18. Cinta, Kau Bilang
Desa kecil manusia itu tampak seperti dunia yang berbeda dilihat dari hutan.
Arsitekturnya lebih sederhana. Kesan asingnya terasa, memancar bersama daya tarik misterius yang sulit dijelaskan. Di siang hari, tempat itu ramai. Namun belum juga tengah malam, sudah tidak banyak yang berkeliaran. Malah, koreksi Jeno, hampir tidak ada. Tatkala Jeno memanjat ke salah satu dahan pohon tertinggi di tepi hutan, yang dilihatnya hanyalah atap rumah-rumah warga dan jalanan yang lengang. Jeno duduk dengan kaki terjulur mengikuti pertumbuhan cabang, merenung, menebak, di rumah mana kira-kira Karina terlelap.
Di mana pasar—dan kenapa itu tidak buka sampai malam? Di sebelah mana pula tempat kerja Karina? Lalu seperti apa rasanya berada di sebuah tempat bernama "restoran" bersama banyak orang dan mengobrolkan berbagai topik? Manusia memiliki banyak hal yang tidak dimiliki bangsanya. Kehidupan sosial adalah salah satunya. Di tempat asal Jeno, mereka lebih .... Individualis. Terbukti dari hubungannya dengan kakaknya yang terkadang seperti keluarga atau dua orang yang tidak saling mengenal.
Berani taruhan, kakaknya yang sempurna itu tidak pernah menginjakkan kaki di sisi hutan yang ini. Lagipula untuk apa?
"Kau melangkah terlalu jauh, Jeno."
Sisi hutan yang ini tidak punya urusan dengan mereka. Jeno tidak butuh Aeri untuk mengingatkannya. Atau menghentikannya.
Aeri mendongak menatap selendang yang Jeno ikatkan di cabang yang sama tempat dia duduk. Warna birunya menonjol dalam gelapnya malam. Benda tua itu, sebiru langit atau melambangkan hati yang patah. "Gadis manusia itu mengacaukan pikiranmu."
Sebelum menanggapi, Jeno melompat tiga meter ke bawah dan mendarat dengan selamat di samping sahabatnya. "Tapi aku merasa lebih baik sejak mengenalnya."
"Tidak. Kau tidak. Kau terus-menerus melanggar peraturan. Kau terlalu memercayainya. Kau seperti orang yang akan gila saat dia berhenti datang. Bagaimana itu bisa lebih baik?"
"Aeri." Jeno menengok ke objek yang sama, tetapi ketika di wajah Aeri terukir rasa frustrasi, yang ada pada Jeno hanya seulas senyuman. Selendang itu melambai. Indah sekali. "Kau tidak akan mengerti." Kemudian dia berbalik. Tugasnya selesai. Jeno kemari karena ingin menyampaikan pesan.
Bagi Aeri, rupanya percakapan mereka baru di mulai. Aeri bergerak mendahului Jeno dan muncul di depannya, meninju bahu Jeno—keras—hingga Jeno mundur beberapa langkah. "Kalau begitu jelaskan padaku. Karena ya, Jeno, aku tidak mengerti! Sebagai contoh, aku tidak mengerti apa yang salah denganmu. Mengapa gadis itu sangat memengaruhimu padahal yang kalian lakukan tak lebih dari mengoceh berdua sambil menyaksikan matahari terbenam? Dan kenapa kau tidak pernah memikirkan konsekuensi dari rahasiamu ini? Semua itu—aku sungguh tidak mengerti!"
Jeno tidak melawan. Dia berdiri saja dan mendengarkan. Pukulan Aeri, kemarahannya—Jeno cukup tahu diri dia pantas mendapatkannya. "Memang aneh kan? Tak ada penjelasan, Aeri. Mungkin sejak dulu aku selalu sebodoh ini."
"Dulu kau punya akal sehat!" Aeri meralat.
Jeno mengangkat kedua tangannya. "Maka mereka telah pergi ke suatu tempat. Aku sendiri tidak mengerti apa yang terjadi selain satu hal ini."
"Satu hal apa?"
Kelopak mata Jeno turun lebih menutup. "Bahwa aku tidak bisa kehilangan dia lagi."
Kedua makhluk bertelinga runcing itu berdiri terlalu dekat dalam percakapan yang memanas. Dibingkai oleh bayang-bayang di hutan yang diyakini manusia sebagai sarang monster khususnya setelah cahaya memudar.
Jeno mencubit batang hidungnya dalam sikap yang hanya bisa diartikan sebagai keputusasaan mutlak. "Aku tidak bisa, Aeri. Aku tidak bisa. Tiga hari saat dia menghilang adalah tiga hari terburuk dalam hidupku. Aku tidak bisa membiarkannya terulang lagi dengan kesadaran bahwa kini akulah penyebabnya."
"Tapi Jeno"—nada suara Aeri terdengar seolah dia sedang menegur anak kecil—"Jeno, dia hanya manusia."
Anak kecil itu tidak mau—tidak bisa—mematuhinya. "Aku tahu. Dan aku minta maaf sudah melibatkanmu dalam masalahku. Aku hanya tidak peduli. Ya, dia manusia, lantas kenapa? Ya, telinganya berbeda, tapi apakah itu benar-benar penting?"
Telunjuk kanan Aeri naik dan menusuk dada Jeno dua kali. "Itu seharusnya penting jika kau memakai akal sehatmu yang tersesat entah ke mana."
Jeno menampiknya dengan gelengan. "Yang terpenting adalah bagaimana dia melihatku. Di mata Karina, aku bukanlah adik yang gagal dari seorang kakak yang sempurna. Aku bisa tampil sebagai aku yang tidak sempurna dan dia tetap menerimaku. Setiap menit, setiap detik, aku tidak akan menukar momen bersamanya dengan apapun. Kau tidak tahu betapa melegakannya bisa menjadi diri sendiri."
Kepala Aeri dimiringkan sedikit. "Kenapa kau tidak memberitahu kakakmu tentang itu? Katakan padanya kau menyimpan perasaan mengerikan ini pada manusia dan ceritakan reaksinya padaku."
Jeno membuang muka. "Dia membenciku."
"Beri dia lebih banyak alasan untuk membencimu, Jeno. Cobalah."
"Aku bisa menanggungnya," seru Jeno cepat. Terlalu cepat. "Itu bukan hal baru, kan?"
"Bisakah kau mengatakannya saat dia menodongkan belati ke tenggorokanmu? Kau pastinya tidak lupa dia bukan tipe pemaaf."
"Mungkin," kata Jeno kedua kalinya, acuh tak acuh, seraya menoleh untuk satu pandangan terakhir ke selendangnya. "Tapi Sang Ratu atau bahkan kakakku tidak boleh memindahkan selendang itu sebelum aku dan Karina bertemu."
.
.
.
Pesan tanpa tulisan Jeno langsung menarik perhatian keesokan harinya.
Tadinya Jeno mengira akan butuh waktu sepekan, atau paling tidak beberapa hari sebelum seseorang membacanya, mengingat jarang ada manusia yang melintas di dekat hutan. Namun Jeno tidak tahu apa-apa tentang anak manusia—atau bagaimana anak-anak itu berubah tuli mendadak bila menyangkut nasihat orang tua mereka.
Sore itu, seorang bocah laki-laki yang mestinya sudah mandi dan pulang menguji kesabaran ibunya dengan masih bermain layang-layang. Angin menerbangkan layangannya ke luar desa, tempat dia memergoki selendang biru yang melambai bebas di ketinggian. Selama semenit, bocah itu berdiri melongo, takjub sekaligus ketakutan, sampai dia memperoleh ide cemerlang; aku akan bilang pada ibu bahwa aku terlambat karena melihat selendang aneh di hutan. Sangat cemerlang.
Dalam setengah jam, selusin manusia berbaris tak teratur di tempat bocah itu tadinya berada, menonton fenomena "Selendang Biru Misterius" dengan mulut terbuka.
Itu mengingatkan Jeno pada suatu ketika Karina berkata padanya, di desaku, gosip tersebar seperti riak air saat kau melempar batu ke sungai. Jeno diam-diam mengobservasi gelombang pertama penonton yang antusias itu dari sudut gelap, dan seketika tahu pesannya tersampaikan. Dia pergi setelah beberapa saat—yakin seseorang akan mengantarkan pesan itu ke telinga Karina.
Di tepi sungai Edra, Jeno menunggu dan menunggu. Dia bersandar pada sebatang pohon, menghitung berlalunya waktu dengan ketukan kaki yang konstan. Satu, tujuh, delapan belas, tiga puluh sembilan—Jeno kehilangan hitungan. Baru di angka ribuan, dia mendengar suara langkah kaki yang menuju ke arahnya.
Karina hadir bagai mimpi yang terlalu indah. Ironisnya mengenakan pakaian yang sama seperti saat mereka pertama kali berjumpa. Menyadarkan Jeno tentang betapa drastis keadaan telah berubah. Jeno menghampirinya dan berhenti sekitar tiga langkah. Karina mematung, sedangkan Jeno punya terlalu banyak hal untuk dikatakan yang berhasil dia rangkum dalam tiga kata saja, "Gadis Musim Dinginku ...."
Karina mengulurkan tangan dan mendorong dada Jeno. "Apa yang kau lakukan, Jeno? Dengan selendang, maksudku."
"Karina."
Tak ada senyum, Karina berjalan ke sungai. "Maukah kau melepasnya? Secepatnya, Jeno. Pertunjukanmu membuat penduduk desa tidak nyaman."
"Maafkan aku. Itu cara paling ampuh yang terpikirkan olehku. Kuharap suatu hari nanti akan ada alat yang bisa membantu dua orang untuk berkomunikasi meski berada di tempat yang jauh." Jeno tertawa lemah. "Telepati bukan sesuatu yang bisa dipelajari."
Normalnya, Karina akan bertanya lebih rinci apa itu telepati. Normalnya, rasa keingintahuan Karina tidak terbendung. Akan tetapi, malam itu Karina menjaga jarak tidak hanya secara fisik. Karina sebatas menunduk meneliti pantulannya di sungai, lantas menghela napas. "Esnya sudah mencair."
Jeno mengekori di sampingnya. "Ya, sudah. Aku berharap musim adalah satu-satunya yang berubah." Sehelai daun seukuran ibu jari jatuh dan mengambang di air. "Bukan kita."
"Tapi kita hidup di dunia yang selalu berubah. Kau memimpikan kemustahilan."
"Apakah itu hal yang buruk?"
"Yang mana?"
"Menjadi pemimpi dan memimpikan kau dan aku tetap sama."
Ada jeda panjang. Keheningan menegangkan yang membuat Jeno bertanya-tanya beginikah rasanya menjadi manusia di musim dingin dan tak menemukan cukup kehangatan. Jeno ibarat udara yang tak kasat mata; Karina tak mau repot-repot menatapnya. "Apa yang kau inginkan, Jeno?" Suaranya datar. "Apa yang ingin kau bicarakan?"
Kini setelah Karina berada di sini, pikiran Jeno malah buntu. Kata-kata berceceran di benaknya dalam wujud berbagai pertanyaan. Bagaimana kabarmu? adalah salah satunya. Bagaimana pekerjaanmu? Kau terlihat lesu, apa kau tidur dengan nyenyak semalam? Namun tentu saja, satu pertanyaan yang paling penting telah mengambil tempat di ujung lidahnya. "Apa kau benar-benar membutuhkanku untuk datang ke desamu?"
"Jeno"—helaan napas kedua meluncur—"Kita selesai membahas ini sebelumnya."
"Kali ini pertanyaanku berbeda."
"Apa kali ini jawabanmu akan berbeda pula?"
Jeno menahan senyum. "Kau lupa peraturan permainan kita?" Lalu puk! Satu sentilan mendarat di dahi Karina. "Giliranku belum selesai."
Tindakan yang biasanya ditanggapi dengan tawa atau ekspresi cemberut main-main itu direspons Karina dengan dingin, yang menyingkirkan tangan Jeno dan mundur selangkah. "Jangan. Aku sedang tidak ingin bercanda."
Sebilah belati bak menancap di dada Jeno, terbenam semakin dalam dan lebih dalam. Karina selalu suka bercanda—setidaknya dulu—dan Jeno tidak siap itu berubah. "Maaf. Aku hanya—"
"Pokoknya jangan." Dengan tangannya Karina menciptakan tembok pemisah yang tebal. "Jawab saja pertanyaanku. Sekarang."
Sekarang ini Jeno kesulitan untuk sekadar bernapas, terlebih memahami mengapa dia merasa sakit padahal tidak terluka sedikitpun. Jika ini cinta, kenapa tidak ada yang memperingatkannya akan seberapa besar rasa sakitnya? Bahwa cinta tidak selalu tentang rasa menggelitik seolah ada kupu-kupu di perutmu atau derasnya aliran kebahagiaan yang mengalir di nadimu. Cinta lebih dari itu—ada bayangan gelap untuk setiap cahaya terang. "Aku ...." Dadanya sesak. Jeno memukul-mukulnya. "Aku akan datang, kalau kau masih menginginkanku."
Akhirnya Karina menoleh. Untuk pertama kalinya malam itu, mereka saling berhadapan.
Jeno mengangguk—pelan tapi mantap. "Kau mendengarku. Aku akan datang. Untukmu, dan hanya untukmu, tak ada peraturan yang tidak akan kulanggar."
Mata Karina mencari-cari matanya, mencari kesungguhan. Lama Karina bergeming, meski Karina sejatinya tidak perlu mencari; kesungguhan itu ada di mata Jeno, terpampang jelas, dan Karina bisa menilainya sendiri sesukanya. "Kenapa ...."
"Aku tidak bisa kehilanganmu lagi. Hanya itu."
"Kau tidak akan menyesalinya?"
"Dibanding berpisah denganmu? Tidak akan."
"Tapi bagaimana kalau kau menyesalinya?"
Hal itu sempat terpikirkan oleh Jeno. Dongeng-dongeng mengerikan tentang manusia berseliweran di kepalanya, dan Jeno masih bisa mengingat anak kecil ketakutan yang adalah dirinya. Namun tidak semua dongeng itu akurat, tidak semua manusia itu perusak, jahat, dan serakah—Karina merupakan buktinya. Jadi bagaimana mungkin dia menyesal? "Aku percaya padamu, Karina. Aku percaya kau adalah sesuatu yang tidak akan kusesali."
Karina mendengus. "Entah kau orang yang mudah percaya atau memang bodoh."
"Bukan keduanya."
"Lalu?"
"Hanya orang yang jatuh cinta."
"Tepat sekali." Persetujuan itu dilontarkan bersama pelukan. Lengan Karina menguncinya dalam penjara termanis yang Jeno kenal. "Seperti kataku: bodoh. Semua orang yang jatuh cinta itu bodoh."
Dengan senang hati Jeno menjadi tahanan. Dia luruh dalam dekapan Karina, tak pernah percaya dua orang bisa menjadi satu sampai dia sendiri merasakannya. "Kalau begitu aku adalah orang bodoh yang paling bahagia."
Tawa Karina, hal yang tak kalah Jeno rindukan selain kehadirannya, mengalun merdu seakan bisa mencerahkan hutan. "Datanglah menjelang tengah malam, Jeno. Aku akan menunggumu." Dibelainya pipi Jeno seperti membelai benda benda yang amat rapuh. "Sampai jumpa besok."
.
.
.
Malam keesokan harinya adalah malam yang cerah. Tak ada kabut atau polusi. Tak ada hujan. Seseorang bisa menengadah ke langit dan menghitung bintang-bintang. Hari-hari ketika manusia masih bepergian mengandalkan tenaga kuda dan tandu memungkinkan itu terjadi. Udaranya lebih segar, lebih aman. Dan, satu orang menyadari, lebih dingin. Ataukah itu perasaannya saja? Suhu tubuhnya akan selalu menyesuaikan. Namun bagaimanapun, dia hanya tidak bisa kedinginan—dan itu berbeda dengan tidak bisa merasakan dingin sama sekali. Mungkin juga itu kegugupan, siapa tahu?
Karina berkata, menjelang tengah malam. Dan Jeno memperhitungkan waktu dengan berpatokan pada posisi bulan. Sebentar lagi. Dia tidak tahu apakah dia siap. Di sisi lain, dia sudah menyerah menebak apa yang Karina inginkan tetapi tak bisa dia berikan di hutan. Jeno pernah dengar pikiran wanita itu rumit. Seribu filsuf bisa mencoba menafsirkannya selama seribu tahun dan masih berpeluang menabrak tembok kegagalan. Tapi di malam yang tenang itu, dengan Aeri, misteri tersingkap sesaat dan Jeno mampu mengartikan pikiran sahabatnya seperti buku yang terbuka.
"Kau tahu apa masalah besar yang bisa dengan mudah menimpa kita, hewan atau manusia, Jeno?"
Jeno yakin dia tahu jawabannya; dia hanya tidak berani menjawab.
"Kita cenderung jatuh cinta pada orang yang salah. Pada hewan, itu hukum alam. Pada kita, itu adalah kutukan. Kita adalah burung hantu, merpati, atau serigala—yang mana sangat menyedihkan."
"Dia pernah mengatakan hal serupa," kenang Jeno. Itu terdengar seperti kutukan mengerikan. Barangkali Karina benar.
"Sial bagi kita. Ketika mencintai seseorang dan ditinggalkan, kita akan hancur karena beratnya rasa kehilangan. Kau, sanggupkah kau menanggungnya?"
"Tidak, itu sebabnya aku melakukan ini."
"Tapi bagaimana jika bukan dia, kau justru kehilangan dirimu sendiri?"
Waktu habis. Jeno menegakkan tubuhnya. Namun pertama-tama, dia tahu ada seorang teman yang perlu ditenangkan. "Aeri." Jeno mempersembahkan senyum terbaiknya. "Aku akan baik-baik saja. Aku percaya padanya."
Penjaga yang tanpa perlu diperdebatkan lagi lebih baik dari Jeno itu melengos dan melempar sesuatu padanya. "Mungkin itu kesalahan."
Refleks, Jeno menangkapnya. Sebuah belati. Miliknya, yang dia simpan jauh dari sungai. "Mungkin bukan. Dan aku tidak membutuhkan ini."
"Bawalah." Aeri memaksa, setengah mengancam. "Karena aku tidak bisa ikut denganmu. Aku minta maaf—aku benar-benar—"
"Tidak apa-apa." Meminta Aeri ikut akan jadi sesuatu yang berlebihan. Jeno paham. "Seseorang dari kita harus mempertahankan akal sehatnya dan tinggal."
"Kau juga bisa tinggal. Lupakan gadis itu."
Masih sambil tersenyum, Jeno menaruh belati yang terbungkus kulit itu ke pinggangnya. "Tidak bisa. Apalah arti bulan tanpa matahari, Aeri?"
Sekali lagi, seperti kemarin, Jeno menyusuri jalan yang akan menuntunnya ke desa manusia, tempat yang tak pernah dikunjungi oleh bangsanya lebih lama dari dapat Jeno duga. Mereka dan manusia harus terpisah—itu aturan yang sudah ada sejak permulaan. Demi kebaikan kedua belah pihak. Demi keselarasan. Demi keseimbangan. Dan Jeno hendak melanggarnya karena satu alasan; demi cinta.
Di perbatasan, Jeno berhenti sekejap. Satu kesempatan terakhir untuk mundur. Karina di depan, rumah di belakang. Dua jalan dengan hanya satu pilihan yang bisa diambilnya. Tepat di samping Jeno, terdapat pohon yang menyebabkan kehebohan. Selendang biru itu setia di tempatnya, kini bukan lagi sebagai pesan, melainkan bukti betapa dia pernah sangat merindukan Karina. Lalu dia teringat ucapan Aeri: kau sanggup? Tidak. Tidak akan pernah, dan itu menggiringnya untuk maju.
Jeno akan menurunkan selendang itu dalam perjalanan pulang.
Jarak hutan dan desa tidak jauh. Di tengah-tengah keduanya, adalah area kosong yang bisa dicapai dengan beberapa menit berjalan kaki. Area tak berpenghuni yang luas dan tanpa perlindungan yang membuat Jeno merasa terekspos. Tanpa formasi rapat pepohonan di hutan, dia gampang terlihat siapa saja. Dia tidak menyukainya. Namun dia terus berjalan, walaupun awalnya dia tidak melihat Karina. Barulah setelah berjalan cukup jauh, Jeno sadar seseorang dalam balutan kain berwarna ungu yang duduk tanpa alas di tanah adalah Karina.
Karina menepati janjinya. Karina menunggunya, dan gadis itu tampaknya sendirian. Jeno melambai, tapi Karina sedang melamun. Sesuatu di pikirannya menjauhkan Karina dari realitas.
"Karina?" Aneh rasanya menemui Karina di tempat selain hutan. Dan fakta itu menampar Jeno dengan telak. Butuh keberanian yang tidak sedikit untuk menjadi Karina.
Dari tempatnya duduk, Karina menatapnya. Sejenak tidak ada pengenalan. Pandangan Karina tidak fokus. "Jeno?"
Tatkala Jeno mengulurkan tangan membantunya bangkit, dia mendeteksi sesuatu yang aneh. "Ini aku. Kau sudah lama menunggu? Apa aku terlambat?"
Karina menerima bantuan Jeno dengan hanya satu tangan. "Kukira—kukira kau tidak akan datang."
"Tapi di sinilah aku." Digenggamnya tangan Karina dengan lembut. Tangan yang tidak hanya dingin namun juga gemetar itu. "Aku tidak mungkin membohongimu."
Mengapa Karina gemetar?
Senyum Karina semakin menambah tanda tanya Jeno. Itu bahkan tidak layak disebut senyuman, saat bibirnya saja yang mewakilinya. "Benar. Kau memang seperti ini kan? Begitu murni dan polos. Dan bodoh."
Jeno balas tersenyum, sambil sekilas mengintip lebih dekat penampakan desa manusia. Tak ada orang. Suasananya sunyi senyap. Rumah pertama berada tidak jauh dari tempat mereka, diselubungi kegelapan. "Apakah itu pujian atau hinaan?"
"Bukan keduanya," tiru Karina. "Hanya kenyataan." Lalu tiba-tiba Karina melemparkan diri ke pelukan Jeno. Lengannya melingkari pundak Jeno dalam satu belitan yang erat. "Jangan datang," bisiknya lirih.
Jeno langsung terpaku. Ada yang tak beres di sini. "Karina?"
Mulai dari saat itu hingga pagi, segalanya terasa buram bagi Jeno. Seumpama terjebak di ruangan sempit dan satu-satunya aksesnya ke dunia luar adalah melalui jendela yang kotor. Jeno ingat halusnya rambut Karina malam itu, dingin kulitnya, detak jantung Karina yang berdegup kencang menembus kain tipis hanbok-nya yang berlengan panjang. Namun kata-kata Karina sendiri terdengar samar dan terdistorsi di ingatannya. Benarkah Karina mengatakan, "Kau seharusnya tidak datang" atau Jeno berkhayal? "Jangan buat aku melakukannya."
Melakukan apa?
"Karina, apa maksudmu? Aku tidak—"
"Jeno," potong Karina, lebih menyerupai tangisan, "Jeno, aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Jangan maafkan aku."
Sejurus kemudian tangan kanan Karina yang sejak tadi tersembunyi di lengan hanbok-nya bergeser dan sesuatu yang tajam menusuk bagian atas punggung Jeno.
Mata Jeno membelalak. Tarikan napas yang sarat keterkejutan tanpa sengaja keluar dari bibirnya—terlebih setelah dia menghirup aroma sesuatu yang kerap dioleskan para pemburu di ujung anak panah mereka guna membius hewan buruannya: daun jinshil.
Daun yang, bila diracik dengan cermat, bisa memengaruhi bangsanya juga.
Aku percaya padanya.
Mungkin itu kesalahan.
Secara naluriah, Jeno menggapai ke balik punggungnya dan meraba luka kecil dibandingkan luka di dadanya yang menganga lebar. Dengan sigap Karina mencabut apapun yang menusuk Jeno, sementara tangannya yang lain beraksi menyelinap ke pinggang Jeno. Dalam waktu singkat, gadis itu berdiri di sana, bersama belati Jeno dan sebuah jarum berukuran besar. Dari jarum itu, aroma daun jinshil menguar pekat.
"Mengapa?" tuntut Jeno bingung, meski ada cukup waktu baginya untuk angkat kaki dan pulang dan mengakhiri bencana ini. Dia ingin tahu. Dia hanya ingin tahu.
Gadis yang dipercayainya sepenuh hati itu membisu. Karina mengamati Jeno dengan rasa penasaran dan itu saja. Kalau ada sedikit kepedulian atau rasa penyesalan, Jeno sulit melihatnya akibat pandangan matanya yang kabur.
"Karina ...." panggil Jeno, ketika dunia berubah miring dan kestabilan menjadi hal yang berada di luar jangkauannya. Jeno menggeleng—berupaya lemah membantah kejadian tadi dan menjernihkan pandangannya—tetapi lututnya menekuk dan Jeno jatuh berlutut.
Setetes air mata menetes membasahi pipi Karina. Mungkin itu khayalan juga, sebab air mata itu diikuti oleh satu kata yang mustahil. "Maaf ...."
Mustahil kau berbuat begini pada orang yang kau cintai. Mustahil kau melukai bukannya melindungi orang yang kau cintai. Dan mustahil gadis yang melakukan ini adalah Karina—Jeno menolak percaya.
Satu kata lain yang diteriakkan dengan keras mewakili penyangkalan Jeno, dan mendadak sebatang anak panah meluncur nyaris mengenai kepala gadis yang mirip Karina itu. "Tidak!" Aeri.
Mereka tidak memedulikannya karena alasan yang berbeda; Karina diam menyaksikan Jeno gugur ke tanah, dan Jeno masih mencerna kebohongan Karina yang ketujuh.
Kebohongannya yang terindah.
Aeri pas udah capek nasihatin Jeno :
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top