[06] Kesalahan
Teman atau bukan, orang asing atau kenal. Jaga jarak dan gak terlalu percaya sama orang emang harus dilakukan. Tau sendiri, kan, rasanya dikecewakan itu gak enak.
***
Hari Rabu, kelas sepuluh kimia analis satu mendapat jadwal praktikum kimia di laboratorium. Pak Cindy selaku guru yang mengajar menyuruh siswanya agar membaca buku panduan praktikum terlebih dahulu agar lebih memahaminya.
Situasi bukan berubah menjadi hening dan malah sebaliknya, ramai dan tidak terkondisi dengan baik. Ada yang main ponsel, tidur-tiduran di atas kursi, menggosip, dan lain sebagainya. Dalam artian mereka masih di dalam laboratorium.
Beberapa kali Pak Cindy menegur agar jangan ramai. Beberapa menit mereka terdiam lalu ramai kembali, ya ... begitulah murid-murid. Jurusan kimia memang dipandang lebih, tapi sikap mereka juga kadang gak jauh beda dengan murid jurusan lain. Ada bobrok dan nakalnya juga.
Hera, Arel, Mei, Afa menghampiri meja Pak Cindy yang ada di pojok kanan depan kelas. Pak Cindy termasuk guru baru di SMK Berlian, usianya saja tergolong muda, usianya bahkan masih menduduki kepala dua. Tak heran, beberapa murid terkadang berbicara tak formal pada Pak Cindy. Namanya memang kecewek-cewek an, tapi memang itu namanya.
"Ngapain, Pak?" tanya Mei melihat Pak Cindy yang sibuk dengan kertas-kertas ulangan.
"Koreksi ulangan harian anak elektro," jawab Pak Cindy yang masih sibuk mengoreksi.
"Wahh, ngajar kimia di jurusan elektro juga," kata Afa melihat kertas ulangan.
"Betul, di dua belas teknik elektronika satu."
Arel mengambil asal kertas ujian itu. Ia membaca nama yang tertera.
Elios Adeano.
"Punya temen abang gue nih," ujar Arel meneliti jawaban kertas ujian milik Elios.
"Tulisannya gabisa dibaca." Tulisan acak-acakkan milik Elios membuat Arel tiba-tiba sakit mata. Yang membuat matanya membulat seketika adalah jawaban Elios di nomor lima.
Barang siapa yang menyulitkan orang lain maka akan dipersulit oleh Allah di hari kiamat.
"Ckckckck. HAHAHHAHA. Anjirrr, astaga." Arel berteriak heboh dan gelak tawanya terdengar sangat nyaring.
Hera yang penasaran ikut melihat kertas ujian itu. Ia ikut tertawa juga.
"Ngakak banget! Sama Pak Cindy masih dikasih poin dua lagi! Astaghfirullah Bapak!"
"Pak, Pak, kenapa gak dikasih poin nol aja, kenapa harus dikasih poin dua?" tanya Hera menahan tawa.
"Gak papa." Pak Cindy juga ikut tertawa tapi terlihat tidak lepas. "Itung-itung sedekah nilai," jawab Pak Cindy lagi.
Hera juga ikut melihat kertas ujian yang lain, dari lima soal dan jawaban yang ada, di nomor lima rata-rata menjawab sama seperti di kertas milik Elios tadi. Mereka niat ujian atau melawak? Lebih anehnya lagi, Pak Cindy masih saja dermawan memberi nilai.
Satu kertas terakhir yang Pak Cindy koreksi. Hera juga mengambil kertas ulangan itu.
@aldegapranata_ (user ig)
Hera berdecak. Cowok itu. Cowok yang kemungkinan membuatnya mati muda karena darah tinggi. Kan, cowok itu sudah gila. Bukannya menulis nama, malah user instagramnnya. Maksudnya apa coba?
Nomor lima jawaban Dega tidak seperti teman-temannya. Cowok itu berkata jujur.
Maaf, Pak, saya tidak tahu.
"Astagfirullah. Anak elektro otaknya geser semua kayaknya."
Pak Cindy menggelengkan kepalanya. Bukan fakta yang besar sepertinya dan Pak Cindy memaklumi itu.
Mei, Afa, dan Arel sibuk menjumlahkan poin-poin nilai yang Pak Cindy berikan dari setiap nomor. Hera juga mau menghitung, kebetulan kertas yang dipegangnya saat ini adalah milik Dega.
"Sepuluh ditambah lima ditambah delapan ditambah dua belas ditambah dua jadi hasilnya ...." Hera tampak berpikir. "Tiga puluh tujuh."
"Bagus ahahah bagus, si abang gue dapet empat puluh," ucap Arel tiba-tiba. "Saya tulis di kolom ini kan, Pak? Nilainya."
"Iya. Nanti sekalian masukkan ke buku nilai juga ya," titah Pak Cindy mengeluarkan buku nilai yang berisi absensi anak-anak dua belas elektro satu. Lumayan, jikalau ada siswinya yang menawarkan bantuan secara sukarela.
"Siap, Pak Cin."
"Lah, si Dega malah dapet tiga tujuh."
"Gausah kaget, Her, nih ada yang dapet nilai lima belas," ujar Afa dari meja sebelah.
"Anjim anjim anjim, nih cowok dapet sembilan puluh!" pekik Mei tak percaya.
"Hah? Siapa-siapa?"
Arel, Hera, dan Afa kepo dan melihat kertas ujian itu.
"Alvaro Dewangga. Pinter banget gila! Tulisannya rapi banget anjir," ucap Mei lagi.
"Iya, dia paling pinter."
"Ganteng gak pak?"
"Tajir gak?"
"Udah ada pacarnya belum pak?"
"Ke sana aja, kalian tanya sendiri ke orangnya."
"IHHHHH BAPAKKK!!!" seru mereka bersamaan.
Tok tok. Ketukan pintu berhasil membuat atensi mereka teralihkan.
"Permisi, Hera sama Arel dipanggil ke ruang guru," ujar Bia anak kelas sepuluh kimia analis dua.
"Kenapa?" Arel langsung menghampiri Bia, begitu pun dengan Hera.
"Kata Bu Grace, kalian gak kumpul tugas. Jadi, sekarang kalian dipanggil ke sana."
Hera dan Arel saling pandang sejenak. Raut mereka sama-sama bertanya-tanya.
"Tugas yang mana? Perasaan kita udah ngerjain."
"Kalau itu gue gak tau, udah ya gue pamit."
"Oke, makasih infonya, Bia."
Bia menganggukkan kepalanya.
"Pak Cin, izin ke ruang guru bentar, dipanggil bu Grace," izin Arel.
"Oke, jangan lama-lama, sepuluh menit lagi praktikum."
***
Hera dan Arel memasuki ruang guru dan langsung mengarah ke meja milik Bu Grace. Beliau sedang sibuk dengan buku-bukunya. Melihat dua murid yang sedang dicarinya itu ada di hadapannya, Bu Grace menutup buku.
"Ada apa ya, Bu?" tanya Arel.
Bu Grace menatap kedua muridnya secara bergantian. "Kenapa kalian nggak kumpul tugas? Masih kelas sepuluh loh, jangan dianggap enteng ya, Arel, Hera."
Hera dan Arel saling melihat satu sama lain. Mereka sangat ingat sudah mengerjakan tugas. Tapi, kenapa Bu Grace bilang belum?
"Tapi, kita udah ngerjain tugas kok, Bu," ucap Hera membuat Bu Grace memutar bola mata malas.
"Cari aja di situ." Bu Grace menunjukkan tumpukan print-print an kumpulan tugas sepuluh kimia analis satu.
Hera maupun Arel sama-sama mencari tugas mereka dengan hati-hati.
"Ketemu nggak? Kalian udah saya beri kelonggaran supaya bisa berkelompok. Tugas kecil gini aja lalai, bagaimana dengan tugas yang lain?"
Hera merasa aneh, seharusnya tugas yang ia kerjakan dengan Arel ada di sini, kenapa tugas mereka saja yang tidak ada. Tapi, ada satu yang menarik perhatiannya. Tugas milik Cici dan Ikke.
"Rel, Rel, ini kok kayak tugas kita sih?" Hera menunjukkan print tugas milih Cici dan Ikke.
"Loh, ini kan emang punya kita!" seru Arel.
"Tapi ... nama yang tertulis di sini nama mereka. Mereka sengaja?"
"Bu, ini tugas kita." Hera menyodorkan kertas kepada Bu Grace.
"Sudah jelas di situ bukan tertulis nama kalian. Gak boleh menuduh, Hera."
"Tapi, Bu ...."
"Sudah sudah, hukuman kalian nanti akan saya jelaskan," putus Bu Grace.
Arel dan Hera lagi-lagi saling pandang, jika Bu Grace sudah berkata demikian, menentang pun rasanya percuma. Mereka hanya bisa pasrah dan menjawab, "Baik, Bu." Secara bersamaan.
***
"Asli! Itu ulah si Ikke sama Cici. Mereka punya masalah apa sih sama kita?"
"Maybe, karena kita nggak ngebolehin copas tugas kita yang di warnet kemarin," balas Hera.
"Pokoknya kita harus cari waktu buat negur mereka!"
Mereka berdua kembali menuju laboratorium, melewati pinggiran lapangan. Ada anak kelas dua belas elektro satu yang tengah bermain bola voli.
Diantaranya ada Dega, Deva, dan juga Elios.
"Mereka aneh banget main bola voli di jam pelajaran," komentar Hera sambil mencuri-curi pandang ke arah Dega yang sedang bermain.
"Biasalah, palingan mereka di suruh keluar kelas karena buat rusuh! Hahaha."
Permainan voli dua lawan satu. Elios dan Deva satu tim, sementara Dega sendirian. Tak imbang, tapi Dega mampu melakukan passing dengan stabil.
Peluh yang menetes dari pelipis dan cara Dega menghapus keringatnya tampak begitu menarik perhatian Hera. Ditambah baju seragamnya yang mulai terlihat basah.
Tunggu, tunggu, gue mikirin apa sih?
"HERA AWASS!!!"
Hera menoleh ke belakang karena teriakan Arel.
Duagh.
Bola itu mengenai kepala Hera.
***
Thanks yang udah baca!❤
Saranghae....
Lovelin
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top