20. Para Pemanah
Yoo Jimin menarik napas panjang.
Memasukkan ke dalam paru-parunya udara kotor yang bercampur dengan asap kebakaran, sementara kerangka pintu sebuah rumah di sebelah kenannya ambruk ke tanah. Jimin berdiri di tempat yang sebelumnya adalah persimpangan yang menuntun pada alun-alun desa, jalan yang telah dia lewati berkali-kali saat melakukan pengiriman. Jalan yang di musim semi akan terlihat cantik, berkat pohon wisteria yang konon berusia ratusan tahun—kemudian tidak lagi.
Di sekeliling Jimin, api menyala mengubah malam yang dingin menjadi sepanas neraka. Api turut melahap pohon wisteria itu, memanggangnya hidup-hidup hingga mengeluarkan rintihan yang terdiri dari suara keretek daun yang terbakar dan cabang yang tumbang. Bau menyengat bunga yang mengerut dan menjadi abu menusuk indra penciumannya. Ke mana pun dia menoleh, dia melihat kehancuran dari apa yang tadinya adalah desa yang indah.
Desanya. Desa kecilnya yang indah.
Seolah mendengar isi pikirannya, seseorang mengoreksi, "Dulu, tempat ini adalah milik kami. Tidak terlalu jauh di masa lalu."
Sebilah pedang dan belati tersemat di sabuk di pinggangnya. Orang itu hadir bagai matahari di tengah malam—ketampanan mustahil yang celaka. Pisau artistik yang tak peduli bagaimana pembungkusnya, tetaplah berbahaya. Taeyong—dengan kesempurnaan yang melekat kulitnya. "Tapi leluhurmu tiba pada suatu hari, membawa kambing-kambing mereka, anak-anak mereka, dan mulai mendirikan gubuk-gubuk ini. Kami kira leluhurmu sekadar melintas; kami salah. Kalian justru mengklaim tanah ini dan membuat kami harus mundur ke dalam hutan."
"Lantas?" tanya Jimin berang. "Apakah itu memberimu hak untuk melakukan semua ini?"
Taeyong menggeleng, sempat tersenyum. "Bukan aku. Itu kau, Nona. Kau mengancam akan mengadakan pertunjukan dan aku tidak menyukainya. Aku bisa apa selain merobohkan panggungmu? Kau tidak memberiku pilihan."
Seluruh tubuh Jimin gemetar diguncang kemarahan. Kemarahan di tingkat yang tak pernah dia kira ada, menelannya dalam ambisi membutakan yang bermuara pada satu tujuan: selesaikan masalah ini untuk selamanya. "Mengetahui dirimu yang sekarang, aku semakin kasihan pada Jeno. Kau adalah mimpi buruk yang terburuk."
"Ah," sahut Taeyong, sambil mengangkat burung di bahunya. "Tapi kau tidak sedang dalam posisi untuk mengasihi orang lain. Pikirkan dirimu sendiri."
Dan burung itu terbang, tepat menuju tempat Jimin berada.
Jimin menggertakkan giginya. "Bahkan dalam kematian, aku takkan pernah memaafkanmu."
Burung itu terbang, seperti apa yang di masa depan akan diidentifikasi sebagai peluru. Kilatan di matanya memantulkan kebuasan. Paruhnya terbuka. Jimin, berbekal pakaian yang menempel di tubuhnya, tahu peluangnya kecil. Burung itu terlalu cepat. Satu-satunya yang dapat dia lakukan adalah mengangkat tangan ke gelungan rambutnya, merasakan rangka tipis binyeo yang terpasang di sana.
Akan tetapi sebelum Jimin bertindak, sebatang anak panah melesat dan menusuk burung itu di dada. Satu serangan—dan burung itu terkapar. Kakinya menendang-nendang. Lalu Jung Sungchan muncul dari belakang. "Keberatan aku bergabung?"
Pengenalan melintas di mata Taeyong. Bila Aeri belum bercerita, itu takkan jadi masalah. Sungchan dewasa adalah versi muda dari ayahnya. "Jung Sanghyeon ...."
Tanpa melepaskan Taeyong dari pandangan, Sungchan menyerahkan pada Jimin sebilah pedang dari salah satu koleksi senjata mereka. "Tidak. Bukan. Aku putranya. Tapi aku tahu siapa kau."
"Benarkah?"
"Kau bajingan yang membunuh ayahku."
Taeyong tertawa. "Menurutmu akan terbatas pada ayahmu saja?"
Pedang yang dibawa Sungchan terbuat dari besi murni dari ujung ke ujung bilahnya, dan lebih pendek. Pegangannya dibuat khusus agar lebih kecil dan pas di genggaman Jimin. Hasilnya, pedang itu tidak hanya terasa nyaman. Namun juga mantap dalam kendalinya. Bagi Jimin, itu cukup. "Pergilah, Sungchan."
Sungchan tak menghiraukannya. "Menurutmu keberuntungan akan selalu berpihak padamu?"
"Kalian manusia memang menggelikan. Apa aku terlihat seperti orang yang memercayai keberuntungan dan bukannya sesuatu yang pasti?"
"Sungchan!" Jimin mengeraskan suaranya—satu tingkat di atas nada percakapan normal sebelum Sungchan terlanjur meladeni ocehan Taeyong. "Pergi. Sekarang."
"Pergi?"
"Ibumu." Hanya itulah yang dikatakan Jimin. "Pikirkan ibumu."
Wajah Sungchan terpilin membentuk ekspresi yang menggambarkan dilema berat. "Aku tidak bisa meninggalkanmu."
"Kau harus. Ibumu lebih penting."
"Tapi ...."
Tapi Jimin menatapnya seperti sembilan tahun lalu, dengan luka yang hingga kini masih terasa segar—luka berdarah ketika kau kehilangan penopang terakhir dalam hidupmu. Rasa sakit itu, Jimin berpesan tanpa suara, percayalah kau takkan mau mengalaminya. Kehilangan orang tua adalah luka tanpa obat. Aku tahu rasanya. Kau tidak perlu. Jimin mengarahkan dagunya ke rumah Sungchan. "Pergi."
"Mengapa buru-buru?" timpal Taeyong tanpa diminta. "Bukankah dia baru bergabung?"
"Diam!" bentak Sungchan geram.
Pada titik itu, Sungchan menelan pil pahit tentang betapa benarnya Jimin. Ibunya sudah tua. Ibunya sakit-sakitan. Dan Sungchan terlalu takut menggantungkan nasib ibunya pada para pelayan. Bukan berarti Sungchan menelan pil itu dengan sukarela. Kedengarannya Sungchan memaki pelan, lalu tanpa aba-aba melepaskan dua tembakan yang menyasar dua burung di samping Taeyong. Satu kena, yang kedua cukup cerdas untuk menghindar. Sungchan berbalik dan berlari secepat kakinya bisa.
Ketika burung yang selamat itu berancang-ancang mengejar, Jimin berdiri di jalurnya dan memakai pedangnya untuk membelah burung tersebut menjadi dua.
Taeyong mengamati kepergian Sungchan dengan sebelah alis yang terangkat. "Sangat jantan."
Bulu burung itu berhamburan, sejenak menutupi pandangan Jimin dan Taeyong dari satu sama lain. "Dibandingkan denganmu? Benar. Setidaknya Sungchan sungguh menyayangi keluarganya."
"Kau pikir aku berada di sini untuk siapa?"
"Keangkuhanmu, harga dirimu yang terlalu tinggi, atau arogansimu, tapi jelas bukan adikmu."
Lirikan Taeyong tertuju pada tiga burung mati di sekelilingnya, pedang besi Jimin, dan Jimin sendiri. Dan senyumnya kembali terbit, lebih lebar kali ini. "Tepat sekali. Tapi aku yakin jawaban Aeri akan berbeda."
"Aeri?" Jimin menengok ke sana-kemari.
Terlambat untuk bertanya. Di saat yang sama Taeyong telah menghunus pedangnya tanpa mengatakan di mana Aeri berada.
.
.
.
Di mana Aeri berada?
Itu adalah pertanyaan yang bisa dijawab oleh Jeno.
Ketika kakaknya merobohkan panggung Karina dan memutuskan memulai pertunjukannya sendiri, Jeno setengah tertidur dan setengah menghitung waktu dalam benaknya. Baunyalah yang membangunkan Jeno. Bau sangit itu. Menyentaknya dari dunia mimpi yang sudah separuh dia masuki. Kemudian, ada jeritan.
Untuk pertama kalinya sejak dia menjadi semacam tamu di desa itu, penderitaan bukan memancar darinya, melainkan mereka. Satu jeritan disambung jeritan lain yang berkesinambungan. Di dalam selnya, Jeno berdiri penasaran.
Sejenak, dia goyah. Bukti pertama bahwa pengurungan dan penyiksaan mengurasnya lebih parah dari yang dia perlihatkan—baik dari segi fisik atau mental. Kandang itu gelap. Bahkan dengan matanya yang tajam, sudut pandang Jeno masih terbatas. Yang paling berguna adalah telinganya—dan telinga Jeno mendengar banyak hal. Sesuatu yang roboh, bunyi langkah kaki, jeritan, jeritan lagi. Tanpa perlu menerka lebih lama, pintu kandang terbuka.
Sedikit banyak, Jeno telah menduga apa, atau siapa, yang menjadikan malam itu lebih ramai, sehingga dia tidak terlalu terkejut mendapati Aeri di ambang pintu yang didobrak paksa. Jeno tahu itu Aeri di detik pertama. Selain karena Karina tak pernah membawa-bawa kantong anak panah, lebih tidak mungkin lagi, Sapphire, burung peliharaan kakaknya yang pintar melacak, bertengger di bahu Karina.
Mula-mula Aeri diam. Bukannya kepuasan sebab peringatannya terbukti benar, Aeri hanya tampak kecewa. "Orang bodoh sepertimu baru akan sadar api itu berbahaya setelah tanganmu terbakar."
Jeno menunduk ke tangannya sendiri. "Tapi itu cinta."
"Justru lebih berbahaya kan?" Aeri menghampirinya. Di samping atributnya yang biasa, gadis itu menenteng sebilah pedang yang, saking banyaknya hiasan, lebih mirip pedang pajangan. Namun aura mengancam pedang itu tak dapat diredupkan. Satu dari sedikit pedang yang ditempa oleh pandai besi terbaik mereka. Selamat dari berbagai perang, pedang itu dibuat terutama untuk keadaan terburuk yang melibatkan besi dan darah.
"Dari mana kau meminjamnya?"
"Aku melanggar terlalu banyak aturan untukmu malam ini, Jeno. Mundur."
Jeno menurut. "Dia di sini? Kakakku?"
Aeri mengangkat pedang itu dan dengan sekali ayunan menebas jeruji besi di bagian depan. Prosesnya mudah. Dalam waktu singkat, tersedia ruang yang cukup bagi Jeno untuk keluar.
"Ini gagasannya bukan? Dia. Pasti dia yang akan datang dengan gagasan seperti ini."
Sapphire yang masih bertengger di bahu Aeri memekik—tidak jelas apakah itu sambutan atau cibiran. Aeri memindahkan burung itu ke tangannya dan mendorongnya agar terbang. "Kau bisa berterima kasih pada kakakmu nanti. Untuk sekarang berhentilah merengek."
Bagaimanapun, ketika Jeno mengambil langkah pertama kebebasannya, berterima kasih pada sang kakak berada di urutan terakhir daftarnya. Satu tangan Jeno ada di pintu—dan tangan itu mengepal. Dunia di luar kandang tenggelam dalam kekacauan. Manusia-manusia yang bertelanjang kaki berlari ketakutan. Anak-anak menangis. Malam semakin kelam akibat asap hitam dari rumah-rumah yang terbakar. Apa yang dia saksikan lebih mengerikan dari apa yang dia dengar.
Tak jauh dari mereka, dua manusia yang memberi Jeno tato yang indah tergeletak tak bernyawa. Masing-masing anak panah Aeri menembus bagian tengah dahi mereka.
Aeri mengikuti pandangannya. "Mereka menghalangiku. Mereka pantas mendapatkannya."
Benarkah? Jeno mengejutkan dirinya sendiri dengan tidak merasakan kepuasan. Dia memanggil-manggil, menggali sangat dalam, dan hanya menemukan kemarahan yang tak terarah serta rasa muak yang begitu hebat. Jeno menunduk dan bertumpu pada lututnya. Bukan ini yang dia inginkan.
"Hentikan," perintah Aeri, nyaris menghardik. "Ini bukan salahmu. Bukan sepenuhnya. Mereka pantas mendapatkannya."
Jeno menarik napas dengan gemetar. "Kau bisa mengatakannya seribu kali dan aku tidak akan memercayainya walau sedikit."
"Kalau begitu jangan. Kau hanya perlu pulang bersamaku."
"Pulang ...."
"Ya. Ke tempatmu yang seharusnya."
Di mana itu tepatnya?
Penjaga selalu terdiri dari dua orang. Dulu dan sekarang. Tak pernah berubah. Sengaja atau tidak, mereka yang terpilih selalu merupakan dua orang yang sangat berbeda. Kapas dan baja. Air yang menyejukkan dan api yang panas. Sampai kini, Jeno tak pernah benar-benar memahami seberapa besar perbedaan Aeri dan dirinya. Sebab, Aeri bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
"Jeno?"
Jeno menggeleng. "Tidak," katanya, dan merangkul Aeri agar menunduk, menghindari sebuah anak panah yang mengincar bagian belakang kepalanya. "Jung Sungchan."
Seorang pemuda yang lebih tinggi dari mereka berdua menjaga jarak dengan busur siaga. "Kulihat kau tidak butuh kunci untuk keluar. Ataukah temanmu itu pembuat kunci kilat?"
Aeri melangkah maju. "Aku mungkin lebih dari itu."
"Benarkah?" Tantang Sungchan, menyiapkan panah berikutnya. "Beritahu aku."
Untuk memberitahu Sungchan, Aeri rupanya merasa perlu mendekat. Itu bukan lagi langkah yang santai—Aeri berlari dengan pedang teracung tinggi. Sungchan menembakkan satu anak panah, lalu dua, yang sama sekali tidak merepotkan Aeri. Satu anak panah mendarat di depan Jeno. Yang kedua, saat masih melayang, merupakan momen singkat yang dimanfaatkan Aeri guna menyerang Sungchan.
Sungchan menepikan busurnya dan dengan ketenangan yang menakjubkan menarik sesuatu dari sepatunya. Sebilah belati yang dipakainya untuk menahan serangan Aeri. Dua material senjata itu beradu menghasilkan suara yang membuat telinga ngilu. Sungchan sempat mundur. Namun penampakan belati itu—yang adalah belati Jeno—di tangan yang keliru, menyebabkan Aeri kehilangan fokus. Lebih cepat dari yang sanggup dilakukan manusia biasa, Sungchan menggerakkan belatinya dalam gerakan mendatar. Aeri mengelak. Tidak terlalu berhasil. Goresan baru tertera di pipinya yang tadinya mulus. Air mata darah.
Para pemanah adalah petarung jarak jauh, dan karena itu di pertarungan jarak dekat, mereka cenderung canggung. Jadi ketika dua pemanah bertemu, tinggal menunggu waktu siapa yang akan berbuat kesalahan lebih dulu.
Aeri menyeka darah di pipinya. Goresan kecil, tetapi merupakan penghinaan besar jika berasal dari manusia. Aeri kembali bersiap dengan pedangnya, memiringkannya ke sudut yang berbahaya. Perut Sungchan menjadi targetnya. Dengan lihai, Sungchan mengelak, melakukannya hanya dengan memutar satu kakinya. Pedang Aeri pun lewat tanpa menimbulkan kerusakan.
Sungchan melemparkan belatinya ke udara, dan menangkapnya di posisi yang lebih pas. Pemuda itu berniat memberi Aeri goresan yang lebih dalam—atau lebih baik lagi, tusukan—tapi Aeri menekuk punggungnya cukup rendah tanpa membuatnya jatuh. Aeri bahkan tidak berkedip. Rambut sewarna madunya menyapu tanah. Lantas pada gilirannya, Aeri meraih lengan Sungchan. Persis di sikunya, menghadiahinya dorongan kuat ke arah yang salah. Tulang-tulang Sungchan berderak. Belati terlepas dari genggamannya.
Aeri menasehati dengan nada tanpa emosi. "Peraturan pertama: jangan terburu-buru menyerang dan lupa bertahan."
Sungchan mundur dengan napas berat. Dia beruntung kalau lengannya tidak patah. "Apa lagi yang Taeyong ajarkan padamu agar menjadi pembunuh yang andal?"
Sementara mereka berdebat, Jeno memungut belatinya diam-diam.
Aeri pura-pura mengingat-ingat. "Oh, hanya supaya aku menyelesaikan pekerjaanku."
Dengan itu, dia hendak membuktikan ucapannya. Pedangnya berkelebat, lurus menuju leher Sungchan—yang memiliki waktu sedetik untuk menunduk kalau tidak mau terbelah jadi dua. Sungchan tidak segera bangkit. Pemuda itu menggapai busurnya lagi dan menembak dengan satu kaki terlipat. Tembakan itu terkesan asal. Yang diperlukan Aeri untuk lolos darinya adalah menoleh, tipis saja. Namun tatkala Aeri berpaling, Sungchan mengeluarkan belati kedua dari kaki yang lain dan menyerbu ke depan. Kali ini belati itu dari besi.
Kaki Aeri tidak bergerak satu inci pun. Aeri, sangat yakin pada apa yang akan terjadi, mengandalkan pedang yang dibawanya demi menghentikan Sungchan. Yang tidak diketahui Sungchan adalah, akan lebih baik bila dia menyerah. Belatinya bukanlah tandingan pedang. Seumpama sumpit yang menusuk songpyeon, Aeri membelah belati Sungchan—yang terlambat menarik tangannya—dan sekalian memotong satu jarinya. Sungchan mengerang kesakitan, dan jatuh berlutut seketika.
Suara Aeri dingin saat menempatkan pedang yang berdarah itu di bahu Sungchan. "Kau bertarung dengan baik, tapi sudah cukup."
Jeno menyusulnya perlahan.
Darah mengucur dari jari telunjuk Sungchan yang tersisa sebagian. Keringat membasahi dahinya. "Kau pikir kau sudah menang?"
"Aku tidak mengerti mengapa kau berpikir sebaliknya."
Sungchan tertawa. Serak. "Pikirmu begitu. Kau pikir kau bisa merusak desa kami dan hidup tenang. Kami tidak akan diam. Atau lupa. Kami belum kalah. Akan ada Sungchan dan Jimin yang baru. Dan kau, Nona, akan menghabiskan seumur hidupmu bersembunyi dari kami. Manusia."
"Kenistaan," ralat Aeri, menurut pemahamannya, dan mengeratkan pegangannya di sekitar pedang—
"Aeri." Panggil Jeno lembut. Selembut panggilan seorang sahabat masa kecil yang akan mengajakmu bermain. Seakan dalam gerak lembat, Aeri menoleh, dan mendapati gagang belati Jeno yang terarah padanya.
Satu pukulan. Hanya satu pukulan. Di leher. Kuat dan tepat sasaran. Asal kau tahu apa yang kau lakukan. Aeri pingsan sebelum sempat bertanya, dan Jeno menangkapnya sebelum tubuh gadis itu mengalami benturan. Disingkirkannya rambut dari matanya yang terpejam. "Kau tak perlu mengotori tanganmu lagi."
Sungchan mendongak menatap Jeno. Untuk kedua kalinya, tidak ada jeruji besi di antara mereka. "Kau menolongku, makhluk aneh? Kau?"
Jeno berdiri menjulang di hadapannya. Posisi yang berbeda, malam yang berbeda. "Tidak. Aku menghentikannya."
"Agar kau bisa membunuhku dengan tanganmu sendiri?"
Jeno meneliti Sungchan dengan tatapan menilai. Dia berhenti paling lama di wajah Sungchan yang dihiasi gurat-gurat kemarahan. "Aku bisa melakukannya." Dan Jeno tidak bercanda. Sungchan berada di kakinya—pemanah dengan hanya sembilan jari. Dengan atau tanpa senjata, membunuh Sungchan akan jadi tugas yang sepele.
Sungchan tersenyum samar. "Sangat berterus terang. Kau menjawab pertanyaan lebih baik dari kakakmu."
"Dan di mana kakakku sekarang, Sungchan?"
"Entahlah. Kuharap kau tidak terburu-buru reuni dengannya. Karena aku tidak mau menjawabmu. Kuharap," imbuh Sungchan, "Kau tidak mengira kau satu-satunya yang bisa menutup mulut."
Jeno mengedarkan pandangannya ke kejauhan. "Aku mengerti. Dia bersama Karina, dan kau ingin melindunginya."
Diamnya Sungchan otomatis membenarkan dugaan Jeno. Pemuda itu menggenggam erat tangannya yang terluka, meminimalkan pendarahan.
"Tapi kau akan mengatakannya padaku, Sungchan. Kau harus." Suara Jeno terlalu tenang untuk dikategorikan sebagai ancaman. Namun itu jenis ketenangan yang sama yang dikenal para nelayan sebelum badai dahsyat. "Karena aku mungkin bisa menghentikannya."
Jeno mendeklarasikannya seolah itu segampang menggulung lengan bajunya, padahal membedakan dusta dan kebenaran saja dia tidak bisa. Seolah dia punya kesempatan melawan kakaknya. Disebut apakah saat seseorang mengatakan sesuatu yang mendekati kemustahilan?
Mungkin itu bentuk lain kebohongan.
Kalo kagak ada yang ngingetin, gua pasti udah lupa kalo punya anak yang satu ini mwhehehehe 😬
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top