9. Bertambah Tua

[Halo! Bab 15 sudah tayang di karyakarsa, ya. Seperti yg aku bilang diawal, kisah ini cuma terdiri dari 15 bab aja. Nanti ada epilog menyusul, dan extra part yang hanya aku publish di karyakarsa, ya. Terima kasih sudah mengikuti jalan terjam Jemima.]

Menjalani kehamilan yang sudah memasuki usia sembilan bulan membuat Jemima merasakan sedikit rasa panik. Dia tak mungkin tetap merasa tenang dan baik-baik saja dengan kondisi semacam ini. Usianya baru 19, beberapa bulan ke depan baru menginjak angkat 20. Tidak heran jika ketakutan itu muncul juga. Pengalaman melahirkan adalah momen yang tidak bisa dibagi dengan orang lain. Hanya Jemima yang akan merasakannya sendiri. Disaat seperti ini, dia ingin sekali ditemani oleh ibunya. Hanya sesama perempuan yang bisa merasakan perasaan sesamanya. Namun, tidak demikian dengan Katrina. Wanita itu adalah pengecualian.

Jemima sempat diajak ke tempat bidan oleh ibunya begitu wanita itu sembuh dari sakit. Aryan tidak tahu hal itu. Jumaira berkata, untuk mengetahui perkiraan lahir nantinya. Sudah pasti mereka berdua mendapatkan protes dari bidan yang menangani. Pemeriksaan kehamilan Jemima ini terbilang sangat terlambat. Harusnya jauh-jauh hari sudah memeriksakan diri.

Untung saja bidan tersebut tidak menghakimi lagi ketika Jumaira mengatakan tak memiliki biaya yang cukup untuk periksa rutin ke bidan. Mereka harus menyiapkan biaya persalinan yang tidak sedikit nantinya. Dan perkiraan bidan sekitar minggu kedua di bulan Juni bayi Jemima akan lahir. Perkiraan itu bisa tepat, juga bisa mundur. Maka dari itu Jemima menjadi lebih sering melamun memikirkan segala kemungkinan persalinan.

Kalau dipikirkan lagi, Jemima memang harus memfokuskan diri supaya kondisi mentalnya tak mempengaruhi fisiknya yang terhitung masih sangat muda. Mungkin intuisi bidan tersebut bisa menangkap kondisi tertekan Jemima selama kehamilan hingga tujuh bulan waktu itu.

Sekarang, Jemima hanya memiliki pegangan itu saja. Dia tak pernah dibawa periksa ke rumah sakit oleh Aryan. Pria itu pasti malu jika ada teman atau koleganya yang melihatnya mengantar perempuan hamil.

Hah ... Meskipun pria itu bersikap lebih manusiawi sejak usia kandungannya tujuh bulan, tetap saja ada bagian dari sikap pria itu yang membuat Jemima muak. Tidak berani menunjukkan Jemima sebagai pasangannya adalah salah satu hal terburuk yang dipertahankan oleh Aryan.

"Mama tanya kapan kamu melahirkan," ucap Aryan yang masuk ke kamar sehabis pulang kerja.

"Mana saya tahu."

"Kandungan kamu sudah masuk bulan kesembilan, kan?"

"Iya."

"Ya sudah kalau begitu, kita tunggu kamu sampai ada tanda-tanda akan melahirkan."

Jemima membiarkan pria itu membersihkan diri lebih dulu. Dia juga tidak tahu mau bicara apa dengan Aryan, karena memang tak terbiasa banyak bicara dengan pria itu. Namun, dia memiliki beberapa hal yang ingin dibahas mengenai kelanjutan hidupnya setelah melahirkan.

Setelah Aryan keluar dari kamar mandi dan sudah berpakaian lengkap, Jemima masih duduk di ranjang dengan tegak menunggu saat yang tepat untuk bicara.

"Kenapa? Ada yang mau kamu bilang? Dari tadi kamu duduk posisi kaku begitu."

"Saya mau memastikan sesuatu, Tuan."

"Apa?"

"Saya memiliki rencana setelah melahirkan nanti."

"Dan apa rencana yang kamu punya?"

Aryan tampaknya sudah tahu betul apa yang ingin Jemima sampaikan. Sebab pria itu tak terlihat tegang ketika satu kalimat lagi muncul dari perempuan itu.

"Saya ingin hidup dengan ibu saya. Apa Tuan bersedia mengurus anak yang saya lahirkan atau tidak?"

Aryan menarik napas panjang. Tatapannya tak lepas dari Jemima. Langkah pria itu mendekat, dan akhirnya duduk berdampingan di ranjang. Aryan tetap menjaga jarak agar Jemima tidak tiba-tiba terkejut.

"Pilihan yang kamu kasih itu, nggak akan ada bedanya. Kamu akan tetap pergi dengan atau tanpa bayi kita, kan?"

Jemima tidak membutuhkan banyak waktu untuk menganggukan kepala atas pilihannya itu. Dia tidak berniat berpura-pura tidak nyaman saat menyampaikan itu. Jemima sangat tak peduli tanggapan Aryan mengenai kepergiannya kelak.

"Karena saya masih tetap kepala rumah tangga, saya akan meminta kamu memikirkan pilihan kamu sekali lagi setelah bayi kita lahir."

"Saya nggak butuh berpikir lagi, Tuan. Saya bisa mengurus bayinya kalau Tuan dan ibu Katrina nggak bersedia. Saya juga nggak keberatan kalau kalian yang mengurusnya. Memutuskan setelah bayinya lahir nggak akan ada bedanya, Tuan."

"Ada bedanya. Pokoknya kita tunggu sampai bayinya lahir dan kamu bisa pikirkan lagi keputusan yang akan kamu ambil."

Jemima sungguh tidak mengerti kenapa Aryan sangat yakin dengan ucapannya. Jemima tidak akan mengambil keputusan berbeda meski bayinya lahir nanti. Dia ingin mendapatkan jawaban secepatnya dari Aryan, bukan malah ditantang memikirkan keputusannya kembali.

***

"Sakittt!"

Adalah satu-satunya kata yang terucap dari bibir Jemima. Dia tidak baik-baik saja. Tidak! Ini seperti menyambut kematiannya sendiri. Tubuhnya tidak seperti miliknya sendiri. Kesakitan mengambil alih dan membuat kepalanya tidak memikirkan apa pun lagi selain meraung bersama tangis yang tak henti bercucuran.

Aryan yang ada bersamanya memilih tak banyak bicara, karena tidak ada yang bisa dirinya lakukan selain menerima cakaran atau cengkeraman Jemima yang menusuk ke kulitnya.

"Sakitttttt!!!" raung Jemima semakin menjadi.

Aryan memeluk kepala Jemima, mengusap bagian kepala yang bisa pria itu jangkau dengan tangan kirinya. Dia memberikan tangan kanannya menjadi sasaran bagi Jemima, berharap perempuan itu bisa merasa lebih baik.

Ruangan bersalin menjadi begitu tegang karena Jemima yang berteriak kesakitan. Sudah tak peduli dengan apa yang akan dikatakan perawat atau pasien lain yang juga menunggu giliran melahirkan. Intinya, Jemima ingin meluapkan segalanya dengan suara teriakan semaksimal mungkin.

"Ibuuuuu! Sakit, Bu!!!"

Jemima tidak mendengarkan dengan baik instruksi dari perawat dan dokter yang menanganinya. Jemima hanya mengikuti instingnya sendiri. Hingga pada sore hari—setelah delapan jam dihabiskan dengan sangat melelahkan, bayi mungil itu lahir.

"Perempuan."

Baik Aryan dan Jemima, keduanya merasakan kelegaan. Jemima diberikan waktu istirahat, sedangkan Aryan menghadapi kenyataan baru sebagai seorang ayah.

Dokter menjelaskan bahwa bayinya memiliki bobot yang sangat kecil dari yang seharusnya. Kondisi seperti ini terjadi karena kemungkinan besar sang ibu tak menjalani masa kehamilan dengan baik. Saat mendapatkan informasi itu, Aryan seperti sedang ditombak sebilah bambu. Sejak awal kehamilan, dia tidak benar-benar merawat Jemima. Ini adalah hasil dari kelalaiannya yang mengabaikan Jemima.

"Bayinya nggak lucu. Kenapa juga harus dapat perawatan khusus? Nambahin biaya aja!"

Aryan menatap pada mamanya dengan kesal. Dia sudah merasa bersalah dan sekarang mendengar ucapan Katrina membuatnya naik darah.

"Mama bisa nggak, sih, berubah sedikit aja? Ini cucu mama sendiri yang lahir. Bahkan kondisinya nggak sebaik yang diharapkan. Jangan bikin aku makin marah sama mama karena ucapan nggak berguna semacam itu lagi!"

Jumaira yang sedang menunggu di ruangan putrinya tak bisa sepenuhnya tenang. Dia paham kondisi cucunya yang tak sebaik yang diharapkan.

"Bu? Bayinya dimana?" tanya Jemima begitu dia mendapatkan istirahat yang cukup.

Jumaira mengusap kening putrinya dan memberikan air lebih dulu.

"Kamu pasti sangat lelah. Istirahat aja dulu, ya. Nanti suamimu datang dan jelasin semuanya."

Jemima menatap ibunya dengan banyak pertanyaan. Dia tahu ada yang tidak baik-baik saja.

"Bayiku kenapa, Bu?"

Jumaira yang ditanya demikian mendadak kelu. Dia tidak tahu harus menjawab apa.

"Bayimu ..."

"Bu? Jawab aja. Bayiku kenapa?"

"Emm, bayi kamu—"

"Nggak kenapa-napa. Cuma butuh perawatan lebih dari bayi yang lain."

Aryan datang diwaktu yang tepat. Jumaira memberikan ruang bagi pria itu duduk di kursi tunggal dekat ranjang Jemima.

"Jangan bohong, Tuan. Kalo nggak ada apa-apa, kenapa ibu saya kebingungan buat jawab? Saya nggak suka dibodohi. Kalau memang ada yang salah, bilang aja. Saya bukan anak kecil, saya sudah menjadi seorang ibu."

Aryan mencoba meraih tangan Jemima, dan untungnya perempuan itu tak menolak.

"Bayinya terlalu kecil. Itu aja."

Jemima terdiam, lalu tatapannya beralih ke jendela kamar rawat inap bertepatan dengan dilepasnya genggaman tangan Aryan dengan kasar. Pertanyaan mengenai ukuran perutnya yang kecil sudah terjawab dengan kurangnya bobot tubuh bayinya.

"Jemima, maafkan saya. Bayi kita mengalami hal seperti ini karena kesalahan saya."

Jemima tidak menjawabnya. Diam-diam perempuan itu menangis, merasa lalai dan bodoh karena tak bisa mengurus bayinya sejak dalam kandungan.

"Jemima—"

"Tuan, Aryan. Tolong beri waktu bagi Jemima. Biar saya yang memberi pengertian pada Jemima."

Aryan mengalah. Dia ingin sekali mendapatkan maaf dari Jemima, tapi sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat. Semoga saja, perempuan itu bisa memberi maaf setelah bicara empat mata dengan sang ibu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top