[02] Hati-hati
Cuma penasaran, yang nemuin konsep cinta berawal dari benci itu siapa?
***
Jam olahraga bagi anak XII TEI 1 alias dua belas Teknik Elektronika Industri satu baru saja selesai. Kini mereka sedang berkumpul di ruang ganti laki-laki untuk mengganti seragam. Kecuali Dega, lelaki itu malah melangkahkan kakinya menuju ruang UKS. Dia tidak sakit, hanya saja ia ingin saja ke sana untuk berbaring dan merasakan sejuknya kipas angin di ruang UKS.
"Lah, kipasnya nggak ada?" Dega tak melihat kipas angin yang biasanya dipasang di dinding.
Cowok itu sungguh gerah. Ia membuka menarik kaus bajunya dan mengipas-ngipaskan pada tubuhnya. Setengah dari badannya terekpos.
Hera yang akan mengambil kotak obat di ruang UKS pun terkejut melihat pemandangan yang ada di depannya. Ia cepat berbalik dan menutup matanya.
"ASTAGAA BUKA BAJU!!" pekiknya. Untung saja UKS sedang sepi, tidak ada murid lain atau petugas PMR yang sedang istirahat atau berjaga di sini. Jika, tidak Hera pasti akan ditegur.
"Apa? Mau buka celana juga?"
"Astaghfirullahaladzim!" Hera sudah berbalik menghadap Dega. Jujur, matanya sempat melihat setengah badan Dega yang terekspos tadi. Dan kini, ia tak bisa melupakan itu.
"Apasih apa?" jawab santai Dega membuat amarahnya memuncak.
"Kok lo buka baju di sini sih. Dasar mesum!!!"
"Yang sopan, gue kakak kelas lo bocil."
A-apa? Bo-bocil?! Bener kata Arel, ni cowok satu emang gak ada martabatnya banget jadi kakel.
Panggilan itu mengingatkan Hera pada kejadian kemarin.
"Gak peduli, gak mau tau, nggak ngurus!" balas Hera. Dega memang paling bisa meningkatkan radar emosinya.
"Nah, itu tuh, kata-kata yang suka diucapin bocil." Hera menggeram di tempat. Sekarang ia mau mulai berpura-pura tak peduli saja. Hera langsung mengambil kotak obat dan langsung pergi dari sana. Berdebat dengan Dega memang tidak ada habisnya.
"Eh, tunggu!"
Hera membuang napas kasar.
"Apa lagi sih?!"
"Seharusnya lo yang sopan sama kakak kelas, panggil abang kek."
Wah, humor nih anak!
"Panggil Om aja gimana?" tawar Hera tak serius.
"Boleh tuh, malah pengen gue bawa pulang."
Hera mengetahui satu fakta lagi. Dega itu selain otaknya mesum juga gesrek.
***
"Sini luka lo."
Hera menarik tangan Donny, gadis itu dengan cekatan mengobati luka itu. Kalau bukan karena dirinya, Hera tidak mau melakukan hal susah payah seperti ini.
Tadi, X KA 1 alias sepuluh kimia analis satu, sedang melakukan pengenalan macam-macam alat di laboratorium. Dibagi enam kelompok yang berisi enam anggota. Saat sang guru tengah menjelaskan nama-nama alat beserta fungsinya. Hera dan Arel malah asik bermain dengan bunsen. Bunsen adalah sebuah peralatan laboratorium yang biasanya menghasilkan api.
Entah dari mana Arel mendapatkan pemantik kompor dan mengarahkan api itu pada ujung sumbu bunsen. Api pun menyala. Saking senangnya, Hera dan Arel malah berheboh Ria. Hera yang tak sengaja menyenggol bunsen, membuat alat itu terjatuh dan apinya sempat melukai tangan Donny yang sedang mencatat apa yang guru jelaskan di depan.
Kejadian itu rupanya membuat seisi murid melihat ke arah Hera. Gadis itu sangat ceroboh, tidak seharusnya ia bermain-main dengan peralatan laboratorium. Di sampingnya, Arel juga menunduk merasa bersalah.
"Donny, maafin gue ya, gue obatin deh." Hera menarik tangan Donny keluar laboratorium.
"Nah, udah selesai," ujar Hera membereskan peralatan yang tadi ia pakai untuk mengobati Donny.
"Hem, thanks," balas Donny lalu berdiri. Cowok itu berlalu meninggalkan Hera yang masih terduduk.
"Ckckck, cuek amat." Setelah selesai, Hera akan kembali menuju UKS lagi untuk mengembalikan kotak obat lagi. Hera terus berharap semoga kakak kelasnya itu sudah menghilang dari ruang itu.
Tiba di depan ruang UKS, matanya menelisik lewat jendela luar. Ia terus mengamati apa ada orang di dalam atau tidak. Pikirnya, ruang itu sudah kosong dan Dega sudah tidak ada lagi di sana. Hera memasuki UKS dan langsung mengembalikan pada tempatnya lagi.
Netranya menangkap sebuah timbangan berat badan yang terletak di samping lemari obat. Kepalanya celingukan, meyakinkan bahwa benar-benar tidak ada orang.
"Asli, gue pengen tahu bobot gue. Enak aja si Dega-dega itu ngatain gue bocil. Emang di gak sadar apa? Dia juga bocil, tinggi badannya juga gak jauh beda dari gue." Hera ngedumel sendiri sambil berkacak pinggang.
Setelah memastikan benar-benar tidak ada orang. Hera mulai naik ke timbangan berat badan itu.
"Ah, 43 kg." Suara itu, itu bukan suara Hera melainkan Dega. Hera membalikkan badannya, ia menemukan Dega di belakangnya.
Sial! Cowok itu lagi.
"Minggir."
Hera turun dari timbangan dan rautnya berubah kesal. Ternyata cowok itu belum pergi dari sini. Sudah dipastikan, dia bolos jam pelajaran.
Kini, giliran Dega yang naik ke timbangan, ia melihat berat badannya sendiri.
"53 kg, cuma beda 10 kg doang ternyata," ujarnya lalu menoleh ke arah Hera. Tatapannya tak terbaca, membuat Hera semakin gugup tentang lontaran yang ia ucapkan beberapa menit yang lalu.
"Lo kalo mau ngomongin orang tuh di depannya langsung, berani kok di belakang. Dasar cewek."
"Ha-ha, dari pada lo, cowok otak mesum!" ucap Hera mengerlingkan mata.
"Dari pada lo rata."
Kan, Dega membahas soal itu lagi. Demi apa pun, itu membuat Hera jengah setengah mati. Tau kan itu hal yang sangat sensitif bagi wanita?
"Dari pada lo cowok nakal. Tampilannya aja udah kayak preman pasar. Wuu, gausah ngatain! Lo juga pendek."
"Pendek? Punya gue lebih panjang tau. Lo gak tau, kan?" Dega tersenyum aneh.
Hah? Maksudnya?
"Kayak pisang."
Stop.
Stop it.
Hera mengerti maksud yang Dega katakan. Segera mungkin, dia menabok lengan kakak kelasnya itu. Otaknya kelewat mesum.
Dega terbahak-bahak. Sudahlah, berlama-lama di sini akan semakin membuat emosinya memuncak. Pintu UKS Hera banting begitu keras, ia berbalik melihat Dega dari jendela luar dan ia masih sangat kesal ketika melihat cowok itu masih saja tertawa.
***
Dega menyalakan pemantik dan mengarahkan ke ujung batang tembakaunya. Ia adalah perokok aktif, yang selalu merokok di setiap saat. Sekarang dia sedang duduk di atas motor sambil merokok, menunggu bel pulang sekolah berbunyi.
Dega sudah keluar duluan dari kelasnya, yaitu sepuluh menit sebelum jam pulang. Kini, ia sedang menunggu di parkiran. Gak sendirian, karena memang ada beberapa mayoritas anak lelaki yang sama sepertinya. Keluar duluan dan memilih merokok di parkiran.
Asap-asap itu mengepul bebas di udara. Padahal sekolahnya melarang untuk merokok di sekolah, namun Dega malah melakukan hal yang sebaliknya.
SMK Berlian, merupakan sekolah menengah kejuruan yang menyediakan lima jurusan. Yaitu, Teknik Permesinan (TPM), Teknik Instalasi Tenaga Listrik (TITL), Teknologi Elektronika Industri (TEI), Kimia Analis (KA), dan Multimedia (MM). Yang mayoritas muridnya adalah lelaki. Jika suatu pelanggaran dilanggar itu adalah hal yang wajar, khusunya jurusan TPM, TITL, dan TEI. Bisa dikatakan jurusan-jurusan itu adalah bobroknya sekolah.
Lain lagi denga KA dan MM, bisa dikatakan dua jurusan itu adalah yang terpandang. Tak hanya muridnya yang mudah diatur, tapi jurusan itu selalu mendapatkan prestasi atas setiap keikutsertaan lomba seperti halnya KIR alias Karya Ilmiah Remaja. Padahal dua jurusan itu bisa dikatakan jurusan baru yang disediakan di SMK berlian. Tidak seperti jurusan mesin, listrik, dan elektro yang sudah ada semenjak SMK Berlian didirikan.
Dega tak sendiri, tentu saja ada siswa-siswa lain yang sama sepertinya. Entah itu seangkatan atau jurusan lain. Yang pasti mereka itu sama.
Teng!
Bel sekolah berbunyi. Dega masih santai duduk di atas motor satrianya. Masih dengan batang rokok yang tersisa setengah.
"Allahu!" Hera menepuk jidatnya. Motor Arel beresebelahan dengan milik Dega.
"Kenapa lo Her?"
"Emm, gapapa gapapa." Hera nyengir. Andai saja motornya sudah selesai diperbaiki dari bengkel, Hera tidak akan nebeng Arel dan tidak akan bertemu Dega lagi.
"Ngerokok mulu lo, Ga." Arel mengambil helm dan memakainya.
Dega mengangguk.
"Ga pulang lo?" tanya Arel yang lagi-lagi membuat Hera tidak sabar.
Kenapa sihh Arel ngajak dega ngomong mulu???
"Iya, ini," balas Dega singkat.
Arel sudah mengeluarkan motornya dan menyalakan mesin. Hera mulai naik ke motor Arel. Diam-diam Hera juga melirik ke arah Dega yang sudah menyalakan mesinnya juga. Ternyata suara motor Dega cukup bising.
Harus antri, disebabkan jalan keluar dari parkiran ini cuma satu, Arel dan Hera harus menunggu yang depan jalan terlebih dahulu. Macetnya parkiran SMK Berlian sudah seperti macetnya jalanan ibukota.
Motor berjalan perlahan. Akhirnya motor Arel sudah bisa keluar parkiran dan keluar dari gerbang sekolah.
"Jadi kan kita kerja kelompoknya?"
"Jadi lah, nanti kit-- WOY, LO MAU BALAPAN APA GIMANA SIH?!!" teriak Hera melihat pengendara yang begitu ngebut menyalip motor Arel. Hera sadar dan mengenali pengendara itu. Iya, itu Dega. Bisa-bisanya naik dengan kecepatan seperti itu dengan satu tangannya, karena tangan kirinya ia pergunakan untuk merokok.
"Bocah gila dia."
"Bukan gila lagi, Rel. Tapi gila banget!"
"Hahaha, biasa itu mah, namanya juga cowok, Her."
Di atas motor Arel mereka asik membahas Dega. Hera yang selalu emosi jika itu menyangkut Dega, sementara Arel yang terus terbahak menanggapi ujaran Arel.
"Her, gue cuma mau bilang." Arel menggantungkan ucapannya.
"Bilang apa?"
"Hati-hati." Arel tersenyum jahil, meski tahu tak bisa dilihat Hera
"Buat?"
"Biasanya rasa suka itu berawal dari rasa benci! Jiahaha."
Pletak!
"Meskipun bumi berubah bentuk jadi segitiga pun gue nggak mau suka sama Dega!" ungkap Hera sungguh-sungguh.
"Yakin?"
"Yakin!"
"Serius?"
"Duarius!"
"Oke kalo gitu. Kalo sewaktu-waktu lo kemakan omongan lo sendiri jangan ngerengek-rengek ke gue ya?" Arel terkekeh.
"GAK AKAN!"
Hera membuang napas kesal. Apa pun yang terjadi. Hera harus bertekad untuk tidak akan jatuh pada orang seperti Dega.
Ya, kan, hati? tanya Hera dalam dirinya.
***
Hera bocil dan Dega dengan otak delapan belas coretnya🔞🙂😭
Lovelin
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top