1.0 : Her Life in Shadow
"Zara."
Sebuah suara mengudara seiring bunyi pintu terbuka terdengar, buat sang gadis yang tengah duduk manis di meja belajar terperanjat. Kegiatan bermain ponsel langsung berhenti. Gadis itu kelabakan, menutup aplikasi chattingnya kemudian buru-buru ponsel itu disembunyikannya dalam apitan paha—berharap roknya yang lebar menahan ponselnya agar tidak jatuh ke lantai.
Ini aneh. Padahal dia telah memperkirakan jam pulang yang menjadi keseharian, namun mengapa tiba-tiba semuanya kacau begitu saja?
Gadis kecil itu menoleh ke arah sosok yang suaranya sempat menggelegar di kamarnya. Hatinya menciut, rasa takut bergumul dalam dada ketika dia membuka mulutnya untuk menjawab.
"Ya, Ma?"
Zara dengan ragu melemparkan pandangan pada ibunya, ingin menatap iris sang wanita—katanya itu merupakan sopan santun kalau berbincang dengan orang—tetapi beralih ke mahkota putihnya lantaran terlalu takut bertatapan.
"Apa kau belajar dengan baik?"
Pertanyaan itu lagi.
Zara mengangguk singkat. Dia memutar badannya sebentar, meraih buku yang dari tadi dihadapnya lalu diangkat, tujuannya agar dapat beri bukti belajarnya sang ibu.
"Ini, tadi guru mengajari tentang penjumlahan dan pengurangan, tapi Zara sudah bisa perkalian dan pembagian."
Bangga gadis kecil tersebut dengan senyum lebar di wajahnya.
"Oh, Zara bahkan sudah hapal perkalian sampai 1000, Ma! Ulangan bahasa dan Sastra Inggris yang baru saja dibagi juga Zara dapat nilai sempurna!"
Senyum yang mengembang semakin lebar, menunjukkan gigi putihnya dan taring panjangnya yang mengintip dari balik bibirnya.
Sekian lama menunggu, tidak ada sahutan bangga ataupun ucapan selamat dari Ibunya. Zara kecil membuka matanya yang tadinya terpejam dan dalam sepersekian detik ekspresi senang luntur dari wajahnya, digantikan oleh netra mata yang melebar dan bibir yang bergetar.
Tentu saja, reaksi apa yang dirahapkan olehnya?
"Hafalan perkalian baru bisa sampai seribu?"
Alis wanita itu jelas mengerut tidak suka. Sirat pandang merendahkan nampak dalam sorotnya, mengintimidasi si gadis kecil yang berusaha banggakan dirinya dengan prestasi.
Zara menggenggam erat roknya, bibirnya terkatup rapat dan kepalanya menunduk. Gadis itu berusaha menahan tangisnya agar tidak bersuara, bisa-bisa nanti omelan yang diterimanya lebih dari ini.
"Dengar ya, dulu Ibu saat seumuran denganmu sudah bisa memahami rumus sin cos tan, yang kau lakukan itu belum seberapa."
"Ibu sudah meluangkan waktu kerja untuk mengetahui proses belajarmu, tapi ternyata kau malah mengecewakan Ibu."
Menarik napas dalam lalu dihembuskan, Zara tahu ibunya mencoba menahan amarah. Gadis kecil itu semakin menunduk, bulir air mata yang menggenang mulai jatuh ke lantai, sebabkan titik-titik basah di lantai keramik berbalut karpet hijau muda.
Zara menggigit bibirnya. Selalu saja begini. Zara selalu melakukan usaha terkerasnya, naasnya pujian ataupun ucapan bangga lainnya tidak pernah keluar dari mulut ibunya. Wanita yang melahirkannya itu tidak pernah menghargai perjuangan Zara, tetapi setia menuntut lebih dari apa yang bisa gadis tersebut capai.
"Kenapa kau tidak pernah membanggakan seperti kakakmu sih?" omel sang wanita diselingi decakan, "Erez terpilih menjadi wakil lomba sains internasional, beberapa detik lalu masuk laporan bahwa dia berhasil membawa medali emas. Kau? Apa yang kau lakukan yang dapat membanggakan, Zara? Tidak ada."
Zara bisa merasakan isakan tangisnya menguat. Berkali-kali dirinya menumpahkan air mata kalau berurusan dengan sang ibu, kenapa hatinya tidak kebal-kebal juga dengan semua perkataan yang menyeyat hati itu?
Ini dan itu, bagi ibunya semua tabiatnya adalah kesalahan besar yang memalukan keluarga mereka.
Mentang-mentang keluarga kaya dan terhormat, perlu dirinya juga berlaku serba diatur dan disiplin? Tidak.
"Kau memang payah, Zara, besok Ibu akan tambahkan jadwal lesmu-"
"Jangan, Ma!"
"Kenapa? Belum sadar juga kau tertinggal jauh oleh kakakmu?"
Kakak lagi, kakak lagi.
Zara bosan menyikapi ibunya yang selalu mengelu-elukan nama sang kakak di hadapannya. Kakak inilah, kakak itulah, pokoknya Ereziel adalah sosok yang tidak akan pernah sanggup disingkirkan Zara dari daftar saingannya. Jarak mereka terlalu jauh. Sekuat apapun Zara menumpuk berbagai macam ilmu dan memaksimalkan jam belajarnya, dia tetap tidak bisa melampaui kakaknya.
Zara adalah bayangan dari Ereziel, begitulah pandangan kedua orangtua mereka.
Ditengah kalutnya pikiran, ibu Zara mendekat—dia menarik tangan Zara dan memaksanya berdiri—spontan membuat Zara jatuhkan ponsel yang disembunyikan. Zara hendak menyambar ponselnya yang jatuh, namun tangan besar ibunya mendahului.
Tombol power dipencet, tampilkan layar ponsel dengan berbagai pop up notifikasi chatting yang membanjir dari teman-teman Zara.
Ibu melotot tidak suka, dia membuka salah satu pesan obrolan dan mengecek tema percakapan mereka secara rinci, lalu menyodorkan layar ponsel ke depan muka Zara kecil.
"Ini? Ini yang sebenarnya kau perbuat daritadi Zara?!"
Nada suara meninggi, bentakan ringan di bagian akhir terdengar jelas oleh indera pendengaran Zara.
Gadis itu masih menunduk, bertambahlah rasa takut yang menumpuk dalam dirinya.
"Berbohong tentang belajar, bukannya melaksanakannya tapi kau malah mengobrol dengan teman-temanku tentang film kartun kuda poni?!"
Suara berat menggelegar di seluruh penjuru ruangan. Zara bisa rasakan aura tidak enak dari ibunya. Dia tidak memikirkan nasib ponselnya, melainkan nasib dirinya setelah ini.
Tidak bolehkah dia melarikan diri dari kewajibannya sebentar saja?
"Maaf, Ma, Zara hanya mengobrol sebentar saja .... "
"Tidak! Kau tidak butuh lagi benda ini!"
Ponsel berlapis casing stroberi dibuang keluar lewat jendela kamar yang terbuka. Zara ingin menjerit melihat benda yang menjadi alat hubung dengan teman-temannya dibuang begitu saja oleh ibunya, namun tidak ada sepatah kata pun berhasil keluar dari mulutnya karena syok.
Tangan ibu berpindah mencengkram bahu Zara, hadapkan iris dongker sang gadis dengan kelereng biru ibunya. Ibu tidak menggubris genangan air mata di pelupuk Zara. Rahang wanita itu mengeras, sirat matanya menguarkan amarah sementara si gadis kecil menyurutkan isak tangisnya dan mematok diri untuk tegar sesaat.
"Dengar, Zara, mulai besok kau tidak boleh berkomunikasi dengan teman-temanmu sampai kau menghasilkan sesuatu yang mengagumkan. Tidak ada alat elektronik dan hiburan lainnnya selain belajar, paham?"
Zara cepat-cepat mengangguk mumpung dirinya masih kuat untuk tidak membiarkan air matanya mengalir deras kalau berhadapan dengan sang ibu.
Dalam hati kecilnya gadis itu berharap—bahwa lebih baik dia dibesarkan di keluarga sederhana saja daripada keluarga yang gila pekerjaan seperti ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top