22. Akhir, Bagiku
Seandainya lemparan belatinya tepat sasaran, atau setidaknya mengenai Taeyong di bagian tubuhnya yang mana saja, semua ini akan jadi jauh lebih mudah.
Jeno lupa; menyangkut Taeyong, tidak ada yang mudah.
Dalam hati Jeno mengolok-olok pemikiran naifnya, sembari memungut sebuah pedang pendek dari tanah. Pedang besi pendek. Dia langsung tahu begitu merasakan panasnya. Dia juga tahu bahwa dia seharusnya membuang pedang itu seketika. Ini peraturan lain lagi: kau tidak menyerang saudara atau saudarimu dengan senjata yang berpotensi memberi luka fatal bagi mereka kecuali mereka pengkhianat. Memangnya siapa yang pengkhianat di sini?
Puluhan burung-burung yang sejenis dengan Sapphire menghentikan kegiatan mereka. Sebagian besar karena tidak ada yang tersisa untuk dirusak. Mereka bertengger di titik-titik yang tidak terbakar, membersihkan paruh mereka dari darah atau kotoran manusiawi lainnya, dan menjadi penonton yang antusias. Sementara tuan mereka terkekeh—masih semenawan biasanya. "Adik kecilku. Keterlambatan adalah sifat buruk lain yang perlu kau perbaiki. Maksudku, kalau lebih terlambat dari ini, barangkali kau tidak akan menyukai apa yang kau lihat."
Tak usah menunggu nanti, sekarang saja Jeno sudah tidak menyukai pemandangan suguhan kakaknya. Jeno memang terlambat. Seluruh desa ini membayarnya. Satu orang gadis, khususnya, membayar lebih mahal.
Karina tercengang tak percaya. "Mengapa ...."
Karina terduduk di kaki Taeyong. Wajahnya tergores-gores. Pakaiannya ternoda darah. Kakinya terluka paling parah. Namun yang lebih mengejutkan, kondisi Taeyong juga tidak bisa dikatakan segar bugar. Mengapa, tanya Karina. Jeno bisa memaparkan beberapa alasan. Hanya saja, dan ini masalahnya, dia tak selalu mampu memisahkan kejujuran dan dusta. Maka dia diam.
Jeno lebih memilih menanyakan sesuatu yang benar-benar ingin dia ketahui, dan itu kepada Taeyong. "Kalau aku menerima hukumanku, kalau aku mengakui semua kesalahanku tanpa melibatkan siapapun kecuali diriku sendiri, maukah kau menghentikan"—Jeno melambaikan tangan ke sekeliling—"Ini?"
Mula-mula Taeyong tidak merespons. Pria yang lebih tua itu memijat dahinya, seolah ini perdebatan dengan anak kecil dan ini membuatnya frustrasi. "Jeno, Jeno. Manusia ini telah merusak akal sehatmu hingga aku tidak tahu cara memperbaikimu. Ataukah itu kebodohanmu yang bicara? Kenapa kau pikir kau berhak tawar menawar denganku?"
"Entahlah," sahut Jeno bimbang. "Kenapa, ya? Mungkin untuk sejenak aku mengira bisa bicara dengan kakakku."
Taeyong melirik belati yang ditujukan padanya. "Kakak? Kau sudah kehilangan kakakmu di hari hinaan pertama dilontarkan ke wajahku."
Jeno mengerti sekarang; ini tak pernah tentang dirinya.
Jika sejak kecil hanya mengenakan selimut dari benang emas, kau akan terjaga semalaman saat berbaring di bawah selimut dari kulit domba. Kau takkan menyukainya. Kau takkan mengenalinya. Hal yang sama terjadi pada Taeyong. Jeno bisa menebak bagaimana pujian yang selama ini mengiringi setiap langkah kakaknya berubah jadi hinaan.
"Adikmu sendiri, Taeyong?"
"Kau seharusnya mengurusnya lebih baik dari ini, bukan? Seharusnya begitu."
Taeyong yang sempurna tentu takkan pasrah. Jadi Taeyong menangani masalah ini dengan cara paling efisien yang diketahuinya: membalas, melampiaskan.
Jeno bisa merasakan amarah kakaknya dari ayunan pedangnya yang hampir membelahnya jadi dua. Belum apa-apa, Jeno sudah oleng. Amarah sebesar itu, kebenciannya—Jeno belum pernah dihadapkan dengan tembok serupa. Seandainya pedang Karina lebih berat, Jeno akan jatuh. Tanpa keraguan. Berjuang mendapat keseimbangannya, Jeno mengukuhkan pijakannya. Kedua pedang terjepit di tengah mereka, meski jelas condong pada siapa.
"Pedang besi, Jeno? Kau menggunakan pedang besi padaku?" Tawa Taeyong membahana. "Kau pasti sangat mencintainya."
Dari sudut matanya, Jeno mendapati Karina mencabut belatinya dari pohon, lalu memotong sebagian roknya dalam panjang yang cukup untuk dijadikan bebat darurat.
Jeno tidak mengacuhkannya. Namun berkata dengan penuh penekanan. "Kau tidak mengenalnya."
"Tidak," aku Taeyong, "Dan aku tidak mau."
Padahal maksud Jeno bukanlah Karina secara spesifik, melainkan cinta. Taeyong yang terbiasa menerima cinta dari banyak orang tidak akan tahu cara memberikannya. Barangkali Taeyong bahkan tidak akan mau walau tahu caranya.
Tangan Jeno mulai gemetar. Tenaganya tak mempersiapkannya untuk ini. Dia berhasil mendorong pedang Karina maju satu, mungkin dua senti, sebelum Taeyong memberikan dorongan yang lebih kuat dan mengiris kulit yang berada tepat di bawah tulang pipi kanan Jeno sampai ke ujung telinganya.
"Tahukah kau apa yang kualami karenamu? Tahukah kau?!"
Bila ingin menyelesaikannya sekarang, itu peluang pertama Taeyong. Yang harus dilakukan Taeyong adalah mengincar dada Jeno. Tapi sekedar membunuhnya tanpa penderitaan, Taeyong terlampau marah untuk mengasihaninya.
Taeyong malah meniru tingkah predator yang yakin akan nasib mangsanya dan berjalan mengitari Jeno. "Aku bisa menerima banyak hal, Jeno. Namun tidak penghinaan. Tidak pernah penghinaan! Mengapa, mengapa sulit sekali bagimu menjadi sempurna?"
Napas Jeno keluar-masuk dalam tempo lambat. Dia menunduk. Angin meniup rambut yang menempel di dahinya karena keringat. Telinganya berdenging oleh suara tinggi melengking yang seakan hendak meledakkan isi kepalanya menjadi berkeping-keping.
"Kau." Taeyong menumpahkan butir terakhir rasa muaknya. "Tak lebih dari aib yang memalukan—bagi keluarga dan bangsa kita."
Hening. Tak ada balasan. Jeno dengan tenang mengusap pipinya alih-alih menjawab. Terlalu tenang.
Pengabaian itu kian mendidihkan sungai amarah Taeyong. "Aku sudah selesai denganmu. Aku sudah selesai menoleransimu—"
Dengan bunyi dengingan yang bertambah keras, keras, lalu lebih keras, Jeno melakukan apa yang akan dilakukan oleh orang yang kehilangan akal maupun siap kehilangan segalanya: melanjutkan tantangannya pada Taeyong. Pedang Karina berkelebat di depan hidung Taeyong, dan kakaknya itu menghadangnya. Akan tetapi Jeno, yang mengenal kemampuan Taeyong sebaik dia mengenal sindirannya, tahu itu bukanlah usaha terbaik yang Taeyong kerahkan. Dan sebelumnya, dengan gerakan yang nyaris tak kentara, Taeyong menutupi luka di perutnya.
Dua pasang mata yang warnanya mewakili dedaunan di musim semi itu bertatapan. Jeno berkedip lebih dulu, memutus kontak mata itu di saat yang sama dia menyentakkan pedang Taeyong ke samping. Kagok oleh berat tubuhnya yang terlanjur berpindah, reaksi Taeyong buruk ketika Jeno menendangnya di perut.
Selalu, sejak dulu, dia adalah yang tercepat di antara mereka.
Adrenalin, atau keberuntungan, melontarkan Taeyong lebih jauh dari yang Jeno duga. Karina menoleh, menghentikan kegiatannya yang sedang mengikat kakinya dan mencoba berdiri. Ekspresinya mencerminkan tanya yang belum Jeno jawab. Tanya, seperti, untuk siapakah Jeno melawan?
Taeyong berdiri lebih tangkas dengan melompat. "Kau sungguh ingin aku melakukannya, Jeno? Benarkah?"
Masih setia pada keheningannya, Jeno hanya membetulkan posisi pedang Karina.
Taeyong menepuk-nepuk pakaiannya dengan ketenangan yang dipaksakan. Ledakan kemarahannya memudar sedikit demi sedikit. Taeyong menjadi lebih terfokus. Lebih berkonsentrasi—dan itu bukanlah pertanda baik. Bahasa tubuhnya memberitahu Jeno bahwa Taeyong memang sudah selesai dengan permainan ini.
Benar saja. Taeyong menyerang Jeno dengan kebrutalan yang meningkat. Jeno mendapati dia dipaksa bertahan—tanpa celah menyerang—yang merupakan ajaran langsung Taeyong yang menyatakan bahwa kalau kau tidak terampil, kecepatanmu percuma. Berulang-ulang pedang mereka berbenturan, menghasilkan bunyi laksana ketukan pada pintu kematian.
Taeyong mengetuk lebih keras, dalam hal ini, membungkuk sekilas dan membuat manuver seperti akan menebas kaki Jeno. Terlambat mengantisipasinya, Jeno terjebak antara keputusan mundur atau mengelak. Akibatnya, dia jatuh menimpa bebatuan, dan gagal melindungi siku kirinya yang tertekuk dalam sudut tidak natural.
Mendadak, Jeno bisa mendengar lagi.
Jeno mendengar banyak hal mulai dari suara darahnya sendiri yang mengalir deras di nadinya, erangannya yang menyedihkan, dan gemeletuk gigi sang kakak yang dikertakkan agar menjaga emosinya. Semua itu menerpa Jeno layaknya satu gelombang raksasa. Jeno tersengal-sengal.
Sekejap, rasa menyesal melintas di wajah Taeyong—mirip nyamuk yang kabur sebelum kau menepuknya—dan Jeno bertanya-tanya apakah itu nyata atau dia membayangkannya. "Kau tak bisa mengubah apa-apa."
Sebuah bayangan bergerak di belakang Taeyong.
"Apa yang ingin kau ubah, Jeno? Masa depan apa yang kau impikan?"
Bayangan itu semakin dekat. Tertatih-tatih tapi pasti. Sesenyap ... Anak rusa? Bukan. Itu tidak tepat. Sesenyap yang akan dilakukan oleh seorang gadis yang memantapkan tekadnya. Itu lebih pas.
Namun seekor burung peliharaan Taeyong memekik memperingatkan.
Taeyong berbalik menyambar pergelangan tangan Karina yang memegang belati Jeno dan menamparnya sampai Karina terpelanting. "Kau mestinya pergi saat aku sudah tidak peduli."
Terpisah dua rentangan tangan, Karina tertelungkup sementara Jeno telentang. Jeno menggali pikirannya. Dia merasa harus mengatakan sesuatu—apa saja—tapi kata-katanya bagai tulisan di atas air yang hanyut sebelum terucap dari bibirnya. Sebagian dirinya tahu itu tidak ada gunanya. Tak ada yang bisa meredakan badai musim dingin kan? Bahkan cinta.
Cinta yang kini dipandang rendah oleh Taeyong. "Kalian tak bisa lebih menyedihkan dari ini!"
Kalimat itu seperti setetes minyak yang kembali mengobarkan api dendam Karina. Kepala Karina berpaling darinya. Karina, yang tak mengenal apa itu menyerah. Karina-nya. Jeno menggeleng. Jangan. Namun Karina yang mengambil sesuatu dari rambutnya telah memakai benda itu sebagai tumpuan untuk bangun.
Taeyong menghela napas. "Kalau kau memang ingin menyelesaikannya." Ujung pedang Taeyong menemukan sasaran baru.
Tidak.
Jeno meraba-raba dengan berisik mencari pedang Karina. Dia menyuruh, membentak, dan menghardik tubuhnya agar bangkit. Dia tiba di titik di mana dia memohon supaya sekali ini saja tidak bersikap lemah. Ditekannya segenap rasa sakit dan letih yang hinggap. Dia, dengan cara apapun, hanya ingin bertindak. Harus bertindak. Lalu disertai geraman kasar yang mewakili kemauannya, Jeno berguling bersama pedang Karina di tangannya. "Kakak ...."
Kakaknya memutar tumit, otomatis mengabaikan Karina. Bagi Jeno, itu terasa seperti selamanya. Bagi Taeyong, itu adalah gerakan Jeno yang tercepat. Mata Taeyong merekam momen kilat tatkala Jeno bangkit, mengacungkan pedang, dan menyarangkan pedang itu ke perutnya. Pedang besi itu.
Jeno memperingatkan. "Kau harus berhenti."
Saking cepatnya, Taeyong tak sempat menghindar. Namun begitu pula Jeno, yang masih berada dalam jangkauan Taeyong; sama rentannya. Murka, Taeyong merenggut kerah pakaian Jeno dan mencengkeramnya erat-erat. Cengkeraman Taeyong seperti berkata, diam, memaku Jeno di tempat. Jadi saat pedang Taeyong—senjata yang lebih mematikan—datang, pedang itu tanpa halangan menembus dada Jeno, hingga ke punggungnya.
Kemudian dari belakang, Karina menusuk leher Taeyong dengan hiasan rambutnya.
Andai bulan bisa bicara, pada siapakah bulan akan lebih menaruh iba? Dua bersaudara yang hidupnya dikutuk sejak si adik dilahirkan? Atau sepasang kekasih yang sangat, sangat tidak beruntung, yang satu pihak mencintai terlalu dalam tapi yang lain dibutakan oleh dendam? Di bawah cahaya bulan malam itu, ada kisah cinta dan persaudaraan yang hancur—tiga sosok yang terkunci dalam satu garis takdir yang membingungkan, yang tak mengarah ke mana-mana selain pada duka ... Dan kematian.
Taeyong roboh lebih dulu, seumpama tembok pemisah yang runtuh di antara Jeno dan Karina. Dia menggapai-gapai ke lehernya, dengan panik berusaha mencabut hiasan rambut Karina. Tapi jemarinya terbakar dan baik leher atau perutnya melepuh. Tak ada yang bisa dilakukan.
Gugurnya Jeno berjarak satu detik lambatnya. Tanah yang keras menyambut kejatuhannya, dengan suara berdebum samar di samping sang kakak. Lengannya terkulai, tak mampu untuk sekadar melakukan upaya penghentian pendarahan yang dia tahu akan sia-sia. Tak mampu memastikan keadaan Taeyong. Tak mampu bergeser ke tanah yang lebih halus demi secuil saja kenyamanan. Bahkan hampir tak mampu mendongak. Habis sudah—segalanya.
Jeno mengembuskan napas panjang pada bentangan langit luas yang terkesan jauh sekaligus dekat. Sudah berakhir sekarang. Jeno tahu itu. Akhirnya.
Karina, yang ironisnya masih tegak dengan kaki yang terluka, telanjang, dan dihiasi lumpur, melangkah bagai dalam mimpi. Bukannya pergi, Karina berhenti persis di sebelah Jeno dan menatapnya. Rambutnya tergerai setelah ia tanpa sengaja menghilangkan pitanya saat mencabut hiasan rambutnya tadi. Aneh. Entah kenapa, Karina juga tidak terlihat setangguh tadi. Karina terlihat berbeda. Ada berbagai versi Karina. Namun yang ini baru dan asing.
Mengapa?
Jeno berniat menelan ludah, tapi tersedak darahnya sendiri. Dia mengeluarkan suara batuk menyakitkan, dan darah mengalir dari sisi mulutnya. Siku kirinya bengkok ke arah yang salah dengan tangan terbuka, kosong, yang tak meraih apa-apa.
Selama itu, Karina terus menatap. Apakah itu kepuasan? Apa Karina senang? Jeno tidak tahu. Raut mukanya tidak terbaca. Kalau malam butuh seorang ratu, Karina-lah orangnya. Seseorang yang pantas disebut sang ratu malam—indah dan penuh rahasia. Yang pasti, ia tidak bersorak saat seharusnya berbuat demikian. Genangan darah Jeno yang melebar mengalir menuju ke kakinya.
Karina mundur. Jijik?
Tidak. Karina hanya bergeser ke kepala Jeno. Tanpa kata, gadis itu berlutut. Rok hanbok-nya yang robek mengembang di sekitarnya. "Jeno."
Jeno merintih lirih saat Karina mengangkat lehernya dan membawa Jeno ke pangkuannya. Itu bukanlah penolakan. Rasanya hangat, bagi Jeno yang tiba-tiba kedinginan.
"Jeno," panggil Karina lagi. Dengan suara serak. Tangannya terulur, ragu-ragu, membelai pipi Jeno dengan gerakan yang teramat lembut, berikut menyeka darah dari sana. Menggantikan darah, sesuatu yang lain membasahi pipi Jeno. Menetes-netes bak hujan, air mata Karina yang mungkinkah lebih tulus dan benar dari kebohongan ketujuhnya?
Karina terisak. "Oh, kekasih musim semiku ...."
Ngarep apa di cerita dark romance? Happy ending? HAHAHAHAHA ya kali 😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top