2. Pembantu Baru

[Bab 6 sudah bisa dibaca duluan, ya. Mari mampir ke Karyakarsa 'kataromchick'.❤️]

Tidak ada yang mengingikan takdir seperti ini. Bahkan Jemima yang seorang anak dari asisten rumah tangga, tidak ada bayangan untuk meneruskan pekerjaan ibunya. Dia memiliki banyak mimpi yang pada akhirnya tak bisa dicapai. Takdir membawanya ke rumah majikan ibunya, dan kini resmi menjadi majikannya. Ya, majikannya. Meski sedang mengandung bayi dari pria yang sekarang pergi bekerja, Jemima tidak serta merta mendapatkan status sebagai anggota keluarga baru bagi keluarga itu. 

Kini Jemima sedang melakukan pekerjaan rumah tanpa dipedulikan apakah ada makanan yang sudah masuk ke perutnya atau belum. Jemima sangat takut jika dia mendapatkan cacian dan kemarahan dari ibu Aryan itu. Selalu ada saja yang membuat Katrina tidak puas dengan pekerjaan yang Jemima lakukan. Jika saja cacian atau kemarahan Katrina tidak melibatkan kekerasan fisik, mungkin Jemima bisa lebih tak ambil pusing. Sayangnya, setiap kali Aryan tak ada di rumah, Katrina tidak menahan diri untuk melemparkan gelas atau benda yang ada di dekatnya ke arah Jemima karena rasa kesal. 

Jika benda yang dilemparkan tidak menyisakan pecahan beling, Jemima lebih mudah menghindarinya. Namun, gelas beling, piring, dan segala teman-temannya terkadang menyulitkan Jemima bergerak apalagi jika pecahannya tersebar di lantai. Semua perlakuan itu tidak bisa Jemima terima, tapi siapa dirinya yang bisa melayangkan protes karena sikap Katrina itu? 

"Nanti teman-teman arisan saya bakalan dateng. Kamu siapin semuanya, ya. Jangan ada yang salah. Pokoknya semua yang keluar dari dapur, semuanya harus disiapin di tempat makanan yang khusus. Koleksi saya semuanya mahal kalo untuk menjamu teman arisan. Kamu jangan bikin saya kesal lagi karena kamu nggak akan bisa ganti koleksi khusus saya itu!"

Tentu saja Jemima tidak bisa mengganti semua koleksi wanita itu. Selama berada di rumah ini saja, Jemima bekerja tanpa mendapatkan upah apa pun. Jemima bekerja dengan imbalan mendapatkan tempat tinggal dan makanan yang sudah pasti tidak semudah itu masuk ke perutnya. Jemima tidak tahu apakah semua itu bisa masuk dalam kategori sistem pembayaran yang pantas atau tidak, tapi gadis itu merasa sangat tersiksa. 

"Kenapa diem aja? Kamu dengerin apa yang saya omongin, kan?!"

Jemima mengangguk. "Iya, Bu. Saya paham. Saya akan kerja dengan hati-hati."

"Bagus. Kamu mandi dulu sana! Bau! Jangan sampe temen arisan saya nggak nyaman dengan adanya kamu."

Jemima menggigit bibir bawah bagian dalam saat mendengar hinaan itu. Dia tidak tahu apakah dia bisa bertahan lebih lama di sana dengan waras. Jujur saja Jemima semakin tidak mengenali dirinya sendiri yang suka menangis dan merasakan kesedihan di rumah itu. 

"Masih diem??! Cepetan sana mandi! Nanti keburu teman saya datang!!"

Mau tak mau Jemima mengiyakan dan segera menaiki tangga untuk mengambil pakaiannya dan mandi dengan cepat. Semoga saja setelah ini tidak ada kesalahan yang dirinya lakukan hingga Katrina tidak akan memarahinya. 

***

Percakapan para wanita mendominasi ruang tamu kediaman Katrina. Meski sudah tak memiliki suami, tapi seluruh aset di rumahnya terjaga. Aryan yang giat bekerja menggantikan peran ayahnya yang sudah tiada. Memanjakan ibunya adalah salah satu motivasi terbesar yang bisa Jemima lihat. Pria itu tidak pernah mengecewakan Katrina, kecuali tindakan bodohnya menghamili Jemima dengan paksa. Kini, melihat semua yang ada, Jemima hanya bisa menarik napas dan berharap tidak semakin terluka ke depannya.

"Pembantu baru, Bu Katrin?" Salah seorang wanita bergaun biru bertanya.

Lirikan mereka mulai beralih pada Jemima yang menghidangkan minuman dan camilan di meja.

"Ah, oh, iya."

Jemima melirik sekilas ibu Aryan itu. Lugas sekali menjawab bahwa Jemima pembantu baru.

"Yang dulu kemana? Kenapa pakai anak kecil begini?"

Semakin lama telinga Jemima mendengar, semakin sesak hatinya. Sudah banyak hal menyakitkan terjadi dalam hidupnya dan kini ditambah dengan sikap keluarga barunya. Harusnya memang aku jadi anggota keluarga baru di sini.

"Yang dulu sakit-sakitan. Sekarang anaknya yang gantiin. Meskipun masih muda tapi tenaganya oke, kok."

"Masih bisa kerja di rumah saya, nggak, Bu—"

Belum selesai kalimat teman arisan Katrina berucap. Jemima malah tak sengaja menumpahkan teh dari gelas hingga jatuh.

"Maaf, maaf. Saya nggak—"

Tanpa persiapan apa pun, Katrina menyiram Jemima dengan segelas teh lainnya. Bagian rahang hingga dada Jemima terasa perih karena teh tersebut cukup panas jika mengenai kulit.

"Kamu bikin kaki teman saya kena air teh, kamu memang kurang ajar. Pergi ke dapur sana! Nggak becus!"

Jemima tidak tahu bahwa sikap kejam wanita itu bisa ditunjukkan di depan teman-temannya. Namun, tak mau terlalu peduli, Jemima buru-buru ke dapur membasuh tubuhnya yang terasa perih. Lagi dan lagi, air matanya menggenang dan tak terbendung. Gadis 19 tahun seperti dirinya memang paling pandai menangis ketimbang menyelesaikan tugas.

Untuk membuat dirinya lebih tenang, Jemima memilih naik ke lantai atas, ke kamar suaminya dan mengurung diri di sana. Tak peduli jika nantinya Katrina akan mencarinya, Jemima hanya ingin merasakan ketenangan sejenak. Karena pikirannya berisik mengulang adegan tadi, dimana dia bahkan seperti budak yang ditawar untuk bekerja di rumah lain. Jika saja Jemima tidak terkejut hingga membuat tangannya gemetar memegang cangkir teh tersebut, mungkin sekarang dia masih tetap baik-baik saja. Ya Allah, kapan penderitaan ini berakhir?

***

Jemima tidak tahu kapan terakhir kali dirinya bisa tidur dengan nyenyak di rumah tersebut. Yang dirinya tahu saat ini adalah dia merasakan kasur empuk dan bukan lantai yang dingin. Masih dengan mata terpejam, Jemima sekali lagi meraba tempat tidurnya. Tadi perasaan aku nggak duduk di ranjang. 

Jemima jelas tidak berani menggunakan ranjang untuk hal apa pun. Tadi dia memang duduk di lantai, benar-benar tidak berani menyentuh ranjang milik Aryan yang sejak awal dirinya datang di sana memang tidak diizinkan tidur bersama pria itu.

Membuka matanya perlahan, Jemima langsung terperanjat saat menyadari memang tidur di ranjang. "Astaghfirullah!" serunya panik.

"Ngapain histeris begitu?" sahut sebuah suara.

Jemima mendapati Aryan yang duduk di kursi kerjanya. Pria itu menaikkan sebelah alisnya, tidak mengurangi ekspresi kejamnya pada sang gadis. Tentu saja hal itu membuat Jemima panik.

"Maaf, Tuan. Maafkan saya. Saya tadi nggak bermaksud tidur di ranjang. Seingat saya, saya nggak tidur di atas."

"Memang. Saya yang pindahkan kamu."

Pengakuan Aryan membuat Jemima terkejut. "Apa, Tuan?"

"Kamu ingat kalau kamu sedang hamil atau nggak? Tidur di lantai tanpa alas bisa bikin kamu sakit, dan kalau kamu sakit nggak akan boleh minum obat macam-macam. Dan saya juga nggak mau repot bawa kamu ke rumah sakit, karena saya nggak mau ada orang lain yang tanya-tanya soal siapa kamu dalam hidup saya."

Jemima terdiam karena menyadari betul kesalahan yang sudah dilakukannya tanpa sadar. Dia menyentuh permukaan perut yang masih belum terlihat sama sekali. Dia sedang mengandung bayi pria itu, meski sejujurnya sangat enggan dengan tanggung jawab demikian.

Helaan napas terdengar dari Aryan. "Saya nggak mau ada hal aneh-aneh terjadi karena kelakuan kamu yang ceroboh. Mulai sekarang tidur di ranjang, biar kamu nggak perlu repot harus lebarin kasur lipat dulu."

"Eh?" Jemima terkejut sekaligus kebingungan. "Tapi, Tuan—"

"Nggak usah banyak bicara! Lakukan aja yang saya suruh."

Jemima akhirnya tetap mengangguk meski bingung apakah mereka harus tidur di ranjang yang sama setelah ini?

Pemikirannya berhenti karena Aryan menaruh salep di atas pangkuan Jemima.

"Pakai itu untuk kulit kamu yang memerah," ucap Aryan.

Ada apa, sih, sama pria ini? Jemima tidak tahu apa yang terjadi. Namun, dirinya merasa lebih baik karena Aryan tidak terlalu pedas berbicara padanya. Entah pemikiran apa yang sudah pria itu renungkan hingga akhirnya bersikap agak baik setelah beberapa hari Jemima berada di rumah tersebut.

"Pakai! Jangan cuma dilihat aja salepnya!"

Baru saja dipuji agak baik, pria itu sudah kembali dalam mode memaksa dan tak sabaran. Huuuhh, aku nggak paham sama ibu dan anak ini. Meski begitu, Jemima tak mau tetap berdiam diri. Dia memilih mengambil pakaian dan mandi untuk mengoleskan salep pemberian Aryan pada bagian kulitnya yang terkena siraman teh tadi. Jemima berharap, setelah ini sikap Aryan tidak berlebihan kejamnya seperti hari ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top