlan, Satya, dan Arsal membuat geng mereka lengkap.

DDEMOSA singkatan dari nama Dega, Deva, Elios, Mario, Orlan, Satya, dan juga Arsal. Enam orang ini saling kenal saat sekolah menengah pertama karena sekelas. Lalu pertemanan mereka berlanjut sampai ke sekolah menengah kejuruan. Dega, Deva, dan Elios yang memilih jurusan yang sama, yaitu teknik elektro. Sementara, Mario memilih teknik listrik dan Satya, Orlan, dan Arsal memilih teknik permesinan.

"Nyet, calling ayang beb lho gih, gue ada tugas kimia nih," sahut Orlan membuat Dega mengernyit.

"Ayang beb? Saha? Gue masih jomblo, Lan."

"Yang waktu itu lo bawa ke sini," ujar Satya sambil merangkul pundak Dega.

"Lagian nih ya, ngapain aja kita masih ada mapel kimia dasar, menuh-menuhin otak gue aja!" Arsal menyahut dan langsung ditoyor oleh Mario.

"Sok-sok an lu njir, belajar aja kagak pernah lu!"

"Berisik lo pada, gue kalah lagi, kalian awas!" Dega tampak tidak mempedulikan teman-temannya itu. Yang terpenting baginya saat ini adalah game, game, dan game. Tidak ada yang lebih penting dari itu.

"Si Onyet kalo lagi nge-game sensi juga, njing," sambar Deva menyesap batang tembakaunya.

"Ngeri-ngeri." Elios yang tadi duduk di sebelah Dega langsung menggeser tubuhnya sedikit, menciptakan jarak dengan Dega. Pergeseran itu membuat Dega melirik Elios datar. Tak bertahan lama karena ia fokus pada ponselnya.

"Ga, si Hera kalo diliat-liat cantik juga, gue boleh ambil ga tuh?" tanya Satya.

"Deketin aja, Sat, pepet, kalo perlu pelet aja biar suka," jawab Dega asal. Percayalah, apa saja bisa keluar dari cowok itu tanpa ia pikirkan. Fokusnya hanya pada game. Secinta itu Dega dengan game-nya.

"Anjayy, ini siapa sih pake acara follow-follow segala!" Dega berdecak, padahal hanya ada satu notif saja permintaan mengikuti tapi sukses membuat cowok itu frustrasi. Anehnya, ia malah kesal saat tahu ada seseorang mem-follownya.

Dega menyudahi bermain gamenya, jarinya sudah capek sedari tadi bergerak lincah di atas layar. Ia membuka aplikasi instagram, menyetujui permintaan mengikuti dari seseorang.

Usernamenya aneh, Dega tak mengenal orang itu. Saat ditelusuri juga, akunnya hanya mengepost sebuah quote-quote random. Dega mengedikkan bahunya acuh. Lumayan nambah satu followers.

"Eh, anjir, Bu Nani jawab chat gue, hahaha." Wajah Deva mendadak sumringah, menurutnya balasan chat dari Bu Nani moodbooster sekali. Dengan semangat ia mengetikkan balasan dengan gombalan-gombalan buaya khas anak teknik. Biasa, anak teknik mah modal gombalan aja bisa dapet nilai plus.

"Lo jadi pacaran sama tuh guru fisika?!" tanya Elios heboh.

"Jadi lah, mayan lah ... cantik, kecil, unyu-unyu juga." Deva mulai membayangkan sosok guru fisikanya itu. Deva tak memusingkan jarak umurnya dengan Bu Nani, meski terpaut lima tahun lebih tua darinya.

"Alay lo Dev!" seru Dega menggeplak kepala bagian belakang sohibnya itu. Sekali-kali kepala Deva harus dibenturkan ke tembok biar sadar.

"Siapa tahu jodoh, ya nggak, Dev?" Arsal tampak menyetujui hubungan Bu Nani dengan Deva.

"Bener si, jodoh kaga ada yang tahu." Mario menyahut lalu memakan kerupuk.

"Lo gak usah banyak komen deh, Ga. Lo aja masih jomblo, pake acara ngata-ngatain Deva alay segala." Orlan mendukung Deva dan mengajaknya bertos.

"Gue nih tipe pemilih." Dega membenarkan tatanan rambut depannya yang agak panjang kemudian memakai topi hitamnya kembali. Sehingga tersisa poni-poni yang terlihat sedikit menjuntai sampai menutupi dahinya. Khas jamet.

"Pemilih dada maksud lo?" tanya Satya menahan tawa.

"Nah, itu tau."

"Selera lo bro, mantap." Ucapan Elios mendapat acungan jempol Dega.

"YASH!" Deva menggebrak meja dan berseru heboh. "Bu Nani terima setuju gue ajak jalan nanti malem!"

Dega, Mario, Orlan, Satya, dan Arsal sama-sama melongi melihat tingkah Deva. Temannya itu sedang berada di fase kasmaran. Mereka menggelengkan kepalanya, efek bucin itu sangat mendominasi.

"Bagus lo bagus, nanti malem kencan, besok UH fisika, auto minta previlege ya lo?" sindir Elios.

"Apaan sih lo? Sirik ya gegara jomblo?" Deva tersenyum mengejek. "Gue cabut dulu, mau siap-siap." Deva meraih tas ransel dan kunci motor yang ada di atas meja.

"Heh, kopi lo belum dibayar!" teriak Orlan dan tak digubris Deva. Cowok itu malah menunjuk-nunjuk Dega.

Dega berdecak dan menunjukkan jari tengahnya. Deva malah terkekeh dan segera melajukan motornya.

Ponselnya refleks ia lempar setelah ada nada dering telepon masuk.

"Gini nih, banyak cuan, ada telepon bukannya diangkat malah dilempar." Mario mengambil ponsel Dega. Tertera nama "Aummm" di layar ponsel.

"Aummm siapa, Ga?"

"Nyokap gue, gue kaget anjir, tiba-tiba ditelepon." Spontannya Dega adalah ketika kaget, pasti barang yang dipegangnya itu dilempar.

"Angkat anyink, berisik."

Bukannya apa-apa. Jika Melisa—bunda Dega menelepon anak sulungnya itu hanya ada dua kemungkinan, yang pertama menyuruh Dega pulang dan yang kedua adalah menyuruh cowok itu mengantar pesanan.

Dengan berat hati, Dega menggeser tombol hijau.

"DEGA, KAMU DI MANA?!"

"Di-"

"CEPAT PULANG! ANTAR ADEK KAMU NIH MAU KE TEMPAT LES!"

"Tapi Ma-"

"SEKARANG! ATAU ...."

"Iya, Mah, Dega p-"

Telepon ditutup sepihak. Dega menggerutu tidak jelas sambil menatap ponselnya. Suara tertawa nyaring terdengar begitu menyebalkan.

"Ngapain pada ketawa woy?!"

"Anak mami lo!"

"Dega nurut juga sama ortunya."

"Ahahah, suka gue liat lo menderita."

"Selamat membabu, Aldega Pranata."

Fuck. Dega mengacungkan kedua jari tengahnya pada sohib-sohibnya lalu pergi dari warkop itu

***

Sosok Melisa—ibunda Dega sudah ada di depan pintu menyambut kedatangan anaknya yang baru pulang. Wanita paruh baya itu bersedekap, kaki kirinya ia ketuk-ketukkan di lantai.

Dega jalan santai gitu aja, terus cengengesan melihat bunda ratu tercinta, eh tapi boong, dengan tatapan garang.

"Bunda kan udah bilang tadi pagi, nanti abis pulang sekolah kamu cepet pulang! Tuh, anterin adek kamu yang mau les di tempat gurunya. Lah, kamu malah pulang lama, ke mana aja kamu?!" Melisa gak bisa biasa.

"Biasa lah, Bun, nongki sama anak-anak," jawab Dega ala kadarnya.

"Oh."

"Oh, aja gitu?" Tumben, biasanya langsung nyerocos gak karuan kalau Dega tidak melakukan apa yang ibundanya mau. "Lagian, nih, ya, si Dhea kan udah ada motor listrik. Kenapa sih masih manja aja, masih anter jemput segala! Dikira gojek kali ya," gerutu Dega bertubi-tubi. Ibundanya udah melotot, siap nerkam gitu pas Dega ngelirik. Tapi, sebelum Melisa ngamuk lagi Dega langsung kabur masuk ke dalam rumah.

"Nyokap gue kayak macan sumpah," desisnya setelah masuk ke dalam rumah. Setelahnya ia mendengar suara teriakan nyaring memekik namanya.

Dega langsung ngicir aja ke kamar mandi karena kebelet pipis. Langkahnya terhenti sebab ia berpapasan dengan adik perempuannya yang masih SMP kelas dua, Dhea namanya. Dega langsung memicing, rautnya kesal.

"Lah, lo mau ngapain?" Dega udah berkacak pinggang.

"Mandi lah," jawab Dhea enteng.

"Ini gue dateng-dateng langsung kena sembur nyokap gara-gara lo, eh lo malah belum siap, kan anjir." Mendengar gerutuan Dega, Dhea cuma mendengkus.

"Gue dulu ah, udah kebelet nih." Dega mau masuk ke kamar mandi, decakan yang tiba-tiba keluar dari Dhea mengurungkan langkah Dega.

"Lo ngapain kayak gitu? Mau marah, iya? Gue pipis gak sampek satu menit, lo mandi setengah jam," pungkas Dega kesal.

Setelah Dega keluar, Dhea langsung nyelonong masuk agak buru-buru, pintu kamar mandi juga ditutup dengan dorongan begitu kuat sehingga menimbulkan suara yang keras.

"Gue selepet juga lo lama-lama!" rutuk Dega dari balik pintu kamar mandi.

Dega duduk di sofa yang ada di ruang tengah, cowok itu melepas topinya. Ia mengambil ponselnya kemudian melanjutkan game-nya tadi. Main game kayak gitu itu seru, ya, cuma bermodal kegesitan jari sama taktik, tapi cukup memicu adrenalin. Chat dari grup kelas sedari tadi ramai dan personal chat lain yang masuk pun dari teman-temannya pun tak Dega hiraukan.

Istilah "cowok gak nge-game itu gak bisa", kayaknya berlaku buat Dega. Kalau udah nge-game pasti ngerasa udah punya dunia sendiri dan sering lupa waktu, sampai-sampai ada jeritan yang memekik lagi membuat Dega melempar ponsel. Sudah terhitung dua kali hari ini Dega melempar ponsel, gegara kaget.

"SURUH ANTER ADIK KAMU, MALAH ASIK-ADIK NGE-GAME!"

Dega sempat mengambil ponselnya yang terpental ke lantai, rasanya ia ingin mengumpat karena ponselnya tergores sedikit di bagian layar.

"Apaan deh, Bun? Orang Dheanya aja belum siap."

"Apanya yang belum siap?" Dhea muncul. "Abangnya aja tuh yang males," cibir gadis empat belas tahun itu.

"Kok jadi nyinyir?"

Melisa udah mulai pijit-pijit pelipisnya merasa pening. Anaknya itu cuma ada dua, tapi kalau ribut udah kayak mau tawuran massal. Melisa juga heran, padahal rentang umur Dega sama Dhea juga cukup jauh, yaitu empat tahun. Beda lagi kalau rentang usia mereka cuma satu atau dua tahun, Melisa mungkin akan memaklumi itu.

"Dega, mending kamu ngalah. Cepet anter adek kamu!" Selalu seperti itu. Dega sebagai anak sulung harus mengalah apalagi dia anak cowok, masa mau adu cocot sama adiknya yang cewek itu.

"Salah terossss." Dega langsung ambil kunci motor lalu keluar, sementara Dhea menyalimi tangan bundanya terlebih dahulu kemudian menyusul abangnya yang sepertinya sudah siap mencak-mencak kalau Dhea kelamaan keluar.

***

Part ini isinya penuh sama Dega😭😭😭

Eheheh.


Stay healty


Lovelin


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top