15. Temanku
Di dalam sangkar sempitnya, Jeno tak yakin pada banyak hal, misalnya apa dia akan bertahan melalui semua ini atau tidak. Apakah dia ingin bertahan setelah kekacauan yang dia perbuat? Dia tidak tahu. Malah, terkadang Jeno tidak yakin sudah berapa lama dia berada di sana. Kandang ayam itu tidak dilengkapi jendela dan seringnya, karena dikelilingi terlalu banyak besi, Jeno akan tertidur kelelahan. Namun sejak awal, Jeno selalu yakin mengenai Jung Sungchan.
Karina bukannya sama sekali tidak punya teman.
Ada satu di sini.
Kebetulan teman Karina sedang tidak senang. Sungchan bersandar di ambang pintu kandang, bersedekap—mengawasi Jeno yang dia kerjakan sesekali dan dengan terpaksa. Itu pun kalau berdiri dekat dengan jeruji dan membuang muka masuk hitungan. Menyangkut "mengawasi", Sungchan memiliki definisinya sendiri. Meski kini jelas Sungchan tidak berniat mengawasi siapapun. Sungchan yang biasanya hanya tampak bosan saat ini tampak bosan dan cemas.
Dan Jeno tahu kenapa.
"Kalau kau sekhawatir itu," celetuk Jeno. "Kau seharusnya tidak membiarkan dia pergi."
Seperti yang dapat diduga dari Sungchan, pemuda itu diam. Sepekan, jika Jeno tidak salah, adalah waktu yang cukup untuk meraba-raba karakter seseorang. Jeno juga tahu bahwa pengendalian diri Sungchan sama kuatnya dengan batang-batang besi yang memenjarakannya. Namun Jeno tidak menyerah.
"Dia gadis yang luar biasa kan? Dia punya kemampuan unik ini, kemampuan untuk mengatakan hal-hal yang ingin didengar orang lain. Dan dia bisa membuatmu tertawa. Lalu saat dia menatapmu dengan sepasang mata indahnya ... Kau ingin memberikan dunia padanya. Begitu saja. Sungguh suatu hal yang memalukan bila sampai kehilangannya."
Area di antara mata Sungchan berkerut.
"Terlebih karena kecerobohan seorang pemuda yang lebih suka bersembunyi di balik punggung gadis itu, daripada—"
Akhirnya Sungchan menoleh, menghadiahkan Jeno tatapan garang yang akan menggetarkan lutut hewan buas di hutan. "Kau tidak bicara ketika diminta, dan sekarang bicara ketika tidak diminta. Kalau kau tidak keberatan, telinga runcing, aku mau kau tutup mulut. Terima kasih."
Seandainya situasinya tidak teramat menyedihkan, Jeno akan tertawa mengejek atau bertepuk tangan. Jeno, yang terbiasa dengan Taeyong, sedikit-banyak belajar cara memprovokasi seseorang. Perempuan agak rumit, tapi dengan laki-laki, ada satu cara yang hampir pasti selalu berhasil: serang harga dirinya.
"Dia akan terluka, kau tahu? Dan kau berdiri di sini, membiarkan itu terjadi."
Ada kemungkinan 10 banding 10 Sungchan mendengarnya. Pemuda itu, Jeno menyimpulkan, hanya kembali meleburkan diri dalam keheningan.
Jeno mengusap-usap pergelangan tangannya. "Kau menunjukkan cintamu dengan cara yang keliru, Sungchan. Mendukungnya bukanlah satu-satunya cara. Tak ada hal baik yang akan datang dari balas dendam."
Bila Jeno mengharapkan penyangkalan atau basa-basi membosankan, maka dia harus bersiap kecewa. Sebab rupanya, Sungchan adalah tipe yang lebih suka berterus terang. "Kau tidak secerdas tampangmu kalau tidak bisa melihatnya."
Pemuda ini, pada dasarnya, baru saja mengakui dia mencintai Karina.
"Keseluruhan rencana ini memang merepotkan," sambung Sungchan, setengah menutup pintu kandang dengan kakinya dan memutuskan dia tidak betah lagi berada di luar. "Menahanmu itu merepotkan, tapi juga memuaskan. Itulah yang diperoleh dari balas dendam: kepuasan."
"Aku mengerti, tapi apakah itu sepadan?"
Serta-merta Sungchan bungkam.
Padahal sejujurnya, Jeno sama sekali tidak mengerti. Bangsanya dan manusia tidak bisa saling melempar batu pada satu sama lain lalu mengharapkan perdamaian. Tragedi ini menegaskan betapa mahalnya kata maaf. Di satu sisi, ada kakaknya yang menganggap tindakannya selalu sempurna, dan di sisi lain, ada Karina yang tak tahu cara memaafkan. Ketika ujung ke ujung ini bertemu dan masing-masing merasa benar, terciptalah lingkaran setan. Bagaimana itu bisa memuaskan?
"Jika kau sungguh mencintainya"—seperti aku—"Jika kau benar-benar mencintainya, hentikan dia. Karina akan mendengarkanmu. Aku yakin dia akan mendengarkanmu."
"Menghentikannya," ulang Sungchan tanpa emosi, seraya memandang Jeno rendah dalam artian yang sebenarnya.
Tanggapan Sungchan tidak bisa disebut hangat. Namun juga tidak sepenuhnya abai. Ketika nama Karina di bawa, Sungchan memperhatikan—dan itu memberi Jeno harapan. "Kalian tidak tumbuh dewasa, tidakkah kalian menyadarinya? Sembilan tahun sudah berlalu dan kalian masih menoleh ke belakang. Khawatir. Marah. Ketakutan. Itulah akibatnya pada orang-orang yang tak mau melanjutkan hidupnya."
Otot di pipi Sungchan bergerak. "Kau punya lebih banyak alasan untuk takut dibanding kami."
Gelengan kepala ringan dari Jeno menepisnya. "Pada titik ini, aku tidak takut lagi. Lakukanlah apapun yang kalian inginkan, tapi akhiri ini dengan cepat."
"Apapun?"
Tatapan nanar Jeno tertuju ke langit-langit, dan dia berpikir, burung-burung seharusnya tidak takut terbang, meski badai dan petir bisa menyambar mereka kapan saja. Ikan-ikan seharusnya tidak takut berenang, meski semakin dalam mereka menyelam, yang menanti adalah kegelapan. Akan tetapi, bagaimana jadinya saat seorang makhluk abadi dihadapkan pada kematian?
Kalau ada jawaban atas pertanyaan Jeno—kalau memang ada—maka hal itu didahului oleh suara pintu yang terbanting ke dalam dan semburan cahaya senja yang membanjiri ruangan secara mendadak. Kemudian Karina masuk dengan kemarahan di wajahnya. Kemarahan dalam wujudnya yang paling mentah, nyata, dan membara.
"Jimin?"
"Jimin" ini tidak menghiraukan Sungchan, dan segera berjalan lurus ke jeruji Jeno, menyentuhnya, tanpa menyebabkan tangannya terbakar seperti yang akan berefek pada Jeno, lalu mengguncangnya. "Aku pasti tampak seperti lelucon bagimu."
Jadi Karina sudah kembali, dan gadis itu tidak menyukai apa yang ditemuinya di hutan. Jeno telah menduganya. "Karina."
Karina mencengkeram dua batang besi teramat erat hingga ujung jemarinya memutih. "Kau sudah tahu. Selama ini kau sudah tahu. Bodohnya aku. Selama ini aku tidak pernah penasaran kenapa kau tidak pernah bertanya-tanya."
"Jimin, Jimin." Sungchan menengahi, menarik bahu Jimin dan berusaha menjauhkannya. "Jangan terlalu dekat dengannya. Ada apa? Bicaralah padaku."
Mata Jimin masih tertuju pada Jeno—pun amarahnya. "Kau sengaja mempermainkanku."
"Tidak ...." balas Jeno parau.
"Kau, yang sejak awal tak akan kesulitan menghubungkannya. Kau, yang melihat segalanya dengan jelas ...."
"Karina," sela Jeno, mempertahankan pandangannya pada gadis itu tanpa berkedip. "Adakah cara yang tepat untuk mengutarakannya?"
"Selalu ada cara, Jeno."
Itu tidak salah, tapi juga tidak sepenuhnya tepat. Jeno butuh Karina agar memahaminya. "Aku tidak menyalahkanmu. Aku mengerti." Dia sangat mengerti—kali ini. "Aku hanya ingin kau tahu bahwa ini tidak ada gunanya selain melukai dirimu sendiri."
Dengan rasa muak yang gamblang, Karina mundur, menarik napas panjang guna memenangkan dirinya. Hanbok-nya kotor oleh serpihan tanah. Beberapa helai rambutnya keluar dari gelungannya yang kini diatur berbeda, tidak sekedar kepangan. Dalam pandangan Jeno, tidak cuma jatuh, dia lebih terlihat seperti baru saja mengunjungi neraka. "Bahkan jika itu benar, aku tidak akan terluka sendirian."
Sungchan mengikutinya ketika Karina bergegas meninggalkan kandang. Langkah Karina yang panjang mampu diimbanginya tanpa kesulitan. Dua manusia, mirip dalam banyak cara, berjalan berdampingan. Karina sedikit lebih cepat. Sungchan tertinggal. Dan sebelum Sungchan menyusulnya, Jeno berbisik pelan, "Apapun."
Sungchan sempat berhenti. Tidak menoleh, sebatas berhenti. Barangkali untuk sedetik yang singkat. Lantas pergi tanpa kata.
Itulah yang diperlukan Jeno untuk yakin bahwa Sungchan mendengarnya.
.
.
.
Yoo Jimin selalu berjalan seolah dia terlambat ke pertemuan penting dengan anggota keluarga kerajaan.
Tidak apa-apa. Sungchan tidak kesulitan menebak tujuannya. Setelah hari yang panjang, rubah merah pada akhirnya akan pulang ke sarangnya yang berada di bawah tanah, jauh dari keramaian. Begitu pula Jimin. Hari ini tak diragukan lagi adalah hari yang sangat panjang bagi mereka, dan menengok ekspresi Jimin, itu bahkan lebih berat baginya. Rasa bersalah menghantam Sungchan dengan telak. Dia seharusnya berusaha lebih keras.
Jimin membuka pintu rumahnya lebar-lebar, tahu betul Sungchan akan menyusul. Memang benar, Sungchan merendahkan sedikit gat—topi tradisionalnya—karena kebiasaan, lalu menutupnya. Saat ini, norma dan pendapat orang lain bisa pergi ke tempat sampah. Jika ada yang bisa dilihat, biarkan mereka melihat. Hidup di era di mana seseorang merasa berhak mencampuri urusan orang lain membuat Sungchan lelah.
Rumah itu dalam keadaan gelap gulita tentu saja. Jimin, sama tak pedulinya dengan Sungchan, duduk di pojokan. Sungchan menyusup ke sebelahnya. "Kau siap bicara sekarang atau aku harus menunggu lebih lama?"
Jimin menyangga dahinya dengan dua tangan. "Aku tak tahu harus memulainya dari mana."
"Kalau boleh kusarankan, sebaiknya dari awal."
Suara yang menyerupai tawa dan tangisan dikeluarkan oleh Jimin. "Sungchan, dasar bodoh. Mengapa kau membiarkanku melibatkanmu dalam masalah ini? Tidakkah kau kasihan pada dirimu sendiri?"
"Mengapa harus?"
"Karena kau bisa menjadi banyak hal tapi kau justru terjebak di sini, dengan ibu yang memelukmu terlalu kencang dan teman masa kecilmu yang menyeretmu dari satu masalah ke masalah lain. Padahal kau bisa belajar di Hanyang, menjadi pejabat atau menikah dengan sepupu ratu. Apa saja selain mengurus peternakan."
"Aku suka mengurus peternakan."
"Sungchan ...."
Dalam kegelapan, keduanya tidak bisa melihat dengan baik. Bulan belum naik cukup tinggi untuk menerangi dunia. Namun jawaban Sungchan bersinar layaknya diterangi lampu listrik di masa depan—itu tidak terbantahkan. "Sungchan yang kau bicarakan itu, Jimin, adalah orang asing bagiku. Aku tidak mengenalnya, dan aku tidak ingin hidup dengan menangisi hal-hal yang belum pernah kumiliki. Itu menyedihkan."
"Tapi aku sering menyesalinya. Aku merasa menghalangimu untuk maju."
"Kalau begitu jangan," saran Sungchan yang kedua, yang perlahan menurunkan sebelah tangan Jimin dan menggenggamnya. "Aku tidak merasa begitu. Lagipula, aku ingin melangkah bersamamu, bukan di depanmu."
"Bahkan ketika ini jadi semakin rumit?"
"Ceritakan padaku."
Tautan tangan mereka tidak terlepas selagi Jimin bercerita. Bahu mereka berdempetan menjadi jembatan bagi kata-kata yang di beberapa waktu lenyap tanpa jejak. Detail demi detail Jimin hamparkan, lebih tenang usai emosinya mereda. Jimin menyajikan cerita itu seperti sekeranjang buah-buahan dan membiarkan Sungchan menilainya.
Buah-buahan itu hanya busuk—Sungchan langsung tidak menyukainya.
"Adik, ya?"
"Benar."
"Aku tidak menemukan letak kemiripannya."
"Mata keduanya sama."
Sungchan menggigit bibirnya. "Ini memang rumit—tak diragukan lagi—tapi sekaligus juga membuat semuanya lebih mudah."
Jimin diam saja. Dia tahu. Dia tahu, tapi memilih diam.
"Bayangkan, Jimin. Keluarga dibalas keluarga. Darah dibalas darah. Ayah kita .... Dan adiknya."
"Mereka—mereka tidak dekat."
"Tak jadi soal. Menurutku itu masih cukup adil. Itu sepadan. Kecuali kau punya rencana lain untuknya?"
"Untuk Jeno?"
Mengesampingkan perubahannya, rencana sembilan tahun ini sejatinya terbilang bagus. Tidak sempurna, tapi bagus. Mereka berkali-kali mendiskusikannya sejak ini di mulai. Namun tiba-tiba Sungchan lupa, sudahkah mereka membahas nasib Jeno sebelumnya? Selain memindahkan ayam-ayam ke kandang lain, menebar benih kebohongan bahwa kandang lama sedang dalam perbaikan pada siapapun yang bertanya dan menyediakan kurungan besi untuknya ... Lalu selanjutnya apa? Kenapa topik ini menggantung bagai awan mendung yang tak pernah menurunkan hujan yang adalah kejelasan?
Sungchan terpaku. "Jimin, kau tidak—tidak ... Menaruh kasihan pada makhluk itu kan?"
Jimin berdecak, yang dilakukan sembari menutupi matanya. "Jangan konyol. Tuduhanmu tidak masuk akal."
"Bagus, karena tadi aku bicara dengannya sebentar. Tentang mengakhiri rencana ini."
"Apa katanya?"
Ingatan Sungchan melayang pada saat sebelum Jimin bergabung dengan mereka. Itu percakapan pertamanya dengan Jeno yang tidak diselingi kekerasan, tidak pula umpatan. Dan, Sungchan tidak lupa, Jeno-lah yang lebih dulu mengajaknya bicara. Pada manusia, itu berarti ada yang ingin disampaikan. Pada makhluk bertelinga runcing, Sungchan tidak yakin ada perbedaan.
"Apapun," kata Jeno. Sungchan tidak mungkin salah dengar. Apapun.
Sungchan melepaskan tangan Jimin supaya bisa menurunkan tangannya yang lain yang dipakainya untuk menutupi mata. "Jimin, kurasa dia memintaku membunuhnya bila itu berarti menghentikan perseteruan ini."
Good boy vs good boy, karena yang bad boy hanyalah milik Red Velvet.gg
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top