14. Temanmu

Seekor burung elang dengan tikus mati di paruhnya melintas di langit hutan.

Sayapnya terentang menyeimbangkan tubuhnya, disangga angin yang meniup bulu-bulunya yang berwarna kecokelatan. Manuver elang itu begitu lincah, begitu yakin pada tujuannya. Apakah itu betina? Atau jantan? Melalui pengamatan, Jeno tahu bahwa elang betina bertugas mencari makan dan menyuapi anaknya. Bayi-bayi elang tidak bisa makan kecuali makanannya dicabik-cabik jadi potongan yang lebih kecil. Sementara elang jantan? Mereka lebih sering meninggalkan sarang.

Jeno mengangkat tangannya seolah berniat melambai pada elang itu.

Dan tiba-tiba tangan lain menyambarnya, lebih kecil tetapi dengan genggaman yang erat. "Dapat!" katanya, nyengir lebar. Karina.

Senyum sudah terpasang di wajah Jeno sebelum Karina duduk di sebelahnya dan ikut berbaring di tengah hamparan salju. Dan mau tak mau Jeno berpikir, jika menyangkut elang, dia adalah elang yang tinggal di sarang sementara Karina elang yang datang dan pergi sesukanya. "Kau akan kedinginan, Karina."

"Kalau begitu mendekatlah," pinta Karina, yang sebenarnya tidak butuh persetujuan. Karina membuka lengan Jeno dan memakainya sebagai bantal, lalu menyusupkan tubuhnya di dada Jeno sampai merasa nyaman. "Wah, rasanya seperti berada di dekat perapian. Kau hangat sekali! Pasti enak kalau tidak pernah kedinginan."

Secara naluriah, Jeno agak memiringkan badan supaya bisa merangkul gadis itu. Ketika dia menundukkan kepala, dahi mereka bertemu. "Ada kalanya aku kedinginan ... Karena ... Sesuatu yang lain."

"Sesuatu yang lain?"

Kesepian—itulah kata yang Jero cari. Namun dia menggeleng malu pada dirinya sendiri. Sejak dulu, Jeno tidak pandai mengungkapkan perasaannya. "Bukan apa-apa. Lagipula sekarang tidak lagi."

"Astaga," keluh Karina. "Tolong jangan bicara seperti orang tua yang sulit dimengerti. Suasana hatimu sedang dramatis, ya? Apa yang kau pikirkan?"

"Kakakku." Jujur, Jeno menjawab, dibarengi dengan Karina yang mengeluarkan suara berdecak. Jeno tergelak. "Jangan salahkan aku. Burung elang itu mengingatkanku padanya. Kakakku memelihara seekor burung. Sapphire."

"Jadi dia pencinta hewan, lantas kenapa?"

"Oh, dia lebih dari itu. Kakakku disebut penjinak—orang yang bisa memahami, berinteraksi, dan berkomunikasi dengan baik dengan hewan. Seakan-akan memikat jenisnya saja belum cukup. Pesona kakakku luar biasa kan?"

"Luar biasa apanya." Karina mencibir. "Itu tidak jauh berbeda dengan aku dan ayam-ayam."

"Apa ayam-ayam di restoranmu selalu menyambutmu dengan gembira?"

"Pastinya. Bisa dibilang aku ini ibu mereka."

Terkadang Jeno bertanya-tanya, apakah Karina yang hebat? Atau dia yang terlalu mudah di baca? Terkadang, Jeno tidak dapat membedakan. Dia mengubur wajahnya di rambut Karina dan tertawa. Mendadak tidak apa-apa dia selalu menunggu di hutan ini, di sarangnya. Demi Karina, semua penantian itu menjadi sepadan. "Kau ini benar-benar ...."

Tuk tuk! Karina mengetuk dahi Jeno. "Kepada kakak Jeno, tolong keluar dari pikirannya dan hantui orang lain saja. Ayo kita bicarakan hal lain selain kakakmu yang luar biasa itu."

"Misalnya apa?"

"Biar kupikirkan. Bagaimana dengan teman? Siapa teman terdekatmu?"

"Aeri." Nama itu tercetus otomatis. "Dan bukan semata-mata karena kami menjalani ini bersama-sama. Aku dan Aeri telah berteman sangat lama."

"Si Nona Ramah itu?"

Jeno meringis. "Aeri memang tidak ... Terlalu ramah, tapi dia teman yang setia." Malah, tambah Jeno dalam hati, terlalu setia. Jeno tak menyangka Aeri akan menolong Karina seperti tempo hari mengingat apa yang nyaris ia lakukan di pertemuan pertama mereka.

Sepasang mata Karina memandang Jeno lekat-lekat. "Dia membenciku."

"Tidak, dia tidak membencimu."

"Huh," dengus Karina. "Kau pikir aku buta?"

Akhirnya Jeno meralat dengan lembut. "Baiklah. Dia membencimu, tapi bukan kau secara khusus, Karina. Aeri hanya tidak menyukai manusia secara umum."

Penyataan itu tidak menghasilkan efek yang Jeno inginkan. Sudahkah Jeno bilang bahwa dia payah dalam berkata-kata? Yah, Karina bangkit duduk, sambil merengut. Kedua tangannya ditumpukan di atas lutut. Ekspresinya bisa berarti apa saja kecuali kebahagian. "Menyebalkan sekali. Lucu bagaimana kami sama sekaligus berbeda. Maksudku, kami sama-sama wanita. Aku menyesal kami tidak bisa cukup akrab untuk mengobrolkan tanaman apa yang paling manjur untuk perawatan rambut."

"Menurutku rambutmu bagus," komentar Jeno—dan itu benar. Rambut Karina yang panjangnya mencapai punggung berwarna hitam pekat. Sehitam arang atau bulu gagak. Dan Karina jelas merawatnya dengan sungguh-sungguh karena setiap kali menyentuhnya, Jeno sering merasa bagai menyentuh sutra.

"Ini merepotkan." Karina rupanya berpendapat berbeda. "Lebih dari selusin kali aku ingin memotongnya. Cuma saja tidak bisa. Manusia punya aturan tidak tertulis tentang penataan rambut wanita."

"Bahkan rambut juga?" Jeno tak habis pikir. Apa yang salah dengan manusia-manusia ini?

"Ya, kalian tidak?"

Refleks belaka, Jeno mengelus rambutnya sendiri yang pendek. Dia telah cukup lama menjaganya tetap demikian hingga kini terbiasa. "Rambut pendek pada kami bisa disebut jarang, tapi kami tidak membuat aturan apapun seperti kalian. Aturan seperti itu tidak ada."

Lagi-lagi Karina mendengus. Pipinya menggelembung mirip tupai. "Aeri yang beruntung. Dia bisa memotong rambutnya kapan saja dan tidak dipandang aneh."

"Jadi teman-temanmu juga punya gaya rambut serupa?"

"Teman-teman apa?"

"Teman-temanmu, Karina."

Bahu Karina terdorong ke belakang, menyampaikan gestur tidak nyaman. "Aku—aku tidak memilikinya. Teman-teman."

Salah tanggap, Jeno menyikapinya dengan tawa. "Kau bergurau."

Memakai jari-jarinya, Karina meraup segenggam kecil salju dan melempari Jeno yang masih berbaring dengan itu. "Sayangnya tidak."

Salju itu berhamburan di perut Jeno, sebagian turut mengenai pipinya, memaksa Jeno bangun untuk membersihkannya—selain kata-kata Karina sendiri yang tertuang bak seember air dingin. "Apa? Kenapa? Kau cantik, menyenangkan, dan baik hati. Kau seharusnya memiliki banyak teman."

"Cantik, menyenangkan, dan baik hati?"

"Dan pemberani." Jeno memberi bonus.

Sikut Karina melayang menusuk pinggang Jeno. "Kau berlebihan. Aku mungkin tidak sebaik yang kau kira, kau tahu? Aku ini keras kepala dan suka pilih-pilih makanan. Barangkali karena itulah teman-temanku menikah dan aku tidak. Mereka lalu jadi semakin sibuk dan aku ... Sendirian."

"Menikah?" Cara Jeno mengatakannya terdengar seolah dia salah menggigit apel busuk. Menikah?

Karina tidak menilai itu ganjil. "Ya. Gadis-gadis seusiaku rata-rata sudah menikah. Aku belum. Aku masih harus mengerjakan ... Beberapa hal."

"Menikah," ulang Jeno, kemudian dia mendongak. Elang yang tadi dilihatnya telah lama berpamitan. Yang tampak bagi Jeno kini hanya cabang-cabang gundul pepohonan yang menjorok ke sungai, beserta sepotong langit yang tidak tertutupi. Pemandangan yang akrab, yang akan kembali tahun depan setelah musim dingin usai. Hal-hal yang tidak—jarang—berubah. Sesuatu yang konstan ... Seperti dirinya.

Untuk pertama kalinya, Jeno merenungkan perbedaan dasar di antara mereka—lebih dari sebatas perbedaan bentuk telinga. 100 tahun yang akan datang, Jeno akan tetap menjadi seperti sekarang. Mungkin terkesan sedikit lebih dewasa, tapi tetap saja sama. Bangsanya dianugerahi hidup yang panjang—sejenis kutukan dan berkah. Asal tidak menderita cedera fatal, Jeno akan hidup untuk waktu yang lama. Sedangkan Karina ....

"Jeno?"

Jeno tahu manusia layu dengan cepat. Mereka rapuh. Mereka mudah terluka. Dan tentu saja, mereka akan menikah! Dia dengar manusia membangun keluarga di usia yang sangat muda. Di usia Karina sekarang—yang cantik, menyenangkan, dan baik hati, dan jelas menarik di mata pria mana pun. Dan itu berarti sesuatu kan? Fakta bahwa suatu hari nanti Karina bisa melambai pulang dan berhenti mengunjunginya sama sekali sejujurnya tidak pernah terlintas di benak Jeno.

Dan, dada Jeno terasa sesak.

"Jeno, hei!" Karina mengguncang bahu Jeno pelan. "Ada apa? Kau baik-baik saja? Kenapa melamun?"

Tangan Jeno terulur membelai pipi Karina. Makhluk yang kini dia sadari akan membuatnya merasakan sakitnya kehilangan yang tak terperi. Jeno yang abadi dan Karina yang fana. Mimpi indah sekaligus mimpi buruknya. "Maafkan aku, Karina, tapi aku senang kau tidak menikah seperti teman-teman yang tidak lagi kau miliki."

Kebohongan kelima Karina diucapkan sambil tergagap. Namun Jeno masih memercayainya.

Seribu kata lebih cuma bahas rambut sama burung, oke sip 🗿

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top