11. Keluargamu
Selendang Karina hanyalah selendang biasa.
Malah, selendang itu kelihatan tua. Jenis barang yang sepertinya menyimpan kenangan. Bau kayu bakar meresap ke bahan kainnya, dan Jeno bertanya-tanya apakah Karina memakainya saat memasak? Juga ada bau lain一Jeno tak bisa mengenalinya. Mungkin aroma khas pedesaan yang melekat saat Karina berjalan-jalan? Pasar. Karina sering bercerita. Bahkan Karina mendeskripsikannya seolah itu tempat ajaib di mana kau bisa mendapat makanan, perhiasan, dan mainan asalkan punya uang.
Manusia jelas sangat suka uang.
Duduk di tepi sungai Edra setelah ditinggal sendirian, Jeno mengelus selendang itu. Ada kehangatan yang tidak bisa dijelaskan ketika Jeno menyentuhnya. Sebuah hadiah dari manusia. Pertanyaannya, harus dia apakan? Jeno tidak akan bisa memakainya tanpa mengundang pertanyaan; dia tidak pernah kedinginan. Namun Jeno juga tidak bisa berpura-pura selendang itu tidak penting dan membuangnya. Satu-satunya jalan adalah menyelundupkannya ke rumah, diam-diam, tanpa sepengetahuan—
"Ceroboh, seperti biasa."
—kakaknya.
Kritikan itu langsung mendorong Jeno bangkit seakan kakinya tertusuk duri. Dia berpaling ke sumber suara, lebih dari separuh berharap dirinya salah dengar. Harapannya sirna. Itu dia: kakaknya. Jeno memang bukan penjaga terbaik dalam sejarah bangsanya, tetapi mendekatinya tanpa peringatan tetap saja bukan perkara gampang—kecuali kau adalah Taeyong, yang bisa melakukan apa saja. "Kakak?"
Kakaknya berdiri bagai dewa matahari, membalas tatapan kebingungan Jeno dengan senyuman. Jika manusia melihatnya, begitulah mereka akan beranggapan. Saat Jeno yang melihatnya, dia refleks membetulkan sikap tubuhnya sebelum pandangan tidak setuju terlontar. Selain membuat orang lain tercengang, bakat lain Taeyong turut meliputi membuat orang lain merasa tidak pantas. "Apa ini? Seingatku terang-terangan menunjukkan dirimu tidak termasuk dalam pelatihan."
Jeno berbuat kesalahan dengan bicara tergagap. Atau mungkin bukan salahnya, sebab dia tidak mahir berdusta. "A-aku hanya sedang minum."
Ceroboh, seperti biasa.
Kakaknya tertawa. Tidak jelas apakah Taeyong menertawakan jawaban Jeno atau Jeno sendiri. Bila menyangkut Taeyong, kau selalu menebak-nebak. "Tentu saja kau sedang minum. Dengan benda aneh itu?"
Jeno menunduk menatap tangannya. "Ini ... Selendang."
Begitu dia mendongak, selendang itu sudah berpindah tangan, dan Taeyong berdiri lebih dekat. Sejak dulu, ketangkasan merupakan kelebihan kakaknya. "Aku bisa melihatnya, Jeno, terima kasih. Tapi aku tidak pernah melihat selendang ini?"
"Itu milikku."
"Kau membuatnya sendiri? Hadiah untuk ibu?"
"Kakak." Jeno menghela napas, mengulurkan tangannya yang kini kosong. "Tolong."
Minat Taeyong yang sering berubah-ubah sama terkenalnya dengan rupanya yang menawan. Setelah bosan, Taeyong mengembalikan selendang itu tanpa menoleh. "Jangan berikan benda itu pada ibu."
Jeno harus bergegas menangkapnya sebelum selendang itu jatuh ke salju. Terlambat sadar bahwa dengan melakukannya, dia otomatis berlutut. Tanpa Taeyong harus menyuruhnya. "Apa yang membawa Kakak kemari? Apa aku berbuat kesalahan?"
"Apa kau berbuat kesalahan?"
"Tidak," bantah Jeno segera, seketika terbayang Karina. Bohong benar dia. Karina adalah rahasia besarnya. Kesalahan yang tidak termaafkan.
Ironisnya, Taeyong berdiri di tempat Karina biasa duduk saat gadis itu dan Jeno bertukar kabar. "Itu juga yang dikatakan Aeri. Lebih tepatnya, Aeri bilang tak pernah ada masalah sama sekali."
Di luar kesengajaan, Jeno meremas selendang Karina sampai menjadi bola. "Jadi ini inspeksi. Bagaimana? Apakah hasil kerjaku memuaskan?"
"Sejauh ini," sahut Taeyong enteng. "Kau melaksanakan tugasmu dengan baik. Tak ada laporan pada Sang Ratu. Tak ada insiden apapun. Semuanya sempurna."
"Sempurna," ulang Jeno pahit
Kakaknya mulai mondar-mandir, dengan aura seorang raja yang tengah mengadakan kunjungan lapangan ke pemukiman rakyat jelata. Semua orang tahu: bila suatu hari Sang Ratu mengambil pasangan, besar kemungkinan Taeyong-lah yang akan dipilihnya. "Maksudku, kau tahu bukan betapa langkanya di antara kita mempunyai anak kedua? Keabadian bisa menjadi kutukan jika dihabiskan untuk mengkhawatirkan seorang anak. Apalagi dua. Tapi kau telah diberi kehidupan ini." Pundak Jeno ditepuk-tepuk. "Manfaatkanlah dengan baik. Jadilah berguna."
Jadilah seperti kakakmu.
Mengapa kau tidak bisa seperti kakakmu?
Kau dan kakakmu sangat berbeda. Sungguh disayangkan.
Jeno menunduk dalam. "Aku mengerti." Dan sialnya一aduh一bersamaan dengan itu, terdengar suara benda yang jatuh.
Lonceng di kepala kakaknya langsung berdentang. Insting alami yang tak luntur meski kini dia bukan penjaga lagi. Dengan ketenangan yang menakutkan, dia bertanya, "Kau dengar itu?"
Suara tersebut berasal dari desa, dan ya, Jeno mendengarnya.
Otak Jeno berputar cepat. Apakah Karina belum pulang? Apakah Karina kembali? Itu bukannya tidak pernah terjadi. Karina sama cerobohnya dengan Jeno—dan kerap melupakan barang-barangnya. "Tidak ada apa-apa."
Dusta Jeno sejatinya tidak diperlukan, sebab di saat seperti ini, kakaknya tak memercayai penilaian orang lain. Taeyong maju, mendorong Jeno ke samping. Dari sakunya, dia mengeluarkan sebilah belati yang gagangnya berhias ukiran rumit yang terlihat artistik sekaligus seperti omong kosong tanpa arti. "Minggir."
Jeno menolak minggir. Goyah sedetik, dia lantas bergerak dengan kecepatan yang jarang dipamerkannya, mengadang Taeyong dari depan. Selendang Karina masih ada di genggamannya. Dia takkan minggir. "Kakak." Dua pasang mata hijau beradu, terpisah jarak yang sangat dekat. "Aku tidak mendengar apa-apa."
Taeyong sebenarnya sedikit lebih pendek dari Jeno, kebanyakan orang hanya tidak menyadarinya karena selain kerap menunduk, Jeno cenderung berdiri jauh di belakang Taeyong. Sang matahari yang sinarnya membutakan, kemudian ada si bulan. Bukan—seperti saat ini—di depannya. Cukup dikatakan, Taeyong terkejut. Alisnya naik lebih tinggi. "Benarkah?"
"Ini musim dingin." Jeno menekankan. "Ranting yang menahan banyak salju akan patah. Itu normal."
"Kedengarannya seperti itu."
"Kedengarannya memang seperti itu." Kengototan Jeno bertambah. "Kau membuang-buang waktumu yang berharga, Kak. Aku yakin kau dibutuhkan di tempat lain."
"Benar. Lagipula kalau ada masalah ...."
"Aku akan menanganinya. Akulah penjaganya sekarang." Bukan kau. Jeno harus menahan diri untuk tidak mengimbuhkan. Jangan kelewatan, dia memperingatkan lidahnya. Tak ada orang waras yang ingin membuat Taeyong marah.
Taeyong mengangguk. "Tolong maafkan aku. Aku lupa statusmu sekarang." Hinaan itu meluncur lebih lancar dari setetes embun di daun yang basah. Taeyong maju lebih jauh, sekadar mengetes apakah Jeno akan mundur. Ketika Jeno tetap teguh di tempatnya, dia tergelak. "Aku tidak mendengar laporan buruk, tapi juga tidak mendengar laporan bagus. Bagaimana menurutmu?" Dia berbisik di telinga Jeno. "Kau, saudaraku, masih harus belajar banyak hal." Barulah saat itu Taeyong menarik diri, melayangkan jemarinya untuk membersihkan tunik Jeno. "Selamat bekerja kalau begitu. Ingat, semuanya harus sempurna."
.
.
.
Selepas kepergian kakaknya, Jeno berada di ambang kemarahan yang nyaris meluap. Bercampur di sana, ada kesedihan dan rasa tak berdaya. Jeno menarik napas panjang beberapa kali. Secepat kedatangannya, secepat itu pula amarahnya reda. Jeno tidak bisa marah—dia bahkan tidak tahu caranya. Dalam kamus Jeno, marah berarti menyendiri. Selalu simpan itu untuk dirinya sendiri.
Lagipula bila menyangkut kakaknya, Jeno sudah terbiasa.
Usai bunyi tapak kaki Taeyong tidak terdengar lagi, Jeno berbalik, hendak mengecek asal suara benda jatuh tadi. Namun Aeri mendahuluinya, mendorong Karina yang tampak bingung, ketakutan, tetapi utuh dan tidak terluka. "Sepertinya kau hampir kehilangan sesuatu," ujar rekannya itu. "Hampir."
"Karina." Di detik terakhir, Jeno berhasil menjaga suaranya agar tetap rendah. Dia hanya gagal menekan kepanikannya dan langsung meraup Karina ke dalam pelukannya. Pelukan mereka yang pertama. "Apa kau baik-baik saja?"
"Jeno?" Karina menjadi semakin bingung.
Aeri berdecak. "Aku menemukan ... Temanmu ini berjalan santai seperti anak angsa yang lugu ke arahmu saat kau sedang bicara dengan kakakmu. Aku menghentikannya sebelum terlambat. Dia cukup pandai untuk menutup mulutnya walau sempat menjatuhkan botol tehnya."
"Eh," protes Karina, "Kaulah yang menutup mulutku, Nona."
"Dan kau seharusnya berterima kasih padaku," tukas Aeri tajam. "Kau tidak tahu apa—siapa—yang akan kau hadapi seandainya aku tidak mencegahmu. Aku bahkan tidak tahu mengapa aku melakukannya. Asal tahu saja, tidak semua dari kami selembut Jeno."
Tangan Karina terlipat di depan dadanya. "Astaga, kau tahu sekali caranya bersikap ramah ya kan? Seharusnya kugigit saja jarimu saat kau—"
"Karina? Kumohon." Seruan Jeno dengan efektif membungkam Karina. Sudah cukup perdebatan untuk hari ini. Dia menengahi kedua gadis itu. "Terima kasih, Aeri. Aku tidak tahu mengapa, tapi terima kasih."
Sebelah tangan Aeri terangkat. "Jangan. Aku tidak butuh itu. Pastikan saja ini tidak terjadi lagi, atau jika terjadi lagi, setidaknya jangan libatkan aku."
"Aku mengerti."
Mata keemasan Aeri memaku Jeno dalam pandangan sengit. Di mata itu, tuduhan terasah lebih tajam dari ujung anak panah. Aeri menggeleng, seolah berkata, tidak, kau tidak mengerti. Lalu meringkasnya dalam satu kata yang diucapkan seperti cara Taeyong mengucapkannya. "Benarkah?" Aeri lalu pergi tanpa pamit.
Dari balik bahu Jeno, Karina mengawasinya sambil berjinjit. "Siapa Nona Ramah itu? Temanmu? Dia penjaga juga? Aku tidak mengira ada penjaga perempuan!"
Mungkin ternyata Jeno tahu sedikit soal marah. Suaranya dingin ketika dia balik bertanya, "Mengapa kau kembali, Karina?"
"Aku lupa aku seharusnya memberimu teh, bukannya membawanya pulang. Tapi teh itu tidak ada lagi. Botolnya pecah. Tehnya tumpah."
"Kau seharusnya tidak kembali."
Kegugupan terpancar dari gerakan Karina yang menggeser kepangan rambutnya yang sudah berada di posisi yang pas. "Jeno, ada apa? Kau membuatku takut."
"Tidak. Bukan kau. Itu aku."
"Kau?"
"Ya, karena aku nyaris kehilanganmu!" Sekarang Jeno berteriak. Tak terkendali. Kalau kakaknya mengendus persahabatan aneh ini, kakaknya akan lebih dulu bertindak ketimbang bertanya. Karina bisa saja tewas—dan gadis ini sama sekali tidak tahu seberapa dekat dia dengan bahaya! Jeno geram—dan tidak terlalu jauh di lubuk hatinya, juga cemas.
Karina menelan ludah. "Apa ini tentang kakakmu? Nona Ramah itu menyebut-nyebut kakakmu. Tenang saja, Jeno, aku tidak mendengar apapun percakapan kalian."
"Bukan itu yang kukhawatirkan."
"Baiklah. Lalu apa?"
Frustrasi, Jeno menyugar rambutnya ke belakang. "Ingatkah kau saat aku berkata aku tidak suka rambut panjang? Aku tidak pernah mengungkapkan alasannya padamu."
"Tidak. Belum. Apakah alasannya kakakmu?"
Jeno membenarkan dengan anggukan. "Sebelum memotongnya, orang-orang bilang kami mirip. Aku tidak tahu bagaimana mereka beranggapan begitu. Itu mengganggu kakakku. Karena, Karina, kami berbeda dalam banyak hal. Kakakku tidak akan beramah tamah pada manusia."
Karina tertawa. "Apa? Dia anti manusia atau semacamnya?"
Jeno harus memegang dan mengguncang lengan Karina demi menegaskan betapa seriusnya dia. "Kalau kakakku bertemu manusia, bertemu denganmu, dia akan melakukan hal-hal yang ... Tidak terbayangkan olehmu. Aku tidak bercanda." Tawa Karina langsung padam. "Aku tahu itu kedengarannya buruk. Memang seburuk itulah keadaannya. Kakakku mengaggap peraturan adalah peraturan, dan sayangnya, salah satu peraturan berbunyi kami harus merahasiakan keberadaan kami dari manusia."
"Jadi saat kau bertemu denganku ...."
Di wajah Jeno, tergambar penderitaan. Dia pikir dia bisa menguranginya dengan menghindari Karina dan duduk di sebuah batu yang belum terkubur salju. "Jangan paksa aku menjawabnya. Kau tidak akan menyukainya."
Tangan Karina mengepal. "Aku memaksa."
"Aku mestinya membunuhmu." Jeno akhirnya mengakui. Tidak ada kebohongan. "Tapi tidak."
"Kenapa tidak?"
"Duduklah di sampingku."
"Kenapa tidak, Jeno?"
Kala itu, Karina telah mundur ke arah desanya. Sejarah terulang, kendati kali ini tidak ada hanbok kuning yang terlibat, dan hal itu menyakiti Jeno dengan intensitas yang tak disangka-sangka. Seperti apa Karina memandangnya kini? Seorang pembunuh terlatih? "Karina," panggil Jeno, "Aku tidak akan pernah menyakitimu." Dia mengatakannya dengan kesungguhan yang mengubah kata-kata itu menjadi sumpah.
Karina, yang barangkali manusia paling tidak peka di abad ke-18 pun merasakannya. Karina duduk dengan takut-takut, tidak persis di samping Jeno. Ada jarak lebih lebar yang tercipta dibandingkan sore tadi. "Nah?"
Kaki Jeno menendang sebongkah salju dengan sepatunya. "Aku dan kakakku selalu sangat berbeda. Mungkin itu jawaban atas pertanyaannmu. Kami berbeda. Sesederhana itu. Dia kebanggan orang tua kami. Aku bukan. Dia cemerlang pada setiap hal yang dia kerjakan. Aku tidak. Bahkan Sang Ratu mengasihinya—dan itu berarti banyak."
"Kalian juga punya ratu?"
"Ya. Hanya ratu."
"Di tempatku, hanya orang-orang tertentu yang bisa menjumpai ratu. Kakakmu pasti orang yang istimewa."
"Dia sempurna," komentar Jeno. "Pernahkah kau mengenal seseorang yang amat berbakat, amat hebat, amat ... Mengesankan, tanpa dia harus berusaha terlalu keras? Kakakku adalah sosok itu. Dia tahu pasti harus mengatakan atau bertindak apa di setiap situasi. Saat dia bicara, orang lain mendengarkan. Saat dia memerintah, mereka menurutinya. Baginya, menjadi sempurna adalah sesuatu yang alamiah."
"Dan menurutmu kau tidak?"
Jeno meralat. "Bukan menurutku; semua orang bisa melihatnya. Aku adalah nomor dua. Aku bayangannya. Sinar kakakku terlalu terang hingga aku tidak terlihat."
"Bagaimana dengan orang tuamu?"
"Sejak aku masih kecil, aku mencoba mengikuti jejak kakakku dan gagal." Jeno menoleh. "Mereka pandai berpura-pura itu tidak mengecewakan."
Sejenak keduanya duduk dalam keheningan, menyimak suara-suara hewan di hutan dan desis lembut salju yang gugur. Selendang Karina teronggok rapi di sebelah Jeno, sabar menunggu pemiliknya merespons, yang baru terjadi kira-kira semenit kemudian. "Itu payah sekali. Setelah kurenungkan, jadi anak tunggal ternyata tidak buruk."
Senyum kecil Jeno terlihat sendu. "Apa ceritamu?"
"Oh, tidak sedramatis ceritamu. Ayahku bekerja di peternakan. Ibuku mengurus rumah. Mereka sudah tua, tapi tak pernah terlalu tua untuk mengomeliku kalau aku pulang terlambat."
"Contohnya sekarang?"
"Ya. Aku yakin mereka sedang menungguku di ambang pintu dengan sebuah sapu."
Maka Jeno berdiri, membantu Karina, dan menepis salju di rambut gadis itu. Karina tidak mengelak. Itu melegakan. Jeno mendapati perasaannya lebih ringan. "Mau—maukah kau datang lagi besok?"
"Tentu. Aku akan lebih hati-hati. Aku janji."
Senyum Jeno mengembang lebih lebar. "Kurasa itu sulit bagimu."
"Jeno, kau—" Karina mengulurkan tangan seolah hendak menjewer Jeno. Namun tangannya malah mendarat di masing-masing pipi Jeno, dan Karina tiba-tiba lupa perihal menjaga jarak. Uap napasnya tertiup mengenai wajah Jeno, bersatu dengan napasnya sendiri. "—dasar kurang ajar."
"Karina ...." Tangan Jeno terkulai di kedua sisi tubuhnya, tak tahu harus tetap di sana atau menjauhkan Karina. Apakah dia mau Karina menjauh? Dia tidak tahu. Jeno benar-benar tidak tahu.
Jari telunjuk Karina turun mengelus garis rahang Jeno. "Tidak apa-apa, Jeno. Tidak apa-apa. Aku menyukaimu yang seperti ini. Kau tidak harus menjadi sempurna."
Itu merupakan tembok terakhir pertahanan Jeno. Tepat di situ, di titik itu. Karina menekan di titik yang tepat, nyaris seakan Karina mengintip benak Jeno dan mencari tahu apa yang ingin didengarnya. Jeno melingkarkan tangannya di pinggang mungil Karina dan menutup jarak di antara mereka. Bibirnya terbuka, dan Karina menyambutnya. Dia tidak tahu apakah karena Karina manusia atau karena Karina adalah Karina, tapi kecupan itu terasa nyaman. Hangat. Menyenangkan. Mereka mengawali dengan pelan, layaknya melangkah di atas sebongkah es yang rapuh, tidak tergesa-gesa. Sungai Edra mungkin membeku. Namun mereka tenggelam dalam jalinan rumit rasa suka, tertarik, penasaran, dan khusus Jeno, kerinduan akan seseorang yang melihatnya sebagai dirinya sendiri. Jeno menemukannya.
Kepala Jeno dimiringkan, mencari lebih banyak. Dia tidak puas, jadi dia menggunakan lidahnya. Matanya terbuka sedikit lebih lama hanya untuk menyimpan gambaran Karina yang tak pernah secantik itu—bulu matanya yang panjang, ujung hidungnya yang beradu dengan hidung Jeno, pipinya yang memerah gara-gara udara dingin—sebelum terpejam, sebab keindahan seperti ini tak cukup sekadar dilihat; itu harus dirasakan sepenuhnya.
Entah sejak kapan, tangan Karina naik dan menarik rambut Jeno. Sementara tangannya yang lain menetap di dadanya, tempat Jeno yakin Karina bisa mendeteksi jantungnya yang berdebar kencang. Jeno jadi ingin bertanya, kau dengar? Kau dengar? Ini bukan permainan bagiku. Ketika gerakan mereka menjadi semakin intens, kakaknya terlupakan dan Jeno tersenyum tulus. Sensasi seperti pulang ke rumah menerpanya.
Mereka berciuman setelah Karina membohongi Jeno untuk keempat kalinya.
Adegah kisseu ini disponsori oleh lagu Enhypen - Sacrifice. Sangat mendukung suasana mweheheh 🌚
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top