06. Pekerjaanku
"Dulu aku bekerja di sini."
Orang yang diajak bicara diam saja.
"Kau tidak percaya?"
"Mengapa aku harus mempercayaimu sekarang, Karina?"
Yoo Jimin berjalan mengitari sel sempit di hadapannya, sembari menyapukan jemari di sela-sela batang besi yang menancap kuat ke tanah. Tiap batang besinya yang tebal diatur dalam jarak rapat yang akan menyulitkan siapapun untuk sekadar meloloskan tangan, terlebih dipanjat atau didobrak. Kuncinya hanya satu, dan sang pemegang kunci tidak pernah dekat-dekat dengan si tahanan. Lebih tepatnya, Sungchan tidak mau. Jimin menghentikan langkahnya. "Karena itu benar."
Si tahanan, Jeno, duduk dan menunduk. "Untuk sekali ini?"
Jimin tersenyum samar. "Kau pasti sudah mengenal Sungchan; keluarganya adalah pemilik peternakan terbesar di desa ini, berikut kandang ayam yang kini kau huni. Setiap pagi aku bertugas memberi makan ayam-ayam dan mengumpulkan telur mereka, sekaligus bersih-bersih. Aku juga melayani pengiriman ke restoran yang memesan. Mereka akan memberiku tambahan uang kalau aku mau memotong-motong ayamnya. Pekerjaan yang kotor memang. Begitulah caraku bertahan hidup selama ini."
Tak ada setitik pun jejak keceriaan dalam senyum balasan Jeno. "Kekasihku, celakaku, kau terbiasa berbohong bahkan untuk hal-hal yang tidak diperlukan."
"Mungkin karena terkadang itu lebih mudah?" Jimin mengangguk sendiri. "Jika kubilang aku membunuh hewan supaya bisa makan, kau pasti mengira aku terbiasa pada kekerasan, padahal aku ingin kau melihatku sebagai gadis yang polos. Gadis yang tidak berbahaya. Itu sebabnya setiap kali kita bertemu aku selalu mandi, memastikan bagian bawah kukuku bersih dari darah. Sedikit merepotkan, tapi denganmu, aku lebih suka bermain aman."
Dengan lelah Jeno bersandar di bagian sel yang terbuat dari kayu. Matanya hanya separuh terbuka. Rantai besi yang pernah diikatkan di pergelangan tangannya meninggalkan bekas terbakar di sana yang tak hilang kendati rantai itu telah dilepaskan. "Aku pasti mangsa yang membosankan bagimu. Singa betina¹ pun barangkali akan kecewa jika buruannya tertangkap terlalu mudah."
"Sejujurnya kau tidak semudah itu."
"Sejujurnya aku muak mendengarmu berkata sejujurnya, Karina."
"Bagaimana jika kubilang aku menerima pesan dari Aeri siang ini? Apa itu bisa menghiburmu?"
Kepala Jeno otomatis mendongak.
Sengaja, Jimin berjongkok di sudut yang akan memudahkan mereka bertatapan. Dia merogoh saku di lipatan rok hanbok-nya yang dimodifikasi², mengeluarkan sebutir apel. Di depan wajah Jeno, dia membelah apel jadi dua memakai belati pemuda itu, dan menyelipkannya ke dalam sel. "Kalau kau mau tahu, makanlah dulu."
"Apa pedulimu kalau aku mati kelaparan?"
"Aku peduli padamu一entah kau percaya atau tidak. Dan aku harus menemui Aeri dalam setengah jam. Jadi, makanlah. Kau suka apel kan?"
Bahasa tubuh Jeno tidak menunjukkan ketertarikan lebih lanjut atau penolakan; dia menjadi sediam batu-batu di dasar sungai Edra.
Jimin mendorong potongan apel lebih jauh sebisanya. "Semakin lama kau menahanku di sini, semakin besar kecemasan yang dirasakan Aeri. Aku tidak masalah membuatnya menunggu, tapi mungkin dia akan bertanya-tanya apa aku sudah membunuhmu. Itukah yang kau inginkan, Jeno?"
Akhirnya Jeno bergeser mendekat, yang tidak sulit dilakukan sebab sel itu tidak menyediakan cukup ruang baginya untuk menjulurkan kaki. Dia mengambil sepotong apel dengan tangan yang satu kukunya patah. Namun alih-alih langsung melahapnya, dia menyempatkan diri tertawa. "Kita benar-benar kacau sekarang, bukan? Kau dan aku, bagaimana kita bisa jadi sebegitu tersesat, Karina?"
"Jeno, Jeno." Jimin berdecak. "'Kita' yang kau bicarakan tak lebih dari ilusi yang kuciptakan dan kau percayai sepenuhnya. Sejak awal tak ada 'kita'一atau masa depan bagi manusia dan makhluk sepertimu."
"Manusia yang tidak mengenal dirinya sendiri dan makhluk bertelinga runcing yang terlalu mudah jatuh cinta." Jeno mengoreksi.
Dagu Jimin terangkat. Tak kurang dari tiga batang besi memisahkan dia dari pemuda yang lebih sering duduk di sampingnya itu, ketimbang berhadap-hadapan dari depan. "Kaulah yang tidak mengenalku. Aku sangat mengenal diriku sendiri untuk melakukan ini"一dia memandang ke sekeliling一"dan mengingat mengapa aku melakukannya. Tujuanku, Jeno, yang pasti akan tercapai." Lalu dia melempar potongan kulit kiriman Aeri yang disimpannya di saku yang sama.
Jeno menggeleng, melirik sekilas pesan Aeri yang mendarat di kakinya. "Kalau begitu aku kasihan padamu. Aku memang terpenjara dan kau yang berada di sisi lain sel, lebih bebas, tapi bukan aku yang menanggung luka selama sembilan tahun dan menolak disembuhkan. Penjaramu, Karina, hanya tak terlihat."
"Kau salah," bantah Jimin, dengan apa yang, di telinganya sendiri terdengar seperti tekad yang dipaksakan. "Kau pernah salah menilaiku sekali, kali ini juga. Aku bukan tahanan. Tidak pernah."
"Benarkah?"
Jimin tidak menjawab. Dia berdiri, bersiap meninggalkan kandang dengan kepang rambut panjang yang berayun ke bahunya tepat sebelum一
"Karina?"
Panggilan Jeno menghentikannya. Dia seharusnya tidak berhenti. Dia sudah selesai menjadi Karina. Dia, demi segala jenis cinta, seharusnya tidak merespons panggilan yang tidak berhubungan dengannya. Namun Jimin bisa merasakan kakinya menolak bergerak seolah terpancang kuat ke lantai.
Jeno mengamati punggung Jimin yang terlalu jauh untuk dia gapai. "Saat kau mulai menggali, kau tidak bisa berharap akan selalu memperoleh emas. Itu pepatah terkenal di kalangan bangsaku."
Angin dari celah pintu kandang meniup bagian bawah rok Jimin. Dia menunduk, dan saat itu bayangan pria lain, yang lebih tua, menyusup ke benaknya. Pria yang membuatnya mengerti bahwa kata 'aman' bisa berarti pelukan dan kecupan di puncak kepalanya. Pria yang dengan sepasang lengan kuatnya bisa membuat Jimin terbang dan menangkapnya selagi dia tergelak. Betapa pas lekukan di bahunya sebagai tempat Jimin merebahkan kepala! Betapa suara dan tawanya begitu meneduhkan, seperti duduk bersandar di batang pohon rowan pada hari yang panas.
Kemudian di batang pohon rowan pula darahnya tumpah.
Jimin mencegah dirinya menoleh. "Aku tidak mencari emas; aku mencari pembalasan yang setimpal."
Pintu tertutup di belakang punggung kaku gadis itu, mengurung Jeno dalam jenis kegelapan yang tak dia sangka ada, yang saking pekatnya sampai merasuk ke dalam jiwa.
.
.
.
Yoo Jimin keluar dari kandang ayam dengan wajah datar.
Dalam sekian langkah dari sel Jeno ke pintu, dia selesai menata emosinya. Jimin bersandar di pintu, dengan wajah yang diselimuti bayang-bayang atap一gadis muda yang berpendapat emosi setara dengan sampah. Dia sudah belajar dari pengalaman bahwa emosi akan memperlambat seseorang. Bekerja keraslah, buang emosimu, dan kau akan terkejut pada apa yang bisa kau lakukan, misalnya menyiksa seorang pemuda yang seminggu lalu masih menganggapmu temannya一bahkan lebih.
Pemuda lain一manusia一yang sejuah ini belum dikhianatinya, menghampiri Jimin. "Kau tampak lelah."
"Aku tidak lelah."
"Baiklah, tidak," seru Sungchan, mengalah. Namun sembari terus mengamati wajah Jimin dan hendak menyentuh dahinya saat gadis itu menghindar.
"Hentikan. Aku mungkin sedikit lelah, kau puas?"
"Tidak. Aku baru akan puas kalau kau berkata, 'Kau saja yang pergi, Sungchan. Gantikan aku'. Sedangkan kau duduk manis di rumah. Bagaimana? Kita sepakat?"
"Dalam mimpimu, Tuan Muda."
Tanpa suara, Sungchan meminta dua pria yang telah disewanya mengawasi kandang ayam itu, dalam cara yang paling tidak mencolok. Setelah selesai, keduanya mulai berjalan menuju hutan, masing-masing dengan langkah kaki yang menginterpretasikan sesuatu yang berbeda; jejak kaki Jimin tercetak jelas di tanah, dia jenis wanita yang memilih pertempurannya dan berteked menang. Di lain pihak, Sungchan melangkah lebih lambat, secara tidak langsung meminta Jimin memelankan lajunya. Tetapi Jimin bersikukuh menjaga temponya sehingga memaksa Sungchan mengimbanginya atau tertinggal.
Begitulah Jimin: dia sulit dikejar.
Dari belakang, keduanya tampak seperti sepasang rumput liar yang tetap tegak tak terpengaruh angin malam, walaupun ketika Jimin memandang lurus ke depan, Sungchan justru sibuk menoleh ke kiri dan ke kanan. Tiada yang menyapa atau menanyai mereka macam-macam. Waktu dan rute yang mereka ambil memungkinkan mereka untuk mempertahankan keheningan. Hanya sesekali terdengar bunyi benturan perkakas dapur disertai asap yang mengepul, dari para ibu dan anak-anak perempuan yang menyiapkan makan malam一irama kehidupan pedesaan yang telah seumur hidup mereka kenal.
Maka Sungchan menyeletuk. "Kita belum makan malam."
Jimin meliriknya dari samping.
"Pulanglah untuk makan malam, dan untuk banyak hal lainnya."
"Sebutkan tiga alasan." Jimin menantang.
"Makan malam. Ayam-ayam. Dan ... Aku."
"Ayam-ayam?"
"Siapa tahu saja mereka merindukanmu, juga rumah lama mereka."
Jimin tertawa. Tiba-tiba dia teringat suatu hari dari musim panasnya yang kedelapan, ketika dia belajar mengendarai kuda一atau anak kuda. Pada masa itu, dia lebih bahagia, lebih bebas, dan lebih penakut dari sekarang. Mereka menculik seekor anak kuda dari istal keluarga Sungchan, yang berhasil meyakinkannya bahwa mengendalikan kuda itu perkara gampang. Naiklah, bujuk Sungchan, mengulurkan tangan, kuda ini jinak, dan aku tidak akan pernah melepaskanmu.
Sepulangnya dari pelajaran pribadi itu, Sungchan memperoleh jeweran dari ayahnya, dan Jimin mendapat pukulan di pantat dari sang ibu. Namun yang tidak diketahui oleh orang-orang dewasa itu adalah, Jimin sebenarnya mempelajari dua hal; cara menunggang kuda, dan bahwa Sungchan selalu menepati janjinya. Dia masih tertawa. "Itu lebih dari cukup, kurasa aku tidak akan tinggal lama di hutan."
"Jangan terlalu lama." Sungchan berpesan, gagal menyamarkan kekhawatirannya. Di perbatasan desa, dengan keselarasan yang jarang terjadi mereka kompak berhenti, bagai dua prajurit yang berada di zona gencatan senjata一dan Jimin berniat mengacaukan keseimbangan yang sudah rapuh itu.
Tepat di sebelah kanan Jimin, berdiri sebatang pohon yang di batangnya terdapat lubang yang nyaris tembus dari kedua sisi. Penduduk desa berani bersumpah lubang itu tidak ada seminggu sebelumnya. Jimin dan Sungchan bisa memecahkan misteri itu, tapi tak ada yang lebih tahu detailnya ketimbang gadis lain yang tinggal di hutan, Aeri.
Seolah terhipnotis, Sungchan kesulitan mengalihkan pandangannya, sedangkan Jimin bersikap tidak peduli. "Aku pergi."
"Tunggu." Sungchan buru-buru menghentikannya. Pemuda itu meraih tangan Jimin dan meletakkan sesuatu di sana. "Bawa ini."
"Apa一binyeo?" Satu alis Jimin terangkat, heran. "Apakah ini cara baru melamar seseorang?"
Sungchan mengiakan, lalu menggeleng. Hadiah itu memang sebuah binyeo, tusuk konde khas Korea yang terbuat dari perak, dengan kepala berbentuk sepasang bunga kembar yang lima kelopaknya cenderung melengkung ke bawah, berwarna merah一sama seperti pipi Sungchan yang merona, sebab binyeo umumnya dipakai oleh wanita yang sudah menikah! "Jangan konyol. Kau pikir aku akan memberimu hadiah yang tidak bermanfaat? Perhatikan ujungnya. Aku minta dibuatkan binyeo yang setajam pisau daging."
"Menurutmu aku akan membutuhkannya saat terdesak?"
"Aku berharap kau tidak akan pernah berada dalam situasi terdesak, Jimin. Tapi jika iya, kau tahu apa yang harus kau lakukan."
Tanpa disuruh, Jimin menggulung kepang rambutnya dan menyematkan binyeo itu sebagai hiasan, mempertegas garis lehernya yang indah. "Aku bisa mengetes apakah binyeo ini cukup tajam untuk menusuk kulit mereka."
"Benar sekali." Sungchan setuju. Matanya berbinar-binar, dan di dalam mata itu, tak salah lagi, terpancar kekaguman. "Sangat cocok. Sudah kuduga. Aku sengaja memilih bunga gladiol karena bentuknya yang menonjol, seperti pedang."
"Bunga pedang?"
"Ya, bunga pedang yang melambangkan integritas, kekuatan, dan ... Kemenangan." Lagi, Sungchan tergagap, memberi jeda di antara kalimatnya. Dia menyentuh pipi Jimin, membelainya selembut orang lain memperlakukan perhiasan kesayangan mereka. "Itu doaku untukmu. Kemenangan. Bawalah, Jimin, bawalah agar kau ingat bahwa meski aku tidak bersamamu, doaku akan selalu menyertaimu."
¹ = Di alam liar, singa betina adalah pencari nafkah/makan ya bundz ᕙ(@°▽°@)ᕗ
² = hanbok aslinya nggak punya saku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top