13. Teman Kerja
Hasil pertemuan itu tidak berjalan sempurna—dan Taeyong membencinya.
Taeyong mencari dan mencintai kesempurnaan dalam suatu cara yang ekstrem—jika tidak bisa disebut obsesif. Dia membenci segala sesuatu yang cacat atau seseorang yang rusak. Di dunia ini, tak banyak yang Taeyong cintai melebihi kesempurnaan, dan kalau ada, itu hanyalah kemenangan. Hari ini, dia tak mendapatkan keduanya. Seorang gadis manusia mengalahkannya. Kejutan.
Gadis itu kini berbalik meninggalkannya sebelum dia sempat menjawab, seolah pendapatnya tidak diperlukan, tidak penting. Belum pernah ada yang memperlakukan Taeyong seperti itu. Sebuah hiasan rambut khas manusia berbentuk bunga mencuat dari rambutnya yang disanggul. Punggung dan kepalanya setegak bila ia menyangga sebuah mahkota. Dan sebagai tambahan, meski gaunnya usang, gadis itu bicara layaknya orang yang beradab.
Gadis itu jelas tidak datang kemari tanpa persiapan. Ia punya waktu sembilan tahun untuk menyempurnakan rencananya. Cerdas. Ia juga punya segala yang dibutuhkan untuk menjadi seorang bangsawan berkedudukan tinggi—bahkan seorang ratu. Tak heran Jeno jatuh cinta padanya, terlepas dari rupanya yang memang sedap dipandang. Tidak setiap hari kau bisa menemui manusia sepertinya. Si Karina itu—
"Menarik," gumam Taeyong. "Dia sangat menarik. Bukankah begitu menurutmu, Aeri?"
Aeri terlalu kalut untuk memikirkan apapun selain peliknya situasi mereka. "Karina tidak main-main; dia tidak hanya menggertak."
"Aku tahu."
"Tidak, maksudku dia benar-benar serius. Ini bukan permainan."
"Aeri, aku benar-benar tahu. Percayalah. Aku mengerti. Yang tidak aku mengerti adalah, mengapa kau sampai membiarkan ikan yang berbahaya ini lolos dari jaringmu? Tak bisakah kau mengenali predator saat melihatnya?"
Kurang dari sepekan yang lalu, Taeyong menyaksikan Aeri berlutut di ruang singgasana ratu, ketakutan setengah mati menyampaikan bencana ini yang hingga titik tertentu, dibuat oleh tangannya sendiri. Berita itu menjadi badai di hari yang cerah. Berita itu, yah, mengerikan. Semakin lama mendengar, semakin Sang Ratu sadar bahwa apa yang ia kira emas rupanya tak lebih dari tembaga tak berharga. Sang Ratu marah besar. Aeri tak berani sekali pun membalas tatapannya. Begitu pula kini. "Aku tahu—maksudku, tidak—maafkan aku. Seandainya aku ...." Aeri menggeleng. "Aku sangat menyesal."
Taeyong sengaja diam, menghukumnya dengan keheningan. Sang Ratu bukan satu-satunya yang kecewa. Aeri—Taeyong berharap banyak padanya. Jadi dibiarkannya keheningan tumbuh bak tanaman yang diberi pupuk, yang kira-kira bertahan semenit, sebelum orang lain memotong "tanaman" itu dengan suara langkah kaki, berikut suaranya sendiri. "Aku tidak yakin permintaan maaf bisa mengubah apapun, tapi kurasa kita bertiga bisa setuju kau sudah cukup mengucapkannya, ya kan, Aeri? Taeyong?"
Mereka serempak menoleh.
Jika kau melihatnya, kau tidak akan menebak seseorang itu dulunya adalah penjaga. Namun saat masih menjadi penjaga pun, dia tak pernah terlihat seperti salah satunya. Para penjaga cenderung memakai pakaian yang sederhana; orang yang baru tiba ini mengenakan pakaian lebih rumit yang di masa depan akan tampak seperti persilangan mantel dan jubah. Rambutnya yang dulu panjang kini terpantau pendek, hanya sebahu—perubahannya yang paling nyata dalam sembilan tahun. Lima cincin antik tersebar di kesepuluh jari tangannya. Kegemaran umum yang bisa ditemukan baik pada bangsanya atau manusia; tak ada makhluk berakal yang tak menyukai benda berkilauan.
Dulu, orang itu tak punya kesempatan memamerkan cintanya pada perhiasan sebab terlalu banyak cincin akan memengaruhi genggamanmu pada senjata. Sekarang, dia tak segan-segan. Doyoung datang, dan langsung menghunjam Taeyong dengan tatapan tidak suka. "Kalau kau sudah selesai menyalahkan orang lain, sebaiknya pikirkan jalan keluar dari masalah ini."
Taeyong mengangguk menyapa mantan teman kerjanya itu. "Senang bertemu denganmu juga, Doyoung. Kukira kau sedang mendekam di perpustakaan seperti biasa."
"Kukira kau bisa menangani situasi tadi dengan lebih baik."
"Seperti apa misalnya?"
"Entahlah, mungkin dengan tidak menambahkan kayu ke dalam api yang telah berkobar? Dari apa yang kudengar, kau justru membuat gadis itu semakin marah. Selamat, Taeyong."
Kata "mendengar" yang terucap dari mulut Doyoung kerap memiliki makna terselubung.
Masalahnya begini: pada rentang usia tertentu, setiap anak bangsanya akan mengembangkan bakat tertentu pula. Tidak harus sesuatu yang dahsyat atau mencolok—bakat itu bisa berarti mereka mampu bergerak lebih cepat atau lebih tangkas, atau secara alamiah menguasai berbagai senjata dengan baik. Normalnya, bakat tersebut mulai muncul menjelang dewasa; seperti buah yang matang. Namun beberapa buah selalu terasa lebih manis dari yang lainnya.
Doyoung adalah satu dari mereka yang istimewa—ia seorang pembaca pikiran.
Kau takkan bisa berbohong padanya. Bagi Doyoung, rahasia seseorang bagai buku yang terbuka. Jauh sebelum kata "interogator" populer, Doyoung sudah jadi pakarnya. Bakatnya merupakan berkah sekaligus kutukan, karena selain langka, orang-orang seperti Doyoung identik dengan gaya hidup kesepian. Siapa sih yang suka bila pikirannya ditelanjangi? Taeyong pun tidak, tetapi di sisi lain, dia bisa menoleransi Doyoung, terutama karena pria itu mau-mau saja membiarkannya memimpin. Sebagai rekan, Taeyong tahu betul satu-satunya alasan Doyoung mengajukan diri jadi penjaga adalah karena ia penasaran apakah ia bisa "mendengar" manusia.
Dulu, keduanya berteman—atau semacam itulah.
Taeyong tertawa geli. "Sayang sekali kau tidak bergabung dengan kami lebih awal. Kau mungkin bisa memberiku beberapa usul menghadapi gadis itu."
Sepasang mata biru Doyoung menyipit—agak sulit diterjemahkan maknanya. Saat Doyoung diam, entah ia sedang berpikir atau membaca pikiranmu. Tidak jelas. Taeyong bahkan tidak tahu apakah Doyoung sungguh bisa mendengar manusia. Doyoung tak pernah membiarkan orang lain mengukur kemampuannya. "Usul yang kau minta itu ... Aku sudah memberikannya sembilan tahun silam."
"Di bagian mana tepatnya? Kurasa aku lupa."
"Di bagian di mana aku memintamu tidak membunuh dua pencari ginseng itu. Ingat-ingatlah lagi."
"Kukira kau menyinggung bagian saat kau menyebut-nyebut soal kelinci hutan."
"Taeyong—"
Taeyong tidak marah. Tidak terlalu. Kata yang lebih pas menggambarkannya barangkali adalah "terganggu". Dan ya, dia sangat terganggu dengan semua ini. Dalam sedetik, Taeyong mencengkeram kerah pakaian Doyoung dan mendorongnya semeter ke belakang sampai menabrak pohon. Kaki keduanya seakan tidak memijak tanah. "Itukah kelinci yang kau dengar, Doyoung? Kau tak pernah bilang kelinci itu bertelinga mungil dan pintar."
"Taeyong." Jemari Doyoung berupaya melonggarkan cengkeraman Taeyong. Gagal. Semua orang memiliki kelemahan. Tangan yang sering memegang buku bukanlah saingan tangan yang familier dengan belati tajam.
"Tidak. Jangan coba-coba berkata kau tidak mendengar gadis itu sembilan tahun yang lalu. Kita berdua tahu kau mendengarnya, ya kan, Doyoung?"
"Lepaskan dia!" Aeri berusaha menyelip di tengah-tengah mereka, memberi tekanan ekstra pada lengan Taeyong yang bisa dibilang mencekik Doyoung.
Tuntutan Aeri diabaikan. Taeyong justru membenturkan kepala Doyoung dengan kekuatan yang cukup untuk membuatnya kehilangan kesadaran seandainya Doyoung manusia. Serpihan kayu batang pohon itu sampai berguguran berkat kerasnya benturan. "Kau dan dia sama. Kalian, anehnya, mirip—kau dan Jeno. Rasa ingin tahu yang tidak terarah. Terlalu lembut untuk apa saja. Kalian ...." Taeyong mengembuskan napas kesal. "Kalian membuatku terganggu."
Kini tak hanya kepala Doyoung, punggungnya turut menempel ke batang pohon dan mengancam mematahkannya jadi dua. "Tak perlu lah mengumumkannya pada dunia, Taeyong. Semua orang bisa melihat perbedaanmu dengannya, dan betapa kau membenci adikmu sendiri karena Jeno tak bisa memenuhi standar kesempurnaanmu."
Kepala Taeyong dimiringkan, heran. "Jadi menurutmu kekurangannya adalah salahku?"
"Tidak. Sama sekali tidak. Siapa yang akan berani menyalahkanmu?" Seringai Doyoung terbit, lalu terbenam dengan cepat. "Itu hanya membuktikan seberapa berengseknya dirimu."
Dahan pohon yang setara dengan dua lengan kekar laki-laki dewasa itu akhirnya patah ketika kesabaran Taeyong mencapai puncaknya. Suaranya memekakkan telinga di hutan yang normalnya tenang, dan berikutnya, Doyoung jatuh terkapar. Ada jejak darah yang bisa dilacak hingga ke bagian belakang kepalanya. Akan tetapi, Taeyong belum selesai. Sebelum Doyoung benar-benar menyentuh tanah, dia sudah membungkuk, hendak mengajari mantan teman kerjanya itu cara tutup mulut.
Sayangnya, atau untungnya—bagi Doyoung—Aeri dengan sigap mengambil tempat kosong di antara mereka dan tanpa basa-basi memasang anak panah pada busurnya. Begitu Taeyong mendongak, anak panah itu tepat diarahkan ke salah satu matanya dengan presisi yang mantap.
"Aeri?"
Suara stabil Aeri tidak selaras dengan tangannya yang gemetar. "Mundur."
Pelan-pelan Taeyong meluruskan punggungnya dan mengurungkan niat. Dia melirik Doyoung dan Aeri bergantian. "Bagaimana kalau kau yang mundur? Selain diperintah manusia, hal lain yang tidak kusukai adalah dihalangi."
"Kebalikan dari pamer kekuatan?"
Tawa. Taeyong tertawa. "Kurasa kaulah yang sedang pamer."
"Kumohon," kata Aeri, seraya menelan ludah. "Perdebatan ini tidak ada gunanya. Mundurlah."
Dianggap tantangan, Taeyong malah maju. Ketenangannya tidak tergoyahkan. "Pelajaran pertama sebagai penjaga: jangan pernah ragu dalam tindakanmu. Kalau kau mau melakukannya, Aeri, lakukanlah. Ancaman kosong itu membosankan."
Tali busur Aeri meregang. Anak panahnya siap meluncur kapan saja. "Aku tidak hanya mengancam."
"Benarkah?" Satu kata yang sangat khas Taeyong. Ditambah satu langkah lagi yang diambilnya ke depan. "Lantas apa yang kau tunggu?"
Bibir Aeri merapat menjadi satu garis tipis. Setetes keringat meluncur dari pelipis ke dagunya. Itu keraguan yang jarang dimilikinya. Itu konsentrasi total yang sejatinya tidak diperlukan. Yang diperlukan Aeri, saat ini, adalah menggerakkan jarinya sedikit dan anak panah itu akan mengerjakan sisanya. Taeyong berada kurang dari tiga jengkal, dan merupakan sasaran yang diam. Di titik ini, bahkan manusia setengah rabun pasti bisa melakukannya. Satu gerakan saja. Beranikah ia? Satu gerakan! Lalu semua ini akan usai.
Satu ...
... Gerakan.
Jari Aeri bergerak—
Untuk menurunkan senjatanya.
Rasa frustrasi terlukis di wajah Aeri dengan gamblang. Ia bisa bersikap ceroboh sekarang—ia bisa saja bersikap sembrono. Itu akan jadi kepuasan yang pahit. Pahit, tapi memuaskan, dan mungkin layak. Taeyong bukanlah lawan debat yang kau inginkan, dan Aeri tak ingin berpura-pura kata-kata pria itu tidak melukainya jauh di dalam. Namun tentu saja, Aeri tidak berani. Kau tidak menyentuh orang-orang kesayangan Sang Ratu. Itu dapat mengundang masalah besar. Dan Aeri, dibanding siapapun, sudah punya cukup banyak masalah.
Maka gadis itu mundur
Di tanah, perlahan bangkit, Doyoung mengamati kejadian itu disertai gelengan muak. "Itu pasti memberimu kepuasan, kutebak? Mengetahui seseorang berada di bawah sepatumu."
Ada dua pilihan sopan yang bisa Taeyong pilih untuk meresponsnya; meminta maaf, atau mengulurkan tangan. Taeyong hanya memilih tidak melakukan keduanya. "Kau bergurau, ya? Aku baru akan puas setelah masalah ini tuntas."
"Dan rencana buruk apa yang kau buat untuk menuntaskan masalah ini?"
"Maaf?"
"Aku kenal kau, Taeyong," ujar Doyoung apa adanya. "Sekarang ini kau memikirkan hal lain yang sama sekali tidak berkaitan agar aku tidak membacanya. Apel untuk Jeno? Kau memikirkan apel untuknya?" Ia mendengus. "Berani taruhan, apel adalah hal terakhir yang ingin kau berikan pada adikmu."
"Kau tentunya tidak mengharapkan aku mematuhi gadis itu bukan?" Tunduk pada manusia terdengar seperti mimpi buruk bagi Taeyong.
Tangan Doyoung mengibas di udara; dia membantah tidak sekadar dengan ucapannya. "Aku berharap Sang Ratu menghentikan favoritismenya dan mengirim orang lain. Kun punya lebih banyak akal sehat daripada kau. Kun lebih pantas! Sembilan tahun lalu, kau melakukan kesalahan, dan aku bisa menebak kau akan melakukan kesalahan lagi, Temanku."
Nama yang disebut-sebut Doyoung menimbulkan kerutan di dahi Taeyong. "Dan kau sepertinya lupa bahwa ketika menebak-nebak, selalu ada kemungkinan kau keliru."
Dengan kasar Doyoung merapikan pakaiannya, terutama kerahnya yang kusut. "Kita lihat saja nanti. Mari, Aeri."
Aeri tidak menjawab, tidak pula bergeser dari tempatnya. Busurnya tergantung lemas dari tangannya yang lunglai. Namun kakinya tetap tegak, dengan suatu cara yang menyampaikan sebuah penyataan: aku takkan kemana-mana. Sebab menerima ajakan Doyoung—dalam kasus Aeri—artinya lari dari tanggung jawab. Dan seorang Aeri pantang berbuat demikian.
Sebagai penjaga yang payah dan teman yang lebih payah lagi, Doyoung menghela napas tanpa daya. Ada yang butuh pembaca pikiran? Ia menatap Taeyong, lalu Aeri yang menunduk menghindarinya.
Ternyata tidak ada.
.
.
.
Sepeninggal Doyoung, tak ada yang berubah. Bulan masih bersinar sebagaimana mestinya, angin masih bertiup, dan masalah menyangkut gadis manusia itu belum tuntas. Pengurangan satu orang hanya membuat hutan menjadi lebih senyap—terlebih karena satu orang lain yang menyertainya setia pada keheningan.
"Apa pendapatmu, Aeri?" Taeyong iseng bertanya.
Aeri memasukkan kembali anak panah yang batal ia gunakan dengan lagak sesantai mungkin. "Bukan pada tempatku untuk mengomentari pertemanan kalian yang ... Rumit. Tidak ada pendapat, tapi aku terbuka pada berbagai usul. Aku hanya ingin masalah ini diselesaikan secepatnya."
"Kalau begitu kita berbagi minat yang sama. Kau tahu siapa lagi?"
Pandangan Aeri menjelajahi sekelilingnya. "Apa aku melewatkan sesuatu?"
Bibir Taeyong mengerucut, dan dari sana, mengalirlah serangkaian nada rendah yang lebih lembut dari bisikan, mengalun semerdu tetesan hujan pertama pada musim panas yang gerah, melahirkan siulan panjang yang menggugah kendati tidak keras. Tak sampai semenit, sesuatu menanggapinya.
"Sapphire ...." gumam Aeri tercengang, menjawab pertanyaannya sendiri.
Seekor burung besar dengan warna sebiru langit malam terbang seolah muncul dari bulan dan mendarat di tangan Taeyong yang terangkat. Ekornya yang panjang sedikit lagi menyapu tanah. Kedua kaki burung itu tampak cukup kokoh untuk mencengkeram seekor kelinci dewasa. Paruhnya melengkung laksana pisau yang mampu mencabik apa saja, di bawah mata kecokelatan yang memancarkan kecerdasan. Dan terlepas dari ukurannya, burung itu mengepakkan sayapnya nyaris tanpa suara.
"Sapphire," ulang Taeyong, mengelus dagu burung itu naik-turun yang di tangannya, berperilaku jinak. "Apa pendapatmu tentang manusia? Dan desa manusia?"
Aeri mengeluarkan suara tersedak. "Kau tidak mungkin—"
Tidak ada yang tidak mungkin jika menyangkut Taeyong. Pria itu berpaling, dan dengan burung itu yang posisinya sejajar dengan wajahnya, menciptakan ilusi mata kirinya digantikan oleh mata burung. "Mengapa tidak? Kurasa Sapphire akan menyukainya."
Menyusul ucapannya, ada lebih banyak burung-burung serupa yang turun dari langit, tenang dalam penampakannya yang mematikan.
Disebut mulu tapi bingung nyari visualisasinya siapa, silakan bayangkan sendiri si ratu di cerita ini kek gimana orangnya ya xixixi 🗿
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top