23. Akhir, Bagi Kita

Yoo Jimin tahu pertarungan ini telah berakhir saat Jeno jatuh dengan pedang Taeyong yang mencuat dari dadanya.

Benar-benar berakhir sekarang. Layaknya lilin yang sumbunya terbakar habis. Atau sumur yang mengering. Namun ada yang salah. Ada yang terasa sangat, sangat salah. Di dalam dirinya. Sangat dalam. Ibarat sebuah ruangan kosong yang lama tak digunakan. Di hati? Benar, di hati—kalau dia masih punya sesuatu yang disebut hati.

Jimin kira dia sudah tidak punya hati. Bahwa tak lama setelah ibunya menyusul sang ayah, hatinya mengeras, semakin keras, lalu hancur menjadi serpihan yang lebih kecil dari kerikil. Tapi jika itu benar, lantas apa ini—rasa sakit ini? Mengapa itu, seperti air matanya, tidak kunjung berhenti?

Menyaingi air matanya, sesuatu yang lain mengalir tak kalah deras. Sama hangat meski dalam warna yang berbeda. Darah Jeno; membasahi hanbok-nya, membasahi tanah. Ada di mana-mana. Darahnya terlalu banyak. Menakutkan. Jimin menyentuh bilah pedang Taeyong yang terbenam di tubuhnya, tak tahu harus berbuat apa yang tidak akan
melipatgandakan rasa sakitnya. Dia terbayang ucapan Taeyong yang menyombongkan keunggulan bangsanya. Dia mencoba berpikir positif. Namun Jimin tahu luka ini berbeda. "Katakan padaku ini tak seburuk kelihatannya," ujarnya memohon.

Di pelukannya, Jeno tidak berkata apa-apa. Jeno hanya menarik dan mengembuskan napas dengan apa yang tampaknya adalah usaha keras.

Jimin mengelus pipinya, sekaligus menghapus segaris darah yang menutupi tahi lalat Jeno. "Oh, kekasih musim semiku. Kita seharusnya tidak pernah bertemu."

Jeno menggerakkan kepalanya sedikit, dengan susah payah, yang bisa jadi adalah gelengan

Jimin menggeleng lebih tegas. "Ssstt. Tidak. Tidak, Jeno. Itu benar. Akan lebih baik kalau kau membiarkan Aeri mengurusku hari itu. Kau adalah orang terakhir yang pantas kulibatkan dalam rencana gilaku. Aku ... Aku melakukan kesalahan." Akhirnya, Jimin mengakui apa yang dia ketahui dan sangkal sejak lama.

Pengakuan itu ditanggapi Jeno dengan bantahan yang lebih nyata, melebihi gelengan belaka. Sebuah pernyataan final, yang awalnya terpatah-patah dan nyaris tak terdengar. Seakan itu rahasia di antara mereka saja, dan dunia tak berhak mendengar. Padahal Jeno hanya tak sanggup bicara lebih lantang dari bisikan. "Tapi aku tidak menyesalinya ...."

Senyum Jimin terbit di sela-sela air matanya. Seperti matahari, yang menyelip di tengah barisan awan kelabu yang menandakan hujan. "Dunia di dalam atau di luar hutan tidak layak menerimamu. Begitu pun aku."

Suara tawa serak menimpali pujian Jimin. Kedengarannya mirip angin panas yang menerbangkan pasir di gurun yang gersang—sisa dari apa yang tadinya adalah tawa secair dan semanis madu segar. Taeyong tertawa, memperlakukan Jimin bak pelawak yang mengumumkan lelucon terhebatnya. "Kalian ... Tidak menang."

Tanpa menanggapi, Jimin menutupi telinga Jeno dengan tangannya.

"Sang ratu"—Taeyong rupanya belum selesai—"Tidak akan diam. Aku—aku tidak kalah. Tidak ... Pernah." Lalu dari tempatnya di belakang Jimin, Taeyong bersiul. Satu nada tinggi panjang yang menyerupai perintah tanpa kata. Siulan yang kali ini lebih lemah, bahkan sumbang dibanding siulannya yang biasa. Tetapi tetap saja sebuah siulan dari seorang Penjinak.

Sebagai respons, tiga burung peliharaannya yang bertengger di pohon tempat belati Jeno sempat tertancap mencicit kebingungan, berusaha memahami perintahnya. Salah satu dari mereka melebarkan sayap, lebih tanggap. Tak tertangkap penglihatan Jimin, Taeyong mengangkat tangan berdarahnya setinggi yang sanggup dilakukan lengannya, dan menunjuk punggung Jimin. Taeyong bersiul lagi. Lalu tak lama tangan itu merosot dan bergeming—untuk selamanya.

Jeno mencoba mendorong Jimin. "Lari ... Lari."

Ketiga burung itu kompak memamerkan cakarnya. Mereka berdiri lebih tegak dan memusatkan perhatian pada Jimin yang mematung. Dari sudut pandang mereka, Jimin tak lebih dari seekor kelinci yang tak bisa menemukan lubangnya; terpojok tanpa jalan keluar.

Jimin balas menatap burung-burung itu dengan tatapan hampa. Kakinya yang terluka berdenyut-denyut dengan intensitas rasa sakit yang meningkat. Ingin rasanya Jimin menyalakan kakinya. Namun itu akan jadi kebohongan. "Tidak apa-apa, Jeno. Tidak apa-apa."

Burung-burung itu terbang. Cakar mereka melengkung dalam posisi siap merobek-robek mangsa. Jimin melipat tubuhnya menjadi sekecil mungkin. Dia susupkan kepalanya ke bahu Jeno dan menutup mata. Dia bertanya-tanya, memangnya akan sesakit apa? Bukankah rasa sakit akibat kehilangan orang yang kau sayang adalah puncaknya?

Di bahu kekasihnya, gadis itu bersembunyi. Sama sekali tidak takut, barang sedikit. Orang bilang menjelang kematian, kau akan mendapat kilas balik momen-momen berharga dalam hidupmu—dan itu benar. Dalam bentuk gambar dan suara, sama jernih seperti air di sungai Edra, Jimin teringat kebohongan ayahnya yang paling menyakitkan, kebohongan ibunya yang diutarakan untuk melindunginya, dan kebohongannya sendiri—yang lebih banyak. Amat banyak. Rambut Jimin menjelma jadi tirai yang memisahkan dia dan Jeno dari maut yang mengintai. Dia bersiap merasakan perihnya cabikan.

Cabikan itu tidak pernah datang.

Alih-alih rasa sakit, Jimin justru merasakan embusan angin yang menerpa wajahnya—dan asalnya dari jubah seseorang. Kecewa, Jimin menengadah untuk melihat siapa yang dengan lancang menariknya dari kolam kematian hanya untuk melihat sepasang kaki—ramping dan kokoh—terbungkus celana dari kulit. Kemudian pinggang yang tersambung pada punggung yang tegap. Kemudian tangan, yang memegang belati dan menghabisi burung-burung yang hendak menyerangnya. Satu burung yang lebih berani disambar dengan tangan kosong, lantas dipatahkan lehernya. Sebelum Jimin berkedip, tiga burung mati sudah tercecer di depannya.

Penyelamat Jimin menurunkan belatinya. Dari ujung belati itu, darah menitik-nitik dalam aliran lambat. Sama lambatnya dengan kepalanya yang menoleh, menampakkan rambut sewarna api, mata biru yang membakar, dan ... Sepasang telinga runcing lainnya.

Jimin terkesiap. "Kau—"

Doyoung memiringkan kepala. Tingkahnya pernah Jimin lihat pada seekor kucing yang tidurnya terganggu karena suara yang terlalu kencang. "Kau mengenaliku. Dan rupanya juga tahu namaku."

"Pembaca pikiran ...."

"Benar sekali."

"Apa yang kau inginkan?"

Mantan Penjaga Doyoung menyerap pemandangan desa itu ke dalam benaknya. Kehancurannya. Kerusakannya. Ia berhenti paling lama di tubuh sahabatnya yang terbaring menyamping, tidak bernapas. Sahabat, kalau itu tidak berlebihan. Atau sekadar rekan. Lalu ia menunduk pada Jeno di dekapan Jimin. Kesedihan terlukis di wajahnya. "Aku pernah memimpikan kita hidup berdampingan; sekarang aku akan lebih bijak. Akan lebih baik kalau kita hidup terpisah, bukan?"

Jimin terdiam.

Menyimpan senjatanya, Doyoung menghampiri Taeyong dan mencabut pedang besi yang menancap di perutnya. Diangkatnya tubuh Taeyong dengan mudah, seolah Taeyong tak lebih dari beberapa ikat jerami yang ia panggul di pundaknya. Rambut Taeyong berayun-ayun. Masih berkilau. Masih indah. Bahkan kematian tak kuasa merenggut kerupawanannya. Doyoung memberi isyarat pada Jeno. "Aku bisa membawanya juga. Izinkan aku membawanya."

Namun berbeda dengan kakaknya, Jeno masih bersama Jimin. Ajaibnya. Untuk sementara. Jimin sadar betul pangkuannya menjadi semakin berat, tanda bahwa Jeno tak mampu lagi menopang tubuhnya. Tapi matanya—itu dia. Mata Jeno masih sejernih biasanya, dan mata itu terang-terangan memberi Jimin jawaban ketika mulutnya kesulitan. Jimin menggeleng. "Jeno tinggal."

"Jeno lahir di hutan," protes Doyoung. "Seorang putra dari alam. Dia seharusnya—"

"Jika Jeno ingin pulang," potong Jimin tajam, "Seharusnya dia tak pernah kemari, kan? Pulanglah, Telinga Runcing. Kau sudah berbuat cukup."

Selama beberapa detik, Doyoung berdebat dengan dirinya sendiri. Akan tetapi mau dipikirkan berapa kali pun, argumen Jimin mengandung kebenaran. Tak ada yang bisa memaksa Jeno untuk melangkah ke mana. Dengan berada di sini, Jeno menegaskan apa—atau siapa—yang Jeno anggap rumah; gadis yang pikirannya terisi dengan campuran kepedihan, duka, dan kegetiran itu.

Doyoung mengangguk. "Berjanjilah kali ini kau akan menghargainya, Karina."

Dengan tuntutan itu, seperti kemunculannya, Doyoung pergi nyaris tanpa suara.

Tersisa Jimin dan Jeno, yang menetap tatkala satu per satu burung lainnya memutuskan membuntuti Doyoung ke tempat asal mereka—di mana pun tempat itu berada. Bulu-bulu mereka berguguran, terhempas dari pohon bak salju yang turun terlalu awal. Menyeret Jimin kembali pada musim dingin yang ada di belakang, yang jauh, jauh, tak terjangkau atau dapat diubah. Dia menghela napas. "Seandainya kita bisa mengulang atau pindah ke tempat kita bisa melupakan semuanya. Apa pendapatmu tentang kehidupan selanjutnya, Jeno?"

Untuk kedua kalinya Jeno tidak menjawab. Hanya bersandar pada Jimin, sepenuhnya.

"Kami manusia percaya pada kehidupan kedua. Dan selanjutnya. Dan selanjutnya lagi. Konyol memang. Dan kedengarannya melelahkan. Aku sendiri tidak yakin aku memercayainya. Tapi siapa tahu? Hal itu mungkin sungguh ada. Dan kita bisa kembali bertemu"—suara Jimin memelan. Dia menelan isakannya—"Di kehidupan selanjutnya ...."

Setetes air mata mengalir dari mata kanan Jeno dan mendarat di pangkuan Jimin. Bibirnya mengembang membentuk senyum kecil. Dalam momen singkat itu, kematian melonggarkan cengkeramannya. Keajaiban mengembalikan suara Jeno. Kemustahilan meminjaminya tenaga. Demi satu pesan terakhir, yang disampaikan dalam satu napas terakhir. "Aku akan mencarimu ... Dan aku akan mencintaimu lagi."

Lalu tepat setelah itu, dadanya berhenti bergerak. Alisnya yang berkerut menahan sakit menjadi lebih santai. Seluruh wajah Jeno—terbebas dari penderitaan, seiring matanya yang terpejam. Bahunya mengendur. Kematian menjemputnya laksana seorang ibu yang penuh kasih, yang mengambil nyawanya lalu menukarnya dengan kedamaian abadi.

Malam itu, seorang putra alam meninggal di tanah manusia.

Lama sekali, Jimin meletakkan tangannya di dada Jeno, berharap merasakan detak jantung tersamar atau tanda-tanda kehidupan dalam bentuk apapun. Tapi siapa yang hendak dia bohongi? Jimin tahu. Jimin tahu ini adalah perpisahan. Dia membelai-belai pipi Jeno, menyentuh garis rahangnya, rambutnya. Dia mengecup dahi Jeno yang masih hangat dan menempelkan pipinya sendiri di sana. "Maka aku akan menunggu. Aku berjanji akan menunggumu, Jeno."

Ketika Sungchan menemukannya beberapa saat kemudian, Jimin masih bertahan pada posisi yang sama sehingga dengan cara itu, dia dan Jeno terlihat saling menopang. Bayangan Sungchan jatuh menimpa mereka. Sungchan mengamati Jimin, lalu Jeno, lalu membuat kesimpulan di keheningan. Lidah Sungchan kelu; bukan berarti ada yang perlu diucapkan. Air mata Jimin menjelaskan segalanya. Itu air mata seorang pemenang yang justru mendapati dunianya luluh lantak. Kehilangan bukan barang melainkan sebagian hatinya. Bagian yang besar, pula.

Barangkali sebenarnya tidak ada pemenang di sini.

Bagai ilusi memusingkan, genangan air di dekatnya seakan memantulkan refleksi Sungchan kecil yang menangis tersedu-sedu dan harus digandeng Jimin untuk keluar dari hutan, sementara Jimin yang dulu pemberani kini terlihat sangat membutuhkan bantuan.

Sungchan mengulurkan tangan kirinya; hanya ada empat jari di sana. "Sekarang giliranku memandumu pulang, Jimin."

Gua yang nulis, gua yang ikutan syedih. Dahlah 🤧

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top