16. Kegelapanmu

Musim semi tahun itu tiba lebih cepat dari yang seharusnya.

Ini seperti Jeno membuka mata pada suatu pagi dan mendapati langit menjadi lebih cerah, warna putih memudar, dan seiring matahari yang memuncak, bumi seakan menarik napas yang membuat salju di tanah meleleh. Ketika Jeno menjejakkan sebelah kakinya di atas permukaan sungai Edra yang tertutup es, es itu retak membentuk pola yang menyebar mirip jaring laba-laba.

Jeno duduk tenang mengamati perubahan alam di tempatnya yang biasa. Perubahan yang, tidak berefek padanya, kendati dia merasa lebih baik di musim semi. Seseorang kiranya tak bisa memandangi bunga-bunga dan tetap merasa buruk. Saat ini memang tidak banyak bunga yang telah terbangun dari tidur panjangnya, tetapi nanti, Jeno berjanji, dia akan mengumpulkan bunga-bunga liar dan memberikannya pada Karina. Hadiah pertamanya.

Sesekali dia menoleh ke belakang, mengecek: Karina belum datang.

Baiklah, jadi rencananya dia akan menghadiahkan Karina bunga. Jeno belum pernah bertemu satu wanita pun yang tidak menyukai bunga. Dia curiga ada hubungan istimewa yang susah dijelaskan antara wanita dan bunga. Padahal, tentu saja, bunga tak bisa di makan dan layu dalam sekejap. Romantis, mereka bilang. Benarkah demikian? Menyangkut berkencan, Jeno tidak berpengalaman. Kesimpulannya, di mana Karina sekarang?

Mudah melewatkan waktu saat kau tenggelam dalam pikiranmu sendiri. Sebagai penjaga, Jeno mampu tinggal dalam satu posisi dan mempertahankannya untuk waktu yang lama. Begitu dia sadar, matahari sudah hampir tenggelam. Sinarnya menyapu tanah yang tak terusik jejak kaki seorang manusia yang tak pernah muncul tanpa keributan. Tak ada tanda-tanda Karina. Kini, Jeno memutar badannya ke belakang.

Apakah kemarin Karina mengucapkan 'sampai jumpa besok'? Jeno yakin itu yang terjadi. Karina datang nyaris setiap hari. Ada kalanya gadis itu terlambat. Namun dia tak pernah absen dari pertemuan mereka tanpa alasan, yang kebanyakan adalah pekerjaannya yang terlalu banyak. Mengapa hari ini harus berbeda? Jeno memasang telinganya baik-baik, memilah-milah antara suara hutan dan angin yang berembus pelan. Nihil. Pendengaran bangsanya jarang salah. Jika Jeno tidak mendengar apa-apa, berarti memang tidak ada apa-apa.

Itu hari pertama Karina tidak datang tanpa penjelasan.

.
.
.

Apa yang bisa mencegah seseorang tidak menepati perkataannya?

Imajinasi Jeno bisa memasok banyak hal. Daftarnya akan sangat panjang, dengan pekerjaan menempati posisi teratas. Karina pernah bercerita bahwa normalnya restorannya tutup saat sore, tapi bisa buka sampai malam tergantung apakah masih ada pelanggan atau tidak. Lalu orang tua. Mungkinkah orang tuanya jengkel sebab Karina kerap menyelinap ke hutan? Kemudian sakit—ini yang paling membuat Jeno cemas.

Secara postur, Karina termasuk gadis yang jangkung. Tungkai-tungkai kakinya panjang dan indah. Kecanggungannya disamarkan oleh posturnya yang menarik dan wajahnya yang cantik. Namun meski tak menyinggungnya terang-terangan, Jeno bukannya tidak memperhatikan bahwa Karina terlalu kurus. Dia sering menggigil. Dia sering bersin, dan dia selalu mengenakan berlapis-lapis pakaian bahkan di musim gugur. Apakah itu berlaku pada semua manusia atau hanya Karina—kerapuhan itu? Apakah Karina sakit? Imajinasi itu mengganggu Jeno, membayangkan Karina sakit dan tak ada cara baginya untuk mengetahuinya.

Jeno berdiri di tepi sungai Edra dan menatap ke arah desa—sosok kecil di tengah hutan yang luas, gelisah.

Itu hari kedua.

.
.
.

Pada hari ketiga, sikap murung Jeno mulai membuat Aeri kesal.

Aeri bilang, suasana hati Jeno yang muram menjadikannya teman yang menyebalkan. Jeno merespons asal saat diajak bicara. Gerak-geriknya jauh dari kata bersemangat. Untuk makan saja dia malas. Dengan lebih banyak diam dan menyendiri, Jeno sepertinya bertekad jadi orang paling menyedihkan di hutan. Kepala Aeri berdenyut-denyut hanya dengan menyaksikannya—cukup pusing hingga gadis itu memutuskan ikut campur dalam urusan dua orang yang paling ingin dihindarinya.

"Apakah kau mengatakan sesuatu yang menyinggungnya?"

"Tidak," jawab Jeno lesu.

"Pikirkan lagi."

Jeno tak perlu memikirkannya—kejadian itu terasa seperti kemarin. Jeno ingat banyak hal, dan pertemuan dengan Karina adalah salah satu yang paling diingatnya. "Terakhir kali bertemu, aku hanya bilang menakjubkan bagaimana kami sudah saling mengenal selama hampir semusim. Sejujurnya aku tidak menyangka ikatan seperti yang kami miliki bisa terbentuk, melawan kemustahilan."

"Apa balasan manusia itu?" Bagi Aeri, Karina akan selalu menjadi 'dia' atau 'manusia itu'. Tidak ada nama. Menurut Aeri, penyebutan nama akan menciptakan kesan seolah Karina "nyata" dan bukannya kekeliruan yang ingin Aeri lupakan.

"Tidak banyak. Karina tampak terkejut. Katanya, 'ternyata sudah selama itu, ya?', lalu pamit pergi. Apa aku salah menyebut-nyebut hal itu?"

"Berhenti menganggap dirimu sumber masalah, Jeno."

"Jadi kenapa?"

"Mana kutahu? Tapi itu aneh kan? Pernyataanmu wajar-wajar saja, tapi reaksinya ... Kenapa dia terdengar tidak senang? Aneh."

Jeno tersenyum geli. "Kau menganggap segala yang berkaitan dengan Karina aneh, Aeri."

Decakan Aeri mengawali protesnya. "Memangnya aku tidak boleh berpendapat? Sudahlah, mungkin dia punya urusan yang lebih penting daripada kau. Di luar hutan ini, kau tidak mengenalnya. Mungkin itu bagus." Nadanya berubah dari menggurui menjadi prihatin. "Mereka hidup terlalu singkat untuk menerima cinta kita, Jeno. Jangan lupa."

Soal itu Aeri tidak usah khawatir. Akhir-akhir ini, dan kalau mau jujur sejak mereka membahas pernikahan, perbedaan mortalitas antara dia dan Karina justru sangat sulit Jeno lupakan.

.
.
.

Hari berikutnya, di hitungan keempat yang terasa lebih panjang dari sebenarnya, Jeno berjalan ke sungai hanya karena kebiasaan.

Bukti tambahan tentang bagaimana ketika kita membiarkan orang lain masuk dan tinggal cukup lama, kita sejatinya membiarkan orang itu mengubah kita pelan-pelan. Kita memberi mereka kuasa. Pada titik tertentu, kita pasrah. Dan ketika menyadarinya, kita bukan lagi individu yang sama dibandingkan sebelum bertemu mereka.

Jeno menyeret lututnya yang lemas dalam langkah lambat yang akan membuat kura-kura mengalahkannya, masih berharap. Aeri tidak berkomentar dan mengamatinya dalam diam, tapi tatapan gadis itu sudah cukup bicara: dasar bebal! Mungkin Jeno memang bebal, karena sungguh, bukankah ini mestinya melegakannya? Tak ada manusia! Hutan kembali tenang! Hore untuk semuanya—kecuali perasaan Jeno yang tak bisa berbohong bahwa dia merasa rindu. Yap, bebal. Namun saat Jeno berbelok melewati sebuah pohon yang akan mengantarnya ke jalan menurun sungai, mendadak dia tidak peduli lagi.

"Karina?"

Itu memang Karina, duduk di tempatnya seakan selama tiga hari ini tidak pernah pergi. Bunga pertama yang mekar di penghujung musim dingin—yang paling indah. Merekah seutuhnya dalam balutan hanbok putih di bagian atas dan biru dari pinggang ke bawah. Sempurna. Lalu Karina menoleh dan Jeno membatin, bahkan kakaknya takkan bisa mendebat. Karina-nya sempurna.

"Karina." Kegembiraan mengaliri sekujur tubuh Jeno. Boleh dikata dia meluncur ke sungai tanpa perlu memerintahkan kakinya. Tubuhnya sekadar bereaksi—dan Jeno membiarkan. "Karina, kau di sini. Aku mencemaskanmu. Kupikir"—Jeno berhenti untuk mengambil napas—"Entahlah, aku memikirkan banyak hal. Apa kau sakit? Itukah alasannya?"

Yang disahuti Karina hanya dengan satu kata, "Jeno." Namanya. Terucap dari bibir merah ranum itu dibarengi pelukan yang dengan efektif membungkam celotehannya. "Jeno ...."

Jeno memeluk Karina balik, seerat mungkin tanpa menyakiti. "Ini aku. Kau baik-baik saja kan?"

"Tetaplah seperti ini sebentar. Diam."

Tidak ada alasan bagi Jeno untuk menolak. Dia menurutinya, merasakan Karina yang merapatkan telinga ke dadanya, kehangatan tubuh manusia Karina, kehadirannya yang berharga. Karina benar-benar di sini. Jeno mendesah. Sudah tidak apa-apa sekarang. Segalanya sudah kembali ke tempat yang benar.

"Aku merindukanmu." Jeno berbisik pada telinga yang berbeda itu.

Karina mendengus tertawa. "Karena tinggi kita tidak jauh berbeda, aku jadi bisa mendengar detak jantungmu dengan jelas saat kita berpelukan."

"Itu bagus?"

"Menurutku itu menenangkan."

Dalam tawa balasannya, Jeno menyentuhkan dahinya ke dahi Karina. "Menenangkan juga melihatmu di sini, Nona Yang Suka Menghilang. Selamat datang kembali, kurasa? Di hutan yang bersejarah ini."

"Kau menyindirku, ya?"

"Um, mungkin?"

Untuk sindiran itu Jeno dihadiahi satu sentilan di ujung hidungnya. "Hati-hati—jangan buat aku marah. Kalau tidak aku tidak akan mau bermain denganmu lagi."

"Bermain?" Belum-belum Jeno sudah bersemangat. Mereka duduk di sepetak tanah yang esnya telah mencair, saling berhadapan sementara di sekeliling mereka, dunia dilahirkan kembali melalui musim yang baru.

"Aku tahu kau punya banyak pertanyaan, tapi tidak adil kalau hanya kau yang bertanya kan? Jadi di permainan ini, kau bisa mengajukan satu pertanyaan, selanjutnya aku. Bagaimana?"

"Kedengarannya adil. Siapa yang lebih dulu?"

"Kau."

"Baiklah. Dari mana saja kau selama ini?"

Sebelah alis Karina terangkat. Jeno—istilah lain dari gampang ditebak. "Tidak kemana-mana. Aku tinggal di desa, rumah tepatnya."

"Lalu kenapa—"

Telunjuk Karina bergoyang ke kiri dan ke kanan. "Jeno. Satu pertanyaan, ingat?"

Jeno mengangguk. "Maaf."

Sentilan kedua dari Karina kali ini mendarat di dahi Jeno, setelah membelah poninya sambil terkikik. "Itu pelanggaran pertamamu, Tuan Mata Hijau. Giliranku. Apa yang kau lakukan saat aku tidak ada?"

"Menunggumu," jawab Jeno spontan, tanpa berbelit-belit.

"Itu saja?"

"A-ah." Kesempatan itu tidak disia-siakan Jeno. Dia gantian menyentil dahi Karina. Lebih menyerupai tepukan. "Itu dua pertanyaan, gadis musim dinginku. Tapi ya, itu saja, kalau kau tidak menghitung tingkahku yang membuat Aeri sebal. Giliranku lagi. Lalu kenapa kau tidak datang?"

"Menurutmu kenapa?"

"Karina."

Karina memutar bola matanya. "Jangan terlalu serius begitu. Aku tertawan oleh pekerjaan, apa lagi? Sepertinya penduduk desaku lebih suka bergosip di restoran tentang perubahan musim daripada makan di rumah mereka, dan salah seorang yang mabuk akan mulai meramalkan hari kiamat. Pokoknya ketika aku pulang, hari sudah malam. Kau tahu sendiri aku takut gelap."

Penjelasan itu masuk akal bagi Jeno. Dia tidak curiga. Lagipula, betapa pun dia ingin bertemu, Jeno tidak akan suka bila harus jadi alasan Karina berkeliaran di malam hari. "Itu lebih baik daripada kau sakit."

"Ck, aku ini lebih tangguh dari dugaanmu."

"Aku tidak pernah meragukannya. Kau setangguh badai. Giliranmu."

Karina mengangkat dagunya dengan bangga dan—harus diakui—sedikit berlebihan, sehingga mereka tertawa yang menular pada satu sama lain. "Teh kamomil atau teh biasa?"

"Kau akan membawakan salah satunya tergantung jawabanku?"

"Um, mungkin?"

"Itu pilihan yang sulit. Aku akan pilih ... Kamomil. Tapi kalau tidak ada, datanglah membawa dirimu saja."

"Oh?"

Jeno meraih tangan Karina dan menutupinya dengan tangannya yang lebih besar. "Sebentar lagi udaranya akan lebih hangat. Aku tidak mau kau merasa perlu membawakanku sesuatu setiap kali datang. Aku suka mengobrol denganmu, seperti ini. Tidak ada teh apapun yang bisa menggantikannya."

"Kau tidak merepotkan, kalau itu maksudmu, Jeno. Malah"—keraguan menerpa—"Sebenarnya ...."

"Sebenarnya apa?" kejar Jeno penasaran.

Ada senyum yang sepertinya dipaksakan hadir oleh Karina. "Sebenarnya terkadang aku benar-benar menikmati menghabiskan sore bersamamu."

"Kenapa hanya 'terkadang'?"

"Karena sekarang giliranmu." Karina bukanlah Karina jika tidak pandai bermain kata. Sebelah matanya dikedipkan.

Jadi katakan, bagaimana mungkin bulan tidak jatuh cinta pada matahari yang bersinar amat terang? Matahari bersedia berbagi dengan bulan, di saat tak ada siapapun yang mewajibkan. Matahari membuat hidup bulan berbeda, membuatnya merasa dia lebih dari sekadar bayangan gelap dari sesuatu yang lebih besar, sama seperti yang Karina sejak pertama kali menginjakkan kakinya di hutan. Dan, seperti sudah ditakdirkan, bulan jatuh cinta padanya.

Ciuman terjadi begitu saja. Jeno hanya memulainya lebih dulu—itu perbedaan pertama. Yang kedua dan terakhir: Karina jelas tidak menyangka. Lalu klik, layaknya roda yang berputar, semuanya berjalan seperti yang dahulu. Itu lembut. Itu alamiah. Itu membuat Jeno menyadari satu hal penting, satu hal lagi yang dia kira mustahil: bahwa dia sudah melewati garis di mana dia menganggap Karina teman.

Bibir Jeno basah, dan bibir itu melumat bibir Karina perlahan. Suara mengecap mengisi hutan itu, menambah melodi baru yang belum pernah terdengar sebelumnya. Melodi yang bicara lebih banyak ketimbang seluruh kata-kata disatukan. Dari Jeno, untuk Karina. Di bawah sebuah pohon yang menumbuhkan daun pertamanya.

"Maaf," gumam Jeno salah tingkah. "Hanya saja, kau tampak menggemaskan dan ...." Dia menggeleng. "Aku merindukanmu, Karina. Tolong jangan menghilang lagi."

Kalau pun ada yang perlu dikatakan, Karina memutuskan menyimpannya sendiri. Karina membisu—tidak menebar janji palsu. Diraihnya dagu Jeno dan melanjutkan apa yang tadinya berlangsung terlalu singkat. Ketika Karina mengambil alih, ciuman itu berubah menjadi lebih mendesak, serta sesuatu yang lain ... Putus asa? Lengan Jeno yang menahan bobot tubuhnya semakin lama semakin menekuk, lalu lurus sepenuhnya. Hal selanjutnya yang Jeno tahu, dia berbaring di tanah, kehabisan napas.

Kepang rambut Karina hampir menyentuh wajahnya. Tangan Karina ada di dadanya. Dari mata hijau Jeno, wajah Karina di atasnya lebih indah dari seluruh bintang-bintang dan matahari digabungkan. Dan, Jeno tergelak. "Tak salah bila Aeri menilai aku bebal."

"Mengapa?"

"Karena kami hanya bisa jatuh cinta sekali, dan aku jatuh cinta padamu."

Jempol Karina mengelus bibir bawah Jeno. "Itu terdengar seperti kutukan mengerikan. Kau bercanda, ya?"

"Aku justru tak pernah seserius ini."

"Ulangi?"

Jeno tersenyum, menggeser tangan Karina ke jantungnya. "Aku mencintaimu, Karina. Satu-satunya tak peduli berapa lama aku hidup. Aku mencintaimu seperti bulan yang mencintai matahari."

Senja itu, Jeno takkan pernah lupa bahwa pengakuannya tidak berbalas dan bahwa Karina menyambutnya dengan mata berkaca-kaca.

.
.
.

"Ikan." Jeno berkata.

"Mana?"

"Kau tidak bisa melihatnya? Kalau kau menarik garis dari sana, sampai ke titik itu, maka akan terbentuk ikan."

"Tidak ada."

"Kau, Nona, punya imajinasi yang payah."

Lama setelah matahari tenggelam, Jeno dan Karina merapat berpelukan, masih berbaring di tempat yang sama. Tak banyak yang bisa dilakukan selain memandangi langit, dan dari situ, Jeno memakai imajinasinya untuk merangkai bentuk-bentuk. Imajinasi yang, rupanya tidak dimiliki Karina yang sekarang rambutnya tergerai. Rambut Jeno sama tak keruan. "Aku suka melihatmu tanpa kepang rambut yang kaku itu."

"Apa lebih cantik begini?"

"Kau selalu cantik."

Pipi Karina menempel di dada Jeno, tempat terbaik saat Karina ingin mendengar detak jantung dan getaran di dada Jeno tiap kali dia tertawa. "Aku lupa. Kita belum meneruskan permainan kita. Giliranmu belum selesai."

"Tidak ada lagi yang ingin kutanyakan." Jeno sudah mempunyai semua yang dia dambakan, adakah kedamaian yang lebih besar dari ini?

Karina bangkit duduk. "Kalau begitu boleh aku yang bertanya?"

"Tentu."

"Kalau aku memintamu datang ke desa, apa kau akan bersedia?"

Detik itu pula Jeno bersumpah jantungnya berhenti berdetak.

Karina mengangguk sebelum Jeno bertanya. "Benar. Ke desa. Aku butuh kau untuk sesuatu. Aku tidak pernah meminta apapun darimu, Jeno. Hanya kali ini, dan hanya di pinggiran desa."

Kabut di pikiran Jeno seketika tersingkap, dan dia bisa berpikir jernih—sejernih ketika bersama Karina. Jeno ikut duduk, berjuang menemukan suaranya tatkala kata-kata mendadak sirna. "Aku—aku tidak pernah keluar dari hutan seumur hidupku."

"Ini akan jadi kesempatan yang bagus, kan? Kau pernah bilang kau ingin tahu lebih banyak tentang kami."

"Ya. Ya. Tentu. Tapi, Karina—"

"Jeno?"

"Itu pilihan yang drastis." Jeno menelan ludah.

Karina bergeming. "Sama drastisnya seperti saat aku datang kemari?"

Jeno diam.

"Dan nyaris terbunuh, tentunya."

Masih diam.

"Apakah itu perbandingan yang adil?"

Ingatan akan kejadian itu menyakiti Jeno. Ingatan tentang betapa dekat panah Aeri mengenai Karina bukanlah ingatan yang ingin diungkitnya. Hutan itu seperti berputar-putar. Apa yang terjadi dengan pembicaraan santai mereka? "Kenapa?"

"Aku sudah bilang aku membutuhkanmu."

"Untuk apa tepatnya, Karina?"

"Jeno." Suara Karina rendah dan tanpa emosi. "Pertanyaannya adalah, apa kau bersedia atau tidak?"

"Aku mau. Aku mau sekali. Jika ada yang kau butuhkan dan aku bisa memberikannya—"

"Kau memang bisa."

"—Akan kuberikan padamu. Sungguh. Tapi keluar dari hutan? Pergi ke desamu?"

"Kau toh sudah melanggar peraturan."

Kalimat itu tidak membantu Jeno sama sekali kecuali membuatnya merasa lebih buruk. "Itu tidak sama. Keluar dari hutan ... Itu berisiko. Karina, entah apa yang akan dilakukan manusia lain kalau melihatku. Aku yakin tidak semuanya bisa menerimaku sepertimu."

Mata Karina meredup seumpama sepasang obor yang nyala apinya dipadamkan. "Jadi jawabanmu adalah tidak?"

Jeno membuka mulut—dan hanya sampai di situ saja. Nihil, suara yang keluar. Penderitaan terlukis di wajahnya, setelah kini dia tahu bahwa permintaan Karina, hal pertama yang Karina tuntut untuk Jeno berikan, ternyata tidak berhubungan dengan bunga liar.

Anehnya Karina tampak lebih tenang. Tak ada desakan berkepanjangan. Gadis itu berdiri, mengambil pita rambutnya yang terlepas dan menggulungnya. "Aku pulang dulu. Sudah malam."

Jeno berdiri lebih lambat, sangat linglung. "Jangan pergi seperti ini. Kau membuatku bingung."

Karina mengangkat bahu. "Tidak apa-apa, Jeno. Aku meminta dan kau menolak. Selesai perkara."

"Mengapa kau tiba-tiba memintanya? Bisakah kita bicara lebih lama?"

Akan tetapi Karina memeluknya dengan sikap yang menyatakan pembicaraan telah berakhir. Jemari Karina hinggap di rambut Jeno dan merapikannya sekenanya. "Selamat tinggal, telinga runcing."

"Selamat tinggal?" Suara Jeno meninggi. Diwarnai rasa panik. Selamat tinggal adalah kebalikan total dari 'sampai jumpa besok'.

Sebelum Jeno bisa mengoceh lagi, Karina berjalan cepat ke desanya yang enggan Jeno datangi. Karina tidak memberi Jeno kesempatan. Karina—dia pergi begitu saja. Selagi Jeno masih memproses apa arti selamat tinggal darinya. Ketika Jeno berinisiatif mengejar, bahkan dengan kecepatannya, Jeno terlanjur membuang waktu terlalu banyak. Dia terlambat. Karina menghilang. Lagi. Karina, yang memberanikan diri meski takut gelap.

Setidaknya itulah bunyi kebohongan keenamnya.

Sorry buat bagian ehem ehemnya manteman. Next chapter biar aman ntar gua bikin Karina-Jeno main bola bekel aja xixixixi 🌚

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top