1.1 : Chains in Order

Zara membereskan alat tulis yang berserakan di mejanya. Gadis itu merapikan buku-buku dan kertas-kertas yang bertumpuk di meja serta laci, menjejalkan semua ke dalam tas ransel yang tersampir di kursi. Tak ada kata yang terucap, gerakan Zara benar-benar gesit seakan dikejar-kejar sang waktu.

"Zara!"

Seruan nama dipanggil, Zara menjeda kegiatan sesaat untuk dapati sosok yang serukan namanya.

"Ya?"

"Nanti main ke rumah ya, Ibuku memasak pai apel untuk kita, sekalian menginap!"

Zara tercekat, lidahnya kelu—tidak mampu berikan jawaban secara spontan—tampak berpikir sejenak sebelum menjawab.

"Oh, maaf, Lyn, aku tidak bisa. Aku harus langsung pulang, dah!"

Tanpa aba-aba, tas berbentuk anjing dibawa lari setelah lambaian kecil diberikan. Zara menjauhkan diri dari teman-teman, tidak memberi mereka waktu untuk menanyakan alasan sibuknya.

Maaf, teman-teman, tapi Zara sudah tidak punya waktu bermain sekarang.

Zara menapak kecil menuju gerbang utama sekolahnya, mobil limousin hitam yang terparki tepat di depan gerbang menjadi atensi utamanya. Zara melangkah cepat-cepat menuju mobil, disambut dengan sapaan ramah sang sopir yang kemudian membukakan pintu untuk si nona muda.

Mesin dinyalakan, mobil hitam tersebut tancap gas dari tempatnya berada. Lagu lembut dari Beethoven mengalun dari pemutar musik di bagian depan, menemani Zara yang sibuk menggeledah isi tasnya demi mencari buku tebal mengenai obat-obatan guna temani perjalanan pulang.

Lewat kaca depan mobil, sang sopir seringkali kedapatan melirik pada sang nona muda. Raut prihatin dan khawatir terbentuk jelas di wajah, menunjukkan simpati pada gadis kecil yang dipaksa untuk memikul beban berat milik keluarga. Apalah daya dirinya hanya seorang sopir, mau seberapa banyak pendapat yang terlontar darinya pada Zara, tidak akan ada yang mengubah gadis itu. Hanya keluarganyalah yang sanggup merubah suramnya masa depan sang gadis.

Mobil berpacu lembut di jalanan kota Bergen, menelusuri kota melalui jalan-jalan yang nyaman dan damai. Tidak ada kemacetan yang memakan waktu, jalanan kota begitu sepi sejauh mata memandang. Mobil berhenti di persimpangan ketiga, sopirnya memantau lampu lalu lintas yang siap sedia kapanpun untuk berubah warna. Sekilas pemandangan khas tepi jalan nampak jelas. Orang-orang berlalu lalang dengan berjalan kaki, menikmati kebersamaan mereka di malam Minggu bersama orang tercinta maupun keluarga sembari bersenda gurau.

Sebuah pemandangan yang nampak mustahil terjadi dalam keluarga Zara.

Ketika lampu berubah hijau, panorama di luar kaca jendela seketika blur—berganti menjadi kilatan-kilatan cahaya yang lewat sekilas dalam jarak pandang mata—meninggalkan warna-warna tertentu. Kota Bergen dijelajah ulang dengan alat transportasi beroda empat. Kini iramanya lebih lambat dibanding sebelumnya, faktor mendekatnya tempat tujuan mereka.

Suara dengungan mesin mobil merambah di pekarangan usai melewati gerbang utama. Bermeter-meter tanah dilintasi, baru kemudian mobil diparkirkan pada halaman yang tersedia. Sopir membenarkan posisi parkir serapi mungkin lalu turun membukakan pintu untuk sang nona.

Zara menggaet tasnya yang tergeletak di kursi mobil, lantas mencangklongkannya pada bahunya. Buku yang sama setia tergenggam dalam tangan mungil Zara, kedua kaki pimpin diri memasuki rumah. Berapa jengkal ditapaki, dentum irama langkah kaki dari arah berlawanan dirasakan Zara. Gadis yang semula berjalan tertunduk mendongak, menjumpai insan berpucuk putih tak jauh dari dirinya.

"Kak--"

Keinginan semula untuk memanggil sosok tegap tersebut luntur. Zara tahu-tahu mengurungkan niat dalam diri. Hatinya kembali teriris mengingat sosok yang dikagumi berubah menjadi saingan terberat dalam hidup. Sang gadis pilih berjalan mundur, berputar melewati jalan lain menuju perpustakaan utama daripada harus berurusan dengan kakaknya. Akibat mengambil jalan yang berputar-putar, Zara menyebabkan sang guru les menanti dia telat selama kurang lebih lima belas menit.

Lihatlah, ekspresi yang ditorehkan pada wajahnya membuat wanita paruh baya itu tampak menggelikan ketika menyambut Zara. Zara mati-matian menahan tawa supaya tidak menyinggung perasaan si wanita.

Zara menarik kursi di seberang sang guru. Dia melompat naik ke atas kursi dan mengoyang-ngoyangkan kedua kaki, mencari posisi senyaman mungkin di kursi yang jelas terlalu besar untuknya. Selama lima menit sendiri, tanpa disadari Zara membuang waktu untuk hal yang tidak berguna, cukup melipat gandakan emosi gurunya.

"Saya siap."

Dua patah kata dilontarkan sebagai perintah. Guru itu berdeham, membetulkan letak kacamatanya yang agak merosot dari batang hidungnya.

"Baiklah, Nona Muda, kita akan mengawali pembelajaran hari ini."

"Oh, tunggu dulu!"

Zara menyela perkataan si guru. Dia menarik botol minum dari kantung tasnya dan tak tanggung-tanggung meneguk isisnya di hadapan guru tersebut.

Hei, tidak ada salahnya kan untuk menikmati tambahan tenaga untuk kebaikan dirinya sendiri? Bukankah Zara adalah anak yang hebat? Dia berhasil melanjutkan kegiatannya berbekal air putih saja, tidak makan maupun beristirahat seperti anak pada umumnya.

"Maaf, air putih membantu saya lebih fokus."

Sebuah perempatan merah imajiner muncul di antara kerutan dahi sang guru. Baru hari pertama saja sudah begini cobaan yang dialami, katanya putri dari keluarga yang terhormat, tetapi apa-apaan tingkah lakunya itu?

Kesal waktu mengajarnya banyak berkurang, buku tebal materi pelajaran hari itu diletakkan tanpa belas kasihan ke atas meja, dibanting begitu saja sehingga menimbulkan getaran yang meluas di permukaan meja. Zara mengerjap, spontan membuka-buka buku dengan ketebalan mengerikan yang akan dipelajari hari itu.

Satu-dua halaman pertama dibuka, Zara memperoleh gambar-gambar panjang—sepenangkapannya tentang tulang dan organ tubuh manusia—di tiap halaman. Oh sial, kemarin baru saja ia disodori materi tentang obat-obatan herbal serta modern sedangkan sekarang otaknya mesti bekerja berkali-kali lipat lebih keras untuk memahami materi pembelajaran baru mereka.

"Weh, buku horor macam apa ini? Ibu mau membunuh saya, ya?"

"Diam, Nona Muda. Cukup saya beri keringanan di awal pertemuan kita, dari sini saya akan bertindak tegas."

Sesuatu dalam diri Zara sekonyong-konyong kehilangan kepercayaan dirinya. Dari segi bicara dan hawa menusuk yang dipancarkan, Zara langsung memberi cap pada guru baru yang kelak mendampingi selama beberapa bulan kedepan. Gadis itu menggertakkan giginya, namun tetap menampilkan senyum lebar yang kentara jelas dibuat-buat.

"Baik, Bu, semoga Ibu betah dengan saya."

Cap buruk yang jelas menandai betapa tidak sukanya Zara pada wanita yang berlabel guru barunya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top