19. Cinta, Kubilang
Jarum itu terasa berat di tangannya—atau mungkin itu rasa bersalah.
Yoo Jimin tak bisa membedakan.
Malam sebelumnya, Jimin telah merendam jarum itu dalam cairan ekstrak daun jinshil yang dia beli dari tabib Yoon dengan beberapa keping koin dan sedikit kebohongan. Aku kesulitan tidur. Aku butuh bantuan. Tabib Yoon memberikannya tanpa menghitung uang Jimin, hingga Jimin bertanya-tanya apakah di mata pria tua itu dia akan selamanya menjadi gadis cilik sembilan tahun yang akan kehilangan ibunya. Mengingat situasinya sekarang, itu, toh, ada benarnya.
Yang unik dari daun jinshil adalah, selain cara meraciknya yang harus hati-hati, tanaman itu juga tawar—baik dari segi aroma atau rasa. Kau takkan mencium apa-apa bahkan saat jarum itu didekatkan ke hidungmu, atau mengecap sesuatu yang aneh saat meminumnya sampai kau jatuh dengan tubuh kaku karena lumpuh. Daun jinshil, dengan kata lain, adalah racun yang ideal. Setidaknya bagi manusia.
"Bukankah kau bilang dia punya indra yang lebih tajam dari kita?" Sungchan menyuarakan kekhawatiran Jimin yang disembunyikannya.
Jimin mengangguk, terbayang momen-momen ketika Jeno memiringkan kepala dan bisa tahu dengan pasti hewan apa yang membuat keributan di mana. Jeno selalu tahu—bila menyangkut hal-hal sepele. "Benar."
"Ini akan jadi taruhan yang besar."
"Benar."
"Dia bisa saja mendeteksinya, Jimin, kau dengar aku? Dan mengetahui betapa gesitnya mereka, dia akan merebut jarum itu dan menggunakannya padamu."
"Benar, tapi—"
"Jimin."
"—tapi dia takkan menyakitiku." Jimin menyelesaikan ucapannya seolah tak pernah disela. Dia sudah mengucapkan itu tiga kali, dengan keyakinan yang tak terkikis.
Di belakangnya, dalam rumah Jimin, Sungchan mulai mondar-mandir. "Aku tidak suka ini. Aku sangat tidak menyukainya. Kau adalah budak logika, tapi kini kau bergerak berdasarkan firasat. Itu dua hal yang berbeda."
"Tidak terlalu berbeda," kilah Jimin tenang. "Garis batas keduanya tipis, dan aku penasaran sejauh mana firasat akan membawaku."
Setelah itu Sungchan tidak mengatakan apa-apa lagi. Percuma. Jimin dan keyakinannya telah berubah menjadi benteng yang mustahil ditembus. Sepanjang hari itu Jimin jadi sangat pendiam. Dia menghabiskan waktu berjam-jam untuk memandang jarum, lupa bahwa meski makhluk yang mereka buru bukanlah manusia, mereka sendiri masih—dan manusia butuh istirahat serta makan agar dapat berfungsi dengan baik.
Menjelang malam keesokan harinya, Jimin hanya menjadi semakin parah. Hal itu pernah terjadi sebelumnya, tatkala Jimin tenggelam sangat dalam di pikirannya. Praktis mabuk logika. Mengeluarkannya dari benteng itu adalah tantangan yang tidak mudah. Jimin tidak mendengarkan arahan Sungchan. Dari wajahnya, gadis itu jelas bertekad menangani semua ini dengan caranya sendiri.
Lalu pada tengah malam, Jeno datang.
Jeno mengingat kejadian malam itu layaknya seseorang yang menggenggam pecahan-pecahan kaca. Namun bagi Jimin, kaca itu utuh dan merefleksikan perbuatannya dengan sempurna. Jimin ingat menyaksikan Jeno yang datang dengan senyum gugup, tak yakin pada apapun. Sebentar-sebentar Jeno melirik ke desa, memeriksa keadaan dan memeriksa tanda-tanda orang lain di sekitar mereka.
"Apakah aku terlambat?"
Satu-satunya keterlambatan Jeno adalah menyadari bahwa ini jebakan, bahwa selama ini Jimin menipunya habis-habisan.
"Aku tidak mungkin membohongimu."
Bahkan meski berusaha dengan sungguh-sungguh, Jimin yakin Jeno takkan bisa. Jimin bisa mengenali pembohong saat melihatnya, dan Jeno bukan. Jeno bukan dia. Takkan pernah.
"Karina?"
Jeno seharusnya lari selagi ada kesempatan.
"Karina, apa maksudmu?"
Bukan mempertanyakannya karena Jimin tidak punya jawaban. Di masa depan, Jeno akan berkata, saat kau mulai menggali, kau tak bisa berharap akan selalu memperoleh emas. Hal yang sama terjadi saat mencoba menyelami pikiran Jimin; Jeno takkan selalu menemukan alasan yang tepat selain karena Jimin pikir dia harus melakukannya.
"Mengapa?"
Oh, burung hantu malang yang terlalu mencintai! Masih mencari pembenaran ketika kekasihnya mematuk jantungnya tanpa belas kasihan.
Jimin memeluknya saat itu terjadi. Sebuah pelukan yang seperti menabur garam di atas luka. Seperti menekan kulit yang memar—tak peduli selembut apapun, itu tetaplah menyakitkan. Jimin mendengar dirinya mengoceh dan mengoceh, kata-kata yang tidak dia pahami berhamburan dari mulutnya. Kedengarannya tak masuk akal, kontradiksi, dan tak berarti. Sebuah pernyataan cinta dari seorang pembohong cakap.
Kata-kata itu, pada akhirnya, tidak berguna. Kata-kata itu bukan penawar. Jeno merosot jatuh di kaki Jimin. Tanah menyambutnya dengan rasa dingin yang barangkali tak pernah ia rasakan. Obat itu bekerja lebih cepat dari dugaan Jimin, dan dalam beberapa detik, mata Jeno terpejam. Di saat yang sama, sebatang anak panah meluncur dari hutan.
Jimin membiarkan anak panah itu melintas—tidak berjengit, tidak bergerak. Dia hanya menunduk. Angin yang berembus meniup dan mengeringkan air mata pertamanya dalam sembilan tahun.
.
.
.
Sebatang anak panah meluncur dari hutan.
Melesat dengan presisi mematikan hingga hanya Tuhan saja—atau keberuntungan—yang membuat tenggorokan Jimin selamat. Anak panah itu berbelok di detik terakhir, dan menancap di sebatang pohon di belakang Jimin sementara gadis itu melamun dengan pemilihan waktu yang buruk. Itu dianggap Sungchan sebagai pertanda; keluarkan Jimin dari lautan pikirannya sebelum ia tenggelam.
Maka ketika daun-daun pertama dari pohon yang tertusuk anak panah itu berguguran, Sungchan melangkah keluar dari balik tembok rumah yang Jeno amati sekilas.
Memegang anak panah dan busurnya sendiri.
"Menyingkir dari sana, Jimin." Peringatan Sungchan agaknya terlalu pelan. Jimin tidak mendengarnya.
Jarak lima meter tidak pernah terasa sejauh itu. Dalam perjalanan, Sungchan menyiapkan senjatanya. Berjalan cepat dan berusaha lebih cepat lagi memasangkan anak panah ke busur. Selalu dengan tangan kiri—tangannya yang paling stabil.
"Jimin!"
Anak panah kedua datang, sengaja diarahkan lebih rendah mengincar organ vital yang berisiko besar mengantarmu ke kehidupan selanjutnya jika terkena; jantung.
Sungchan mulai berlari.
Postur tubuhnya memberi Sungchan keuntungan yang tidak dimiliki oleh orang bertubuh pas-pasan. Satu langkah dari kaki panjang Sungchan bisa menyamai dua langkah orang biasa. Dan saat dia berlari, didukung kondisinya yang bugar, lima meter terlewati dalam sekejap. Sungchan meraih bahu Jimin dari belakang dan mencengkeramnya, otomatis membanting mereka ke tanah dalam posisi yang berpotensi menimbulkan memar-memar. Namun setidaknya menutup pintu gerbang menuju ke pemakaman.
Anak panah itu melesat di atas kepala mereka.
Sebuah gerakan di depan tertangkap mata Sungchan. Dan segera, dia bangkit tanpa memedulikan rasa sakitnya. Sungchan berdiri tegap, seberwibawa pangeran mana pun, dan melepas satu tembakan balasan dalam satu embusan napas.
Seorang gadis di ujung berlawanan mengangkat busurnya dan menampar anak panah Sungchan ke samping nyaris tanpa melihat. Rambutnya yang berwarna tidak biasa memecut wajahnya yang diselimuti kengerian. "Jeno!"
Sungchan memandang ke bawah. Si Jeno itu tidak bereaksi, telungkup tak sadarkan diri.
Hanya agar situasinya semakin meriah, Sungchan mengambil anak panah kedua. "Kusarankan kau kembali ke sarang busuk mana pun kau berasal."
"Tidak ...." gumam gadis asing itu. Tak salah lagi, si Nona Ramah yang pernah Jimin ceritakan. Tatapannya tertuju pada Jimin yang dalam tahap tertentu, juga bisa disebut tidak sadar. "Apa yang kau lakukan?"
"Apa yang tidak akan kau mengerti," jawab Sungchan menggantikannya. "Kau terlambat menjadi pahlawan, Nona. Pergilah."
Gadis itu menggeleng muak. "Manusia. Kalian semua adalah monster yang paling mengerikan."
Dengan sedikit gerakan saja, Sungchan memindahkan sasarannya pada si Jeno yang mereka perebutkan. Dia menarik ujung anak panahnya sedemikian rupa sampai tali busurnya meregang. "Sekarang."
Nona Ramah itu cukup pintar untuk tahu dirinya tidak punya pilihan. Mereka sama-sama pemanah. Mereka tahu aturannya; setiap panah yang dilepaskan tidak bisa ditarik lagi. Kalau gadis itu nekat menembak Sungchan, kontraksi otot Sungchan akan memastikan ada dua orang, bukannya satu, yang tewas.
Sanggupkah Nona Ramah itu menumpahkan darah temannya?
Butuh waktu hampir semenit bagi penjaga itu untuk memutuskan, dan ternyata keputusannya adalah tidak. Kakinya yang mundur menegaskan keputusan itu melalui tindakan. Nona Ramah tidak melemparkan ancaman. Tidak perlu. Ia mundur tanpa banyak basa-basi. Mereka sudah tahu dalam hati, entah diakui atau tidak, bahwa akan ada pertemuan selanjutnya. Tak butuh waktu lama, ia benar-benar pulang.
Sedangkan temannya tinggal.
Apakah sudah berakhir—untuk malam ini?
Perlahan Sungchan menengok ke belakang. "Jimin?"
Yang ditanya tak lekas menyahut. Tangan Jimin melayang ke pipinya seperti mengusap air mata, tapi itu pasti karena gatal. Mustahil Jimin menangis. Jimin tak pernah lagi melakukannya sejak ibunya meninggal. "Aku baik-baik saja. Maafkan aku."
Dari kejauhan, mula-mula seperti dua titik kecil, dua pria yang istri-istri mereka bekerja di rumah Sungchan muncul sambil menguap. Masing-masing bertubuh kekar, dan terbukti terampil menilik kerja bagus mereka dalam membangun jeruji di kandang. Berdasarkan pengalaman, asal diberi bayaran yang tepat, Sungchan juga tahu mereka tipe pendiam yang tidak banyak berkomentar. Itu kualitas langka yang dicari Sungchan dan kebetulan sedang dia butuhkan.
"Pindahkan dia ke kandang," perintahnya tanpa sapaan, mengisyaratkan Jeno. Mata mereka yang melotot dan pertanyaan mereka dia abaikan. "Aku dan Jimin akan pergi lebih dulu. Jika bertemu seseorang, katakan saja dia teman kalian dari luar desa yang terlalu banyak minum soju. Yang terpenting tutupi telinganya. Ingat," Sungchan menekankan, "Kalian tidak dibayar untuk bertanya."
Jimin menerima uluran tangan Sungchan dan bangkit. Seperti sembilan tahun lalu. Dengan sedikit perbedaan. Atau banyak?
Yang pasti sesuatu berubah malam itu. Sungchan merasakannya lewat kesungguhannya dalam membunuh. Tak ada keraguan. Benar si Jeno itu bukan manusia. Namun tetap saja membunuhnya akan jadi lompatan besar. Sungchan berusaha memanggil bocah kecil dalam dirinya yang dulu menangis tersedu-sedu, ingin tahu apakah sekarang bocah itu merasa puas. Akan tetapi tak ada siapa-siapa. Bocah itu tidak ada. Pemuda yang kini berjalan bersama Jimin dengan pipi kering dan senjata di tangan adalah orang yang sangat berbeda.
Dan terkadang Sungchan takut padanya.
Jimin merapatkan bahu ke bahunya di malam yang sepi itu, dikelilingi oleh orang-orang yang bermimpi di sekitar mereka. "Dia milikmu sepenuhnya."
Sungchan mengangguk.
Dua pria yang tenaganya Sungchan sewa meletakkan Jeno di dalam jeruji sesuai permintaan Sungchan. Kelegaan terlukis di wajah mereka ketika Sungchan mengumumkan tugas keduanya selesai. Mereka melirik waspada, bercampur penasaran, pada makhluk yang mereka anggap sekadar mitos, dan meninggalkan Sungchan di sana. Ini bagiannya—Sungchan seorang. Jadi dia duduk di sebuah kursi yang telah dipersiapkan dan menunggu dengan tenang.
Tabib Yoon bilang dosis yang berlebihan bisa menyebabkan seseorang pingsan paling tidak sehari atau lebih. Namun dalam beberapa jam saja, menjelang pagi, makhluk itu sudah menggeliat dan mengerjapkan mata. Mata hijaunya yang aneh—sesuai deskripsi samar-samar Jimin tapi melenceng jauh dari bayangannya. Entah mengapa Sungchan kecewa.
Jeno tidak seperti dugaannya. Makhluk itu lebih pendek dari Sungchan. Dibanding si Nona Ramah, rambutnya yang berwarna gelap memberi kesan normal. Lakukan sesuatu pada telinga runcing itu, panjangkan rambutnya, beri dia pakaian khas manusia, dan Sungchan yakin Jeno bisa berbaur di antara manusia dengan mudah. Sejujurnya, mereka terlihat seumuran. Dan wajahnya ... Bagaimana menjelaskannya? Jimin keliru tentang ini. Begitu pula Sungchan. Itu bukan wajah pembunuh yang tanpa berpikir dua kali akan membantai manusia yang masuk ke hutan. Wajahnya terlalu polos.
Makhluk itu meneliti rumah barunya dengan kaget. Di satu titik, kekagetan mendorongnya bertindak impulsif dengan menyentuh salah satu batang besi hingga tangannya terbakar, melepuh kemerahan.
Sungchan mengernyit. "Mengapa kalian sangat tidak menyukai besi? Apa ada alasan khusus atau itu seperti kami dengan api?"
Perhatian Jeno kontan tercurah pada Sungchan. "Siapa kau? Dan di mana Karina?"
Mau tak mau Sungchan mengasihaninya. "Karina atau Jimin bukan urusanmu lagi. Urusanmu adalah denganku, dan kuharap kita bisa membahas beberapa hal."
"Jimin?" ulang Jeno kebingungan, menyerap informasi baru itu dengan rasa tidak percaya.
Sungchan melangkah ke jeruji dan berjongkok di depan Jeno dalam jarak aman. "Kau kira kau mengenalnya, bukan? Kau salah. Kau bahkan tidak tahu namanya. Semua yang dia katakan padamu, semuanya, adalah kebohongan. Tapi di sini aku akan memulai dengan kejujuran: namaku Sungchan. Kau juga tidak mengenalku, tapi mungkin kau mengenal ayahku."
"Ayahmu?"
"Jung Sanghyeon. Satu dari dua pencari ginseng yang masuk ke hutanmu sembilan tahun lalu dan berakhir terbunuh di depan mata kami—aku dan Jimin. Yang lain adalah ayahnya."
Keheningan seketika menyapu ruangan.
Pintu mengeluarkan suara deritan kendati mereka tidak menoleh. Cahaya fajar menyusup di tengah-tengah mereka menciptakan garis pemisah. Satu duduk di keremangan tanpa jalan keluar, dan satunya lagi sebebas anak rusa yang kakinya terikat. Jeno tertegun menerima badai informasi Sungchan yang menyerangnya bertubi-tubi. Tanpa jeda untuk berpikir. Tanpa pilihan. Dalam waktu singkat, dunianya menyempit menjadi jeruji besi dan dia berubah dari Jeno yang jatuh cinta pada teman manusianya menjadi Jeno yang jatuh cinta pada manusia yang sama sekali asing.
Jeno butuh penjelasan.
Dan dia hanya menginginkan penjelasan dari satu orang.
Rahangnya mengeras oleh tekad sekokoh karang. "Aku dan Karina punya banyak hal untuk dibicarakan. Bukan denganmu. Aku hanya akan bicara dengan Karina saja."
Jimin yang menguping percakapan itu dari luar kandang memejamkan mata saat lapisan pertama kebohongannya terkelupas.
Sialnya, Jeno menepati kata-katanya.
.
.
.
Di waktu yang berbeda, mata Jimin mendadak terbuka.
Sesuatu membangunkannya. Namun dia tak bisa langsung mengetahui apa persisnya. Apakah itu gonggongan anjing? Jimin sudah lama merasa kesulitan mengurus dirinya sendiri tanpa ditambah hewan peliharaan. Dan dia tidak ingat ada tetangganya yang baru-baru ini memelihara anjing. Ada apa sebenarnya? Dia pasti tertidur tadi. Dia menatap ke seantero kamar orang tuanya mencari barang yang jatuh; tidak ada. Semua barang masih tertata rapi di tempatnya. Sungchan juga.
Akan tetapi Sungchan ikut tersentak bangun seakan ada yang mengguncang badannya dengan kasar. "Apa yang terjadi di luar?"
Jimin pun tersadar: suara yang dia kira gonggongan anjing adalah jeritan manusia—dan asalnya dari luar.
Jimin bergegas merangsek keluar kamar. Saking terburu-burunya, dia melupakan sepatunya. Kepalanya pusing, binyeo-nya miring. Tanah membungkus kakinya dengan segala macam kotoran yang mengubah ujung roknya menjadi hitam. Sehitam batu bara. Sehitam bulu burung gagak yang kerap dianggap sebagai pembawa malapetaka. Sehitam langit desa malam itu.
Napas Jimin tercekat.
Matahari belum lagi terbit, tapi desanya menyala oleh api yang terpicu di atap-atap rumah warga, menciptakan bunyi berdesis ketika kayu terbakar. Asap membumbung ke atas, ke mana-mana, membutakan mata pria, wanita, dan anak-anak yang berlarian tanpa arah. Kuda-kuda meringkik ketakutan di suatu tempat, sedangkan ketakutan manusia diekspresikan melalui pekikan nyaring yang membuat Jimin terjaga atau tangisan memilukan. Tanah seakan bergetar oleh puluhan kaki yang memancarkan teror dalam setiap entakan.
Dan di antara mereka, burung-burung yang belum pernah Jimin lihat berkeliaran.
Mereka burung-burung yang besar—sekurang-kurangnya dua kali lipat ukuran rajawali dewasa. Ekornya yang panjang menjadi ciri khas. Paruh dan cakar mereka yang tajam sempurna untuk menggulingkan obor dari pengaitnya atau menebar arang yang akan memperluas area kebakaran—dan itulah yang mereka lakukan. Di bawah cahaya bulan, rentangan sayap mereka menciptakan bayangan yang menutupi orang-orang yang jatuh dan terancam terinjak-injak.
Salah satu dari burung-burung itu menukik rendah menyambar rambut seorang pria, menyebabkan korban mengibaskan tangan dengan panik dan tersandung dengan wajah lebih dulu ke lumpur. Burung itu mencakar wajah pria tersebut seperti pelukis yang menggerakkan kuas mereka secara brutal. Memakai cat merah. Dan sebagai sentuhan akhir, mematuk bola matanya. Teriakan pria itu melengking tinggi mewakili permintaan tolongnya.
Jimin menelan ludah dengan wajah pucat. Mimpikah ini? Atau halusinasi mengerikan? Apa yang terjadi? Apa—
Suara siulan pendek nan merdu memutus aliran pertanyaan Jimin. Burung itu turut berhenti. Paruh berdarahnya memuntahkan bola mata dalam kondisi utuh yang menggelinding bak kelereng. Burung itu melebarkan sayapnya, terbang mulus menuju bahu seorang pria yang memanggilnya.
Seseorang yang Jimin kenal.
Berdiri santai tanpa tersentuh kekacauan, dikitari oleh burung-burung yang meresponsnya dengan kepatuhan mutlak, satu dari dua pemuda yang Jimin tahu punya mata hijau tersenyum padanya. "Malam yang indah, Nona."
Tiba-tiba Jimin teringat ucapan Jeno, Kakakku disebut penjinak—orang yang bisa memahami, berinteraksi, dan berkomunikasi dengan baik dengan hewan.
Kakak Jeno, Taeyong, memiringkan kepala dengan gerakan yang amat menyerupai adiknya. "Maksudku tadinya."
Yippie, dengan ini flashback selesai ya, manteman ᕙ(@°▽°@)ᕗ Sorry kalau penyusunannya yang selang-seling membingungkan, tapi sederhananya begini :
Bagian Jeno = bersifat lampau
Bagian Karina = bersifat maju ke depan kayak yamaha.gg
Next, kita bakal menuju ke penyelesaian konflik hehe ƪ(˘⌣˘)ʃ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top