07. Dalam Membela Dirimu

SEBELUMNYA.

Musim dingin ketika Jeno mengenal Karina adalah musim dingin yang ganas. Pada minggu pertama saja, salju langsung turun dengan deras seolah langit terkoyak, tanpa henti, pada siang yang suram atau malam yang kini jadi lebih panjang. Tanah bak berhenti bernapas di bawah tumpukan salju tebal, yang otomatis mengubah tampilan hutan. Jika sebelumnya hutan didominasi warna hijau, sekarang sejauh mata memandang Jeno hanya bisa melihat batang-batang cokelat pepohonan, hamparan salju putih, dan lebih banyak hamparan salju putih. Musim dingin selalu berkunjung dengan kekuatan dahsyat untuk merombak dunia.

Sungai Edra tidak kebal dari dampaknya. Sungai itu membeku, permukaannya tertutup lapisan es yang mengeluarkan suara memuaskan saat dipecahkan dengan batu, hanya untuk terbentuk lagi dalam hitungan jam一mungkin malah lebih singkat. Tak ada keuntungan apa-apa yang diperoleh Jeno dari melakukannya, selain membunuh waktu dalam kebosanan. Musuh terbesar Jeno, kebosanan. Tidak jelas mana yang lebih tidak disukainya di antara kebosanan dan dibuat menunggu lama.

Namun selang beberapa detik kemudian, apa一siapa一yang ditunggunya datang, dan kebosanan Jeno menguap seketika. Orang itu datang dengan keributan khas yang selalu menandai kemunculannya, entah karena tersandung, tak sengaja menendang/menginjak sesuatu, atau seperti yang terjadi kali ini, terpeleset dan jatuh terjerembap. Jeno tak bisa menahan tawa. Bukan Karina namanya kalau tidak gegabah.

"Kau baik-baik saja?"

Gadis itu malah memekik. "Tehku!"

"Aman." Jeno mengabarkan, mengangkat sebuah botol kaca berukuran sedang yang untungnya tidak pecah.

Karina tersenyum jenaka. Alis dan bagian depan rambutnya dihiasi salju yang cepat-cepat ditepisnya. "Hai, Jeno. Lama menunggu?"

Sambil berdecak, Jeno menolongnya bangun. "Bisakah untuk sehari saja kau tidak bersikap ceroboh?"

"Huh, jangan mengomel. Hari ini sudah cukup buruk tanpa omelanmu."

"Apa terjadi sesuatu?"

"Kau bercanda? Selalu terjadi sesuatu di desa!" seru Karina heboh, mulai berceloteh dengan kecepatan yang mengagumkan. Tangannya ikut bekerja, menuang teh hangat dan membaginya ke dalam dua gelas kecil yang juga dibawanya. "Bila dilihat dari jauh, desaku memang terkesan tenang, tapi biar kuberitahu, ya, kami sebenarnya menyimpan banyak rahasia. Sebagian besar bisa kau temukan di restoran yang menjual alkohol, walaupun yang kubawa ini bukan alkohol. Hanya teh. Kau bisa minum teh?"

Bila pertama kalinya Jeno ragu, kini dia menganggap mencicipi makanan atau minuman dari Karina sebagai semacam permainan, untuk mencari adakah yang dia sukai atau tidak. Setelah beberapa kali pertemuan, dia mendapati dirinya masih terpesona pada songpyeon. Mandu lumayan. Jorim enak. Sedangkan arak beras tidak terlalu ramah pada perutnya. Semua pertemuan itu terjadi di tepi sungai Edra, pada sore hari yang berakhir di kala senja, yang selalu disahkan dengan janji yang sama; sampai jumpa besok!

"Tentu. Aku kenal teh, Karina."

"Yah, yang ini berbeda. Itu teh kamomil. Teh yang konon cocok untuk mereka yang sulit tidur. Seperti aku."

"Mengapa kau sulit tidur?"

Karina mengibaskan tangannya, dan agak terlambat, Jeno menyadari bagian samping tangan kiri gadis itu terluka. "Tidak penting. Pekerjaanku hanya menjadi semakin berat akhir-akhir ini. Mengetahui sesuatu harus dilakukan ternyata tetap saja tidak mengurangi bebannya."

Terkejut, Jeno meletakkan gelas tehnya. "Apa ini? Dari mana kau mendapatkan luka ini?"

"Hasil dari memotong ayam yang jadi berantakan?"

Luka itu berupa goresan memanjang yang terbuka cukup lebar, dari pangkal jari jempol Karina hingga ke batas pergelangan tangannya, kentara sekali berasal dari benda tajam. Dikelilingi luka-luka kecil lain yang lebih lama. Seperti yang akan didapat dalam latihan keras jarak dekat. Atau kerja yang berat. Bukan seperti luka yang lazim ada pada pelayan restoran. Namun tahu apa Jeno tentang pekerjaan manusia? Jeno menelusurinya seakan itu peta, berharap sekali ini saja dia punya bakat penyembuhan. "Mestinya kau lebih berhati-hati."

Sayangnya dia tidak punya.

Dan di telinganya dia mendengar gaung suara kakaknya yang diiringi tawa yang kadang lebih buruk dari ucapannya, kalau kau tidak berkontribusi bagi bangsamu, kalau kau tidak berguna bagi orang lain, kau gagal, Jeno.

"Hei, ini luka kecil," sergah Karina. "Nanti juga sembuh sendiri, tapi Jeno ...." Gadis itu berkedip. Satu. Dua kali. Lalu balik meraba tangan Jeno. "Kenapa tanganmu hangat sekali? Kau tidak kedinginan?"

Saat itu cuacanya dingin menggigit. Bersama salju, berembuslah angin yang membekukan tulang. Jeno merasakannya, namun tidak terpengaruh. Dia masih mengenakan pakaiannya yang biasa: sebuah tunik polos lengan panjang dengan tali tipis di bagian dada, dipadukan celana berwarna serupa yang memungkinkannya bergerak tangkas. Baginya itu cukup, dia tidak membutuhkan pakaian tambahan. "Tidak," jawab Jeno. "Aku baik-baik saja."

Karina yang mengenakan berlapis-lapis pakaian bersama selendang biru yang melilit lehernya cemberut. "Ini pasti keistimewaan lain dari roh hutan."

Jeno tersenyum misterius.

"Aku sekarang sering lupa kau bukan manusia. Kau tampak ... Sangat mirip denganku. Kalau mau, mudah bagimu menyusup ke desa. Yang kau perlukan adalah pakaian tradisional Korea dan sedikit memanjangkan rambut ...."

Kerut-kerut halus terbentuk di dahi Jeno. "Aku tidak suka."

"Apa?"

Jeno menjepit sebagian kecil rambut depannya dengan dua jari dan menariknya menutupi mata, dan hanya sampai di situ saja. Sudah lama rambutnya sependek itu. "Rambut panjang. Aku tidak suka. Itu agak merepotkan bukan?" Dia tertawa kikuk, mengatur rambutnya ke posisi semula. "Lagipula apa yang akan aku lakukan di tempatmu? Apa yang bisa kulakukan?"

"Oh, banyak hal. Menjadi manusia memang menyebalkan, tapi juga mengasyikkan. Kau bisa main layang-layang denganku di alun-alun desa. Aku juga akan mengajarimu cara bermain gonggi. Selain itu kau bisa pergi ke pasar melihat-lihat atau membeli berbagai perhiasan."

"Apa lagi?" Seumur hidupnya, Jeno hampir tidak punya pilihan. Sejak dia cukup dewasa untuk memahami apa yang orang lain harapkan darinya, tak pernah sekalipun Jeno membuat pilihan tanpa mempertimbangkan bagaimana reaksi orang lain dan terutama, pendapat kakaknya. Gagasan tentang hidup sebagai orang yang sama sekali berbeda memesona Jeno. Dia tersenyum, tertular antusiasme Karina.

Karina mulai berhitung. "Kau bisa menjalani ujian negara. Kau bisa memilih topi yang sesuai untukmu一taruhan, kau akan terlihat lebih tampan dengan topi. Yang tak kalah asyik, kau bisa menonton rombongan teater jika mereka melintasi desa. Dan yang pasti, kau bisa bekerja denganku."

"Yang terakhir kedengaran paling menarik," goda Jeno.

Alis Karina dinaikkan. Matanya dibuat melotot. Dan dia menunjuk jantung Jeno. "Aduh, aduh, lambatnya! Bisa tidak kau bekerja lebih cepat? Para pelanggan kelaparan, dasar pemalas!"

Ada tawa yang menyebar di hutan yang sepi itu, terbungkus keceriaan dan dusta semanis racun, dua yang menjadi satu.

"Apa bibi pemilik restoran masih sering memarahimu?"

"Begitulah," balas Karina lesu. "Belakangan dia justru semakin parah karena rematiknya. Dia membuka restoran lebih awal lalu mengomel sebab menurutnya aku terlambat. Dia tidak puas pada caraku memotong ayam. Pokoknya, dia marah pada segala sesuatu yang ada di sekitarnya."

"Kecuali pelanggan kan?" Konsep mengenai jual-beli terbilang asing di mata Jeno. Uang justru lebih aneh lagi. Ketika suatu hari Karina datang dan menunjukkan beberapa keping uang logam padanya, Jeno tak menemukan alasan mengapa uang dianggap istimewa.

Karina terkekeh. "Tidak berlaku bagi pelanggan pembuat onar. Kemarin saja bibi mengusir pelanggan yang mabuk berat dan menggulingkan meja, serta nyaris memukul seorang pelayan."

"Apa dia memukulnya?" tanya Jeno, benar-benar terkejut.

"Tidak. Syukurlah. Pelanggan lain menghentikannya dan dia ditendang setelah mengeluarkan koleksi sumpah serapahnya一yang omong-omong tidak layak didengar, jadi aku tidak akan mengulanginya."

Memukul seseorang yang tidak kau kenal tanpa alasan. Nah. Jeno menggeleng tak habis pikir. Tambahkan itu pada daftar tindak-tanduk manusia yang tidak dia mengerti. Jeno ingin berkata betapa manusia adalah makhluk yang aneh. Namun menggantinya dengan menyarankan, "Itu artinya kau dan teman-teman pelayanmu harus belajar cara untuk membela diri kalian."

"Membela diri?"

Sorot mata Jeno serius saat dia berpaling menghadap teman manusianya. "Karina, kau tidak bisa terus-menerus menunggu orang lain menyelamatkanmu tiap kali itu terjadi. Kau harus melawan."

"Aku? Melawan?" Karina melontarkan kepalanya ke belakang dan tertawa一lantang dan lama. "Jeno, aku tidak tahu caranya. Jangan bercanda! Kenapa pula kau berpikir aku bisa melawan pria mabuk atau siapapun? Dimarahi bibi pemilik restoran saja aku menciut!"

"Kau bisa belajar beladiri," ujar Jeno yakin.

"Aku khawatir aku tidak bisa."

"Sekarang aku bertanya-tanya apa alasannya."

Jeda sejenak, Karina mengisi lagi gelasnya dan menghabiskan tehnya dalam sekali tegukan. Senyumnya masam. "Sepertinya roh hutan wanita dianugerahi lebih banyak kebebasan daripada kami, apa aku benar? Jeno, aku tidak tahu cara mengatakannya dengan sederhana, tapi kami manusia hidup dalam tatanan yang sangat kaku. Para pria pergi bekerja. Wanita bertugas di dapur. Itu aturan tidak tertulis yang seolah terpatri di kepala kami sejak kami lahir. Itu, Tuan Mata Hijau, adalah garis batas yang tidak dapat aku seberangi."

Rupanya Jeno memiliki pendapat lain. "Itu hal paling tidak masuk akal yang pernah kau katakan. Siapa yang boleh menentukan pembagian peran seperti itu? Siapa yang berhak mencegah orang lain meningkatkan diri mereka demi tujuan yang baik? Apa raja dan ratu di tempatmu?"

"Ya. Bukan. Entahlah." Karina menghela napas. "Tidak harus masuk akal bagimu. Begitulah adanya. Intinya kalau aku berkata aku ingin belajar beladiri, orang-orang pasti akan tertawa dan membalas mengajari perempuan beladiri sama saja dengan berusaha memasak memakai kayu bakar yang basah."

"Tidak berguna."

"Tepat sekali."

Seandainya Aeri mendengar aturan konyol itu, Aeri akan tertawa dan memberikan reaksi yang pantas. Aeri bahkan tidak akan mempercayainya. Tetapi membayangkan Aeri dan Karina berbagi cerita sama percuma dengan memasak memakai kayu bakar yang basah. Aeri tidak mau berurusan dengan manusia. Titik. Meski kini rekannya itu telah berhenti memperlakukan Jeno seakan Jeno tidak ada, antipatinya terhadap manusia tidak berkurang. Mereka hanya mencapai kesepakatan untuk berpura-pura menganggap Jeno sekadar duduk-duduk menikmati pemandangan setiap kali dia pergi ke sungai Edra.

Jeno tak bisa meminta lebih banyak.

Karina, yang bagi Aeri sama nyatanya dengan hantu, duduk termenung di sebelah Jeno bagai sebongkah patung es, sampai tiba waktunya gadis itu menepuk-nepuk roknya一gerakan yang selalu Jeno kaitkan dengan perpisahan. Jeno yang paham bangun dan membantu Karina. Satu yang berbeda kali ini, Karina melepas selendangnya dan memasangkan selendang itu di leher Jeno.

"Karina?"

"Untuk jaga-jaga kalau kau kedinginan."

"Oh, tidak perlu. Kurasa kau yang lebih一"

Apa yang diperbuat Karina selanjutnya sungguh di luar dugaan Jeno. Dengan menarik kedua ujung selendang, Karina memaksa Jeno maju dan membungkuk sampai mereka hampir bertabrakan, dan dengan cepat mengecup bagian atas pipi kanan Jeno, persis di bawah matanya. "Uh, maaf ...."

Gantian Jeno yang membeku, mendadak lupa caranya berbicara.

Dari pupil Jeno, refleksi Karina tampak tersipu-sipu. "Hanya saja ...." Dia memberi isyarat pada tahi lalat Jeno. "Kita sama, walaupun punyaku ada di dagu. Aku suka punyamu. Saat kau masih bayi, bintang jatuh pasti mendarat di pipimu."

Lantas gadis yang mengaku tidak bisa beladiri itu balik kanan dan berlari sebelum Jeno berhasil menjawab. Sekuntum bunga pansy yang masih bertahan di musim dingin yang keras itu menjadi saksi bagaimana Karina membohongi Jeno untuk ketiga kalinya.

Ini cerita romance, sumpah, cuma nggak manis aja ... kurang leminerale 👁️👄👁️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top