[01] Kesan Pertama Kali

Yang tidak disadari dari sebuah pertemuan adalah kisah kita mulai dilukis semesta.

***

Karena kesiangan Hera harus mengambil risiko. Hukuman pasti menantinya. Dilihatnya pagar yang sudah tertutup rapat dengan tatapan kesal. Gadis itu mengentakk-ngentakkan kakinya kasar. Apa boleh buat, pasti ia akan dihukum.

Hera masih menoleh ke sana ke mari, apa cuma dia yang telat? Sial, ini pasti hari tersialnya. Wajahnya masam, ditekuk, dan rasanya ingin pulang namun keinginan itu hilang saat ia mendengar suara deru motor yang baru saja memasuki indera pendengarannya. Wajahnya berubah senang, Hera punya teman yang sama-sama telat.

Bu Reya selaku guru BK membukakan gerbang, beliau berkacak pinggang dan menatap tajam ke arah Hera dan juga Dega. Dega sudah mematikan mesin motornya dan melepas helm-nya, ia berjalan ke hadapan Bu Reya dan berdiri di samping Hera.

"Kalian! Kenapa telat?" Bu Reya bersedekap, menunggu alasan dua murid di depannya.

"Maaf, Bu, saya kesiangan," jawab Hera menunduk. Ini juga salahnya, sudah dibangunkan mama berkali-kali tetap saja tidak bangun.

"Kalau kamu Dega? Kamu itu udah kelas dua belas, kenapa masih bandel aja. Mau gak lulus?"

"Ketiduran, Bu, mau lulus lah, Bu."

"Baguss, mau lulus tapi kayak gini terusss, bagus Dega bagus." Bu Reya menjewer telinga Dega. "Liat, kamu ke sekolah udah kayak mau nongkrong aja, pake kalung, gelang, lengan digulung."

Hera terkekeh, kakak kelasnya sungguh aneh.

"Lepas atau saya rampas?"

Dega menggaruk tengkuknya, "Nanti saya lepas kok, Bu."

"Baik, awas saja kalau tidak." Tatapan Bu Reya setajam elang. "Karena cuma kalian berdua yang telat, hukumannya sangat mudah. Bersihkan perpustakaan sampai bersih. Nanti saya akan cek pekerjaan kalian, sekarang kalian boleh masuk."

Hera menundukkan kepalanya dan berjalan menuju perpustakaan. Sementara Dega harus memarkirkan motornya terlebih dahulu.

***

Hera menaruh tasnya di meja pojok yang ada di perpustakaan. Ia mulai membersihkan debu dari ujung celah-celah buku. Dilihatnya Dega yang baru saja memasuki perpustakaan, cowok itu langsung duduk di kursi dan membuka ponsel. Enak saja, dihukum berdua tapi Dega malah santai-santai.

Di tempat, Hera agak kesal. Mau negur ia tak berani. Ia cuma adik kelas yang terpaut dua tahun dari Dega, tak mau mencari masalah ia biarkan saja Dega bersantai.

Atensinya saat ini hanya kepada Dega saja. Cowok itu mampu mengambil alih semua perhatiannya, sedari tadi ia tak bisa fokus dan mengamati setiap gerak-gerik Dega dari celah buku.

Dilihat dari sini, Dega memang seperti cowok berandal. Pakai kalung titanium silver, di pergelangan tangan Dega juga ada gelang dengan model serupa. Lengan bajunya juga ia sisingkan, kaus polos berwarna hitam yang dipakainya juga terlihat karena Dega tak mengancingkan bajunya dengan benar. Apalagi rambutnya, bagian depannya sudah terlihat panjang. Hera berdecak dan menggelengkan kepalanya, ia baru tau ada manusia seperti ini di sekolahnya.

Tak sengaja, Dega malah melihat ke arah Hera berada. Reflek, Hera menutup celahan buku itu dengan buku lain. Ia membalikkan badan dan mengontrol napas dan detak jantungnya yang tak karuan. Hampir saja dia ketahuan.

Suara pantofel yang mulai mendekat membuat Hera menebak bahwa itu adalah Bu Reya, Hera tentu saja masih menjalankan hukuman.

"Haha, pasti tuh cowok kena marah gara-gara main ponsel dan gak bersih-bersih," ujar Hera sedikit senang.

Pintu terbuka menampilkan sosok Bu Reya. "Nah, kalian bersihkan ya sampai jam pelajaran ketiga, nanti kalian boleh masuk kelas." Pintu ditutup kembali.

Hera mencari-cari keberadaan Dega. Cowok itu sudah tak berada di tempatnya. Ia sempat bertanya-tanya dalam benaknya, dan semua itu sirna ketika melihat Dega yang tengah menyapu dari sudut perpus.

"Cih, pencitraan!"

Selama satu jam lebih Hera membersihkan perpustakaan, tubuhnya terasa pegal dan ia memukulinya dengan tangan kanannya. Tak sengaja dia malah menabrak Dega, yang entah cowok itu berjalan dari mana.

Pandangan mereka bertemu, sorot matanya dalam. Entahlah, lidah Hera terlalu kelu untuk mengatakan sesuatu. Cowok itu menaikkan alisnya lalu berjalan begitu saja.

Detik berikutnya, Hera juga berjalan begitu saja. Tapi, ada satu hal yang Hera sadari. Tatapan itu ... tatapan itu terlalu dalam untuk dianggap suatu hal yang biasa.

***

"Lo ngapain sih, Her?" Arel menepuk Hera keras membuat gadis itu terlonjak.

"Gak, kok, gak."

"Dih, kagak jelas lo."

Arel akhirnya mengikuti arah pandang Hera. Ia manggut-manggut mengerti. "Kayaknya gue tau apa yang di pikiran lo deh, Her."

Aktivitas Hera yang sedang mengaduk-aduk semangkuk soto terhenti. "Apa?"

"Lo." Arel memicingkan mata. "Suka sama dia." Arel menunjuk Dega yang duduk dibangku ujung.

Hera tertawa. "Hah?! Mana ada!"

"Astaga Her, si Dega? Lo suka si Dega? Cowok yang tampilannya kayak gitu, lo suka?" Arel berdecak lalu tiba-tiba memegang dahi Hera. "Gak panas kok, lo kesambet apa bisa suka sama si Dega?"

Kupingnya panas. Arel berasumsi sendiri sedari tadi. "Aduh, Rel, lo ngomong apasih! Gue gak ngerti ya dan belum tentu juga gue suka. Lagian nih ya, dia kakak kelas lo, manggil langsung pake nama lagi."

"Sans, aja sih, gue udah akrab sama dia. Si Dega tuh temennya abang gue."

Hera manggut-manggut, ia baru tahu fakta itu.

"Lagian lo ya, ngapain suka sama bocah begitu si?" Ada kekehan di setiap kalimat yang Arel lontarkan.

Arel mendekat ke arah Hera, merangkul pundaknya, "Nih, ya, Her, gue bilangin, lo polos, Dega kayak gitu. Gak cocok tahu."

"Lo mulai ngadi-ngadi ya Rel! Lagian siapa sih yang suka?!" Hera emosi.

Lagi-lagi Arel tertawa. "Dari cara lo lihat dia aja udah ketebak."

Hell!

Cobaan apalagi ini Tuhan? Sahabatnya itu terlalu menyimpulkan semuanya sendiri.

"Udah deh jauh-jauh." Hera menyingkirkan lengan Arel dari pundaknya.

"Jangan suka cowok kayak gitu deh saran gue, gue yakin seratus persen di tasnya cuma ada pemantik sama rokok aja," ujar Arel sembari tertawa.

"Hemm."

"Hemm doang, mau gue panggilin anaknya nggak?" goda Arel lagi.

"Hah? Siapa?" Raut Hera mendadak berubah.

"Eh, Dega! Sini!" teriak Arel membuat Hera membulatkan matanya. Dasar Arel!

Dega berpamitan dengan temannya yang lain. Ia menuju meja Arel. "Wutss, kenapa, Rel?" Dega bertos ria dengan Arel.

"Gapapa gapapa, pengen manggil aja." Arel terkekeh sambil lirik-lirik ke Hera.

"Gue kira ada perlu." Dega kini sibuk dengan ponselnya. Arel menyikut lengan Hera yang sedang menunduk, kelihatan jelas sekali gerak-geriknya yang sok pura pura menikmati soto.

"Tuh, Dega, tuh di depan lo. Cowok awut-awutan gini masih lo suka?" bisik Arel di telinga Hera.

"Lagian siapa sih yang suka?" balas Hera yang juga berbisik.

Dega mendongakkan kepalanya sejenak. Ia merasa heran dengan kedua orang yang ada di depannya. Mereka saling berbisik satu sama lain. Jika memang mereka ingin berbicara berdua, kenapa Arel harus memanggilnya? Dega hanya menggelengkan kepalanya.

"Emm, Dega," panggil Arel.

Dega menaikkan dua alisnya sebagai respon.

"Gue tanya, lo suka temen gue ini, nggak?" Arel menunjuk-nunjuk Hera.

Hera hanya bisa merutuki Arel dalam hati. Awas aja Arel awas aja! Astaga nih anak kenapa sih?!

Dega mengernyitkan alisnya bingung. Pertanyaan Arel membuatnya terkejut, namun rautnya tetap saja santai. Inilah Dega, tidak pernah panik atas situasi apa pun.

"Sorry gue gak suka bocil."

"Hah! Maksud lo?" Hera reflek mengucapkan itu, sadar, sekarang ia sedang diperhatikan.

"Ya ... lo bandingin sendiri lah sama punya Arel."

Seketika harga dirinya jatuh sebagai perempuan. Bisa-bisanya!

Hampir saja Hera melayangkan pukulan.

"Maksudnya badannya lo kecil, Arel besar," jawab Dega sambil nyengir.

Hera ber-oh ria. Dia sudah memikirkan hal yang tidak-tidak tadi, otaknya keburu travelling.

"Main lo kurang bebas makanya kecil."

Hera mendelik. Bukan, ini bukan otaknya yang salah berpikiran itu, tapi itulah yang Dega maksud dari tadi.

Haha, bagus sekali, penggunaan majas metaforanya, dikemas begitu apik dengan unsur penghinaan.

"Bener, kan?" tanya Dega sembari memicingkan mata. "Bo ... cil?

Degaaa! I wanna kill you!!!

***

DEGAAA I HATE YOU, REALLY!☹☹☹

Dega it's real, kalian percaya apa enggak? Wkwkw

— 27Feb22

Lovelin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top