02. Karina: Aku
Gadis itu lahir dan besar di sebuah desa di Utara, bukan dunia mimpi tempat kau menganggap semua orang berhati baik.
Tempatnya terpencil, sangat sederhana. Bahkan mungkin tidak tercantum dalam sebagian besar peta. Penduduknya tidak terkenal karena keahlian yang mencolok. Tidak ada petani persik jempolan atau peternak bebek yang dagingnya berkualitas tinggi. Di sini, mereka memang bertani dan beternak, tapi hasilnya hanya cukup untuk menyuapi mulut mereka dan dijual pada tetangga. Lahannya terbatas. Orang-orang juga bisa sangat menahan diri jika itu yang mereka inginkan. Kalau kebetulan cuaca buruk dan hasil panen tidak bagus, mereka terpaksa harus melakukan transaksi di desa sebelah yang jaraknya beberapa hari perjalanan.
Sebab tidak ada yang mau mengambil apapun dari hutan terkutuk.
Ada banyak nama untuk menyebut hutan itu; hutan terkutuk, hutan para iblis, hutan kematian. Nama aslinya sudah lama terlupakan. Gadis itu paling suka yang pertama, kendati menurutnya yang paling tepat adalah sarang monster. Konon, siapapun yang masuk ke sana takkan bisa pulang. Mereka yang pulang takkan pernah jadi orang yang sama. Kabutnya dapat membutakan penglihatanmu. Hewan buas di sana akan menjadikan ususmu kalung baru atau kudapan. Seorang tukang tenung berusia ratusan tahun juga dipercaya bermukim di dalamnya.
Gadis itu meninggalkan keranjang kayunya di perbatasan desa, agak tersembunyi di antara timbunan dedaunan. Bila beruntung, keranjang itu tidak akan kemana-mana. Bila tidak ... yah, berarti ada seseorang yang memperoleh tambahan uang atau memanaskan perapian. Dia tidak peduli: keranjang itu rusak. Keranjang itu juga sudah melaksanakan tugasnya.
Setelah sekali lagi berusaha membersihkan hanbok-nya一dan sia-sia一serta merapikan pita rambutnya, dia memasuki desa sambil menundukkan kepala. Benaknya terus berputar. Hutan terkutuk? Omong kosong. Yang ada hanya makhluk-makhluk bertelinga runcing sialan itu! Merekalah monsternya. Orang-orang aneh yang mengira boleh memberi harga pada nyawa manusia一lalu menghargainya sangat murah. Gadis itu mengatupkan mulutnya. Omong kosong. Dia tahu apa yang bersembunyi di antara kerimbunan pepohonan hutan itu.
Tak sedikit yang menyapanya ketika dia melintas. Kaum wanita menanyakan kondisi pakaiannya, yang dia jawab dengan sejumput kebenaran一aku terjatuh, ceroboh, seperti biasa一kaum laki-laki bermain mata. Gadis itu menanggapi seperlunya. Pada masa itu, gadis-gadis diharapkan bersikap patuh dan rendah hati. Tunduk saja. Jangan berlagak. Dia tidak suka keduanya. Namun dia bisa berpura-pura. Gadis itu tersenyum pada mereka, menawarkan senyumnya seperti gula-gula, selalu memiringkan kepala pada sudut yang pas yang akan membuat banyak hati berdebar-debar. Sebenarnya, dia sangat pandai berpura-pura.
Di dekat pasar, gadis itu berbelok ke sebuah gang kecil, dan bergegas menghampiri sebuah rumah yang dibangun berjarak dari rumah lain. Seperti gigi susu pertama seorang anak yang tumbuh一tak ada apapun di sekelilingnya selain tanah yang bertonjolan tidak rata, akibat gerobak atau kereta kuda. Bulan bersinar lemah, menyiram gadis itu dengan cahaya keperakan. Di depan, rumahnya bersinar dengan jenis cahaya yang berbeda.
Dengan tenang dia meletakkan alas kakinya di bawah undakan teras, bersanding dengan sepasang alas kaki lain yang lebih besar. Dia membuka pintu dan masuk.
"Dari mana saja?" Sebuah suara ramah seorang pemuda menyapa.
Gadis itu berbalik. Sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas. Di zamannya, laki-laki dan perempuan yang belum menikah tidak lazim ditemui berduaan di tempat sepi, terlebih di rumah yang pintunya tertutup rapat. Namun dia melenggang santai di sekitar pemuda itu. Sambil lalu, dia melepas bagian atas pakaiannya saat menuju ke kamar. "Kau kembali lebih cepat dari dugaanku. Kuharap itu bukan tanda kegagalan?"
Pemuda yang duduk menghadap meja dengan dua gelas teh dan teko itu berpaling. "Seperti biasa," keluhnya, "Kepercayaanmu padaku selalu membuatku terharu."
Gadis itu tertawa terbahak-bahak.
Si pemuda mendapati dirinya menyambar tawa itu bagai ikan melahap umpan, dan senyumnya sendiri mengembang. Dia menuang teh ke gelas kedua, lalu, ketika si pemilik rumah keluar lagi dengan pakaian yang lebih bersih, menyerahkannya pada gadis itu yang selama ini dikenal sebagai teman masa kecilnya.
Mata pemuda itu memindai temannya seksama. "Kau ke hutan lagi." Itu bukan tuduhan; pemuda itu sekadar menyampaikan observasinya.
Tak langsung menjawab, gadis itu menyesap tehnya perlahan. "Dan kau menggerutu lagi, Sungchan. Hentikan."
Jung Sungchan menghela napas. Di usia 17 tahun, dia adalah pemuda jangkung yang sering sekepala lebih tinggi dari pemuda lain di usia yang sama. Status keluarganya yang berada tercermin melalui pakaiannya yang mengilap, tak pernah terlalu besar atau terlalu kecil, senantiasa sempurna melekat di tubuhnya yang dikaruniai dada bidang dan kaki yang panjang. Sungchan seharusnya sudah menikah. Alih-alih menciptakan rumor-rumor aneh, dia mestinya sudah berkeluarga dan meneruskan marganya pada seorang anak.
Dan mengapa tidak? Wajah Sungchan bukannya tidak sedap dipandang. Dia bermata lebar dan bulat一mata rusa, gadis itu menyebutnya. Hidungnya tegak dengan bentuk seperti yang akan dimiliki para bangsawan, didukung sepasang bibir yang lekuknya indah. Tidak ada masalah; dia hanya tidak ingin menikah. Ibunya khawatir. Keluarganya yang lain menebak-nebak (dan menyodorkan gadis-gadis lajang layaknya kue padanya). Para tetangga bergosip. Dia tidak peduli. Dia senang membuat mereka bertanya-tanya.
Kali ini, jauh dari pernikahan, Sungchan berpikir betapa seseorang bisa jadi sangat keras kepala. Kau tak bisa mengubah mereka. "Aku hanya cemas. Ini bukan waktu yang tepat一belum."
"Waktu yang tepat tidak akan datang kalau kita hanya menunggu." Gadis itu mengangkat bahu. "Dan aku sudah menunggu sembilan tahun."
"Kalau begitu aku membawa berita buruk untukmu: kau harus menunggu cukup lama sampai pesananmu siap."
"Berapa lama?"
"Dua pekan? Sekitar itulah. Itu termasuk cepat untuk pesanan 100 anak panah berujung besi murni dan senjata lainnya. Aku harus berkali-kali meyakinkan si pandai besi bahwa aku bukan utusan siapapun dan tidak sedang merencanakan pemberontakan."
Gadis itu terkekeh lirih.
Meski tidak pernah menjadi sosok yang gemar bicara, Sungchan segera tahu ada yang tidak beres. Dia mengistirahatkan cangkirnya. "Apa yang berbeda kali ini?"
"Apa maksudmu?"
"Kau tahu."
Kuku gadis itu saling menjentik di atas meja一suatu isyarat kegugupan yang tidak biasa bila berasal darinya. "Aku melihat mereka sore tadi. Tunggu." Dia melambaikan sebelah tangan. "Kubilang mereka padahal sebenarnya hanya satu. Laki-laki. Masih muda."
Rahang Sungchan mengeras. "Kau yakin? Aku tidak bermaksud meragukanmu, tapi apa kau ... Yakin?"
"Ya. Dia persis seperti dalam ingatanku. Ramping. Gesit. Bertelinga runcing dan sebagainya. Sungchan, aku bahkan tak melihat dari mana dia datang. Sesaat kukira aku sendirian di hutan, lalu saat berikutnya dia hanya ... Ada. Begitu saja." Secara singkat, gadis itu menceritakan bagaimana pertemuannya dengan laki-laki di hutan, sandiwaranya, interaksi mereka.
Sungchan menyimak dalam diam hingga dia selesai. "Dan orang itu, laki-laki ini, benar-benar tidak menyakitimu? Mengejar pun tidak?"
"Tidak. Aneh bukan?"
"Sangat aneh." Sungchan setuju. "Untuk sementara jangan dekati hutan dulu, berjaga-jaga jika laki-laki ini berubah pikiran."
"Justru ini adalah kesempatan yang kutunggu-tunggu."
"Kesempatan untuk dibunuh?"
Nada suara gadis itu mengandung secercah rasa frustrasi. "Kau sungguh tidak mengerti? Salah satu dari mereka akhirnya muncul. Kau harus mengikatku dulu supaya aku mau bersembunyi. Dan percayalah, ini bukan keputusan gegabah. Aku telah memikirkannya masak-masak. Seperti katamu, ini waktu yang tepat."
Kegusaran Sungchan memuncak. "Waktu yang tepat untuk apa?"
Untuk beberapa lama gadis itu larut dalam keheningan. Dia menoleh ke arah jendela yang di buka Sungchan dan menyangga dagu dengan satu tangan. Matanya terpejam. Seraut wajah rupawan menyambangi benaknya. Terlalu rupawan. Dia mencoba mengingat-ingat一dan terkejut sebab itu tak sulit dilakukan.
Laki-laki itu berambut gelap yang tak cukup panjang untuk diikat. Helai-helai rambutnya yang lebih pendek jatuh menutupi dahinya. Potongan yang sangat ... ganjil. Namun berlawanan dengan rambutnya yang lurus, kulitnya berwarna terang. Kelihatannya dia tidak setinggi Sungchan. Malah, gadis itu berani bertaruh andai dia dan laki-laki itu berdiri bersisian, takkan ada banyak perbedaan. Dia juga berotot dan kekar. Suaranya dalam, tetapi lembut pada saat yang sama一bagaimana bisa? Yang paling meresahkan darinya adalah matanya. Mata hijau gelap itu, yang menghantui mimpi buruknya. Gadis itu mengusap tengkuk. Tak ada, dia membatin, tak ada manusia dengan mata seperti itu.
Sungchan memanggil namanya.
Mata gadis itu sendiri kembali terbuka. "Untuk mengubah rencana, tentu saja."
Dari sini udah kelihatan ya, HSL punya format selang-seling alias tiap part ada yang ditulis dari sudut pandang Jeno/Karina, biar bisa lebih dimengerti. Penggunaan nama Jimin dan Karina juga bakal disesuaikan, jadi jangan bingung xixixixi 🌚
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top