3.6 : Her Past

"Jangan takut."

"Kita kan sebentar lagi resmi bertunangan."

"Jadi tidak apa-apa kalau aku menyentuhmu, kan?"

"Aku akan lembut padamu."

"Kau juga akan merasa nikmat nanti."

"Jadi, jangan berteriak, ya?"

"Lagi pula, tidak akan ada yang menolongmu, kan?"

Satu hentakan sukses membuat Rain terbangun dengan napas memburu. Perasaan panik memenuhi kepala Rain, dan perempuan mencoba sekuat mungkin untuk tenang. Air matanya menggenang, kemudian mengalir dan menetes di atas selimut.

'Tidak... kenapa perasaan ini kembali muncul ....'

Rain membuka mulutnya, namun suaranya tidak bisa keluar. Matanya terbuka lebar, irisnya menunjukkan rasa takut yang besar, namun tubuhnya tidak bisa bergerak.

Seperti saat dirinya yang hampir diperkosa oleh calon tunangannya sendiri.

'Padahal aku sudah bisa melupakannya ....'

Rain memaksa kedua tangannya yang gemetaran untuk bergerak, perlahan mencekik lehernya sendiri. Rain tersentak kaget saat pernapasannya mulai terganggu.

'Aku ... aku tidak mau mengingatnya—'

Namun tiba-tiba ada yang menarik kedua tangan Rain—membebaskan cekikan perempuan itu sendiri. Rain menoleh ke arah sebelah kirinya, mendapati sepasang iris merah yang menatapnya dengan tajam. Samatoki yang awalnya memasang ekspresi marah langsung melembut saat melihat ekspresi Rain.

"Apa yang kau lakukan?"

Rain terdiam sejenak, alisnya berkerut heran.

Apa yang dia lakukan? Kenapa dia mencekik lehernya sendiri?

"Aku ... tidak tahu," jawab Rain memeluk kedua lututnya.

Samatoki menatap Rain yang masih gemetaran, sebelum akhirnya dia menghela napas lalu menarik Rain, mendaratkan kepala sang perempuan di dadanya, tanda dia menyuruh Rain untuk tidur di atasnya.

"Apa kau bermimpi buruk?"

Rain mengangguk kecil.

"Mau menceritakannya?"

Rain terdiam, matanya melirik ke jam dinding kamar Samatoki—jam menunjukkan pukul satu pagi.

"Aku hanya bermimpi buruk tentang phobia-ku pada laki-laki, itu saja," gumam Rain, "ayo kembali tidur, hari ini seleksi antar divisi melawan Buster Bros dari Ikebukuro, kan?"

"Hanya, katamu?" Samatoki mendengus, "jika kau menyingkat ceritamu karena khawatir padaku, lebih baik kau ceritakan semuanya padaku agar aku tidak khawatir."

Rain menggerutu, sejak kapan laki-laki ini menjadi mind reader sehingga tahu apa yang Rain pikirkan.

"Empat tahun yang lalu," gumam Rain memulai—kembali menyembunyikan wajahnya di dada Samatoki, "aku hampir diperkosa oleh calon tunanganku sendiri."

Pegangan Samatoki pada pinggang Rain mengerat.

"Di pertemuan pertama kami, kesan yang dia berikan padaku sangat buruk sehingga membuatku ingin menolak pertunangan kami," jelas Rain, "tapi tak aku sangka dia terobsesi padaku, sehingga minuman dan makananku dia beri bius."

Rain membuka matanya, menampilkan iris birunya yang kusam.

"Aku bangun di ruangan yang gelap gulita, dan ruangan itu menjadi saksi bisu terciptanya phobia-ku ini," tutup Rain.

Samatoki tak berkomentar apa-apa, namun Rain sudah menduganya—oleh karena itu Rain hanya bisa terkekeh.

"Itu sebabnya aku belum siap untuk ke tahap ... selanjutnya," jelas Rain mengangkat kepalanya untuk menatap Samatoki, "maaf ya?"

"Bodoh, untuk apa kau minta maaf?" tanya Samatoki menjitak kening Rain, "sebelumnya aku memakluminya, tapi sekarang aku memahaminya."

Rain yang mengaduh kesakitan hanya menatap heran Samatoki.

"Kenapa?"

"Saat aku melihatmu mencekik dirimu sendiri, kau mengingatkanku akan traumaku dulu," ucap Samatoki.

Rain tidak menjawab, hanya mendengarkan dalam diam.

"Ayahku adalah orang yang abusif, dia selalu menyiksa kami, terutama ibuku," jelas Samatoki memulai, "lama-kelamaan semuanya semakin parah, sampai akhirnya ibuku membunuh ayahku kemudian bunuh diri."

Rain terdiam—jadi itu menjelaskan ekspresi marah Samatoki saat melihat Rain mencekik lehernya sendiri.

Dia tidak mau kehilangan untuk kedua kalinya.

"Lalu, bagaimana kau bisa sampai di Jepang?"

Rain memandang Samatoki, sebelum akhirnya kembali menyandarkan kepalanya ke dada Samatoki dan menutup matanya.

"Akan kuceritakan setelah kau selesai battle rap, sekarang ayo kembali tidur."

[][][]

Rain tersenyum masam.

'Sayangnya pagi tadi adalah pertemuan terakhir kita.'

Kini dia sudah berada di Chuo-ku, mengenakan seragamnya dan sedang berhadapan dengan Ichijiku yang memandangnya dengan alis berkerut.

"Kau sadar apa yang kau lakukan itu salah, kan?"

"Ya," jawab Rain singkat, "anggota Chuo-ku dilarang menggunakan hypnosis mic jika bukan urusan pekerjaan. Mengenai pembuat masalah, jika mereka tidak berencana menyerang Chuo-ku, maka urusan itu diserahkan pada pemilik wilayah divisi. Jadi seharusnya urusan saat itu dilakukan oleh Mad Trigger Crew."

Ichijiku hanya menghela napas kasar.

"Kalau begitu kau sudah siap menerima hukuman yang kuberikan, benar?" tanya Ichijiku.

Rain mengangguk singkat, menutup matanya—siap mendengarkan apa hukuman yang akan dia terima.

"Mulai hari ini kau dilarang untuk keluar dari Chuo-ku tanpa pengawalan anggota Chuo-ku. Jika bukan urusan pekerjaan atau urusan yang darurat, kau dilarang keluar divisi Chuo-ku."

Rain merasa sakit di dadanya saat mendengar hukuman yang dia terima, namun dia tutupi dengan terkekeh pelan lalu melakukan pose hormat.

"Siap, Ichijiku-san."

'Jadi benar tadi pagi adalah pertemuan terakhir kita,' pikir Rain, 'tapi tetap saja—'

"Tapi Ichijiku-san, bolehkah aku meminta satu hal?"

"Hm, tergantung permintaanmu."

"Hari ini, di Chuo-ku akan ada pertandingan antar divisi antara Divisi Ikebukuro dan Divisi Yokohama," Rain menutup matanya.

'—aku menolak menerima bahwa perpisahan ini terjadi tanpa ada ucapan perpisahan.'

Rain mengangkat kepalanya, menatap Ichijiku dengan serius.

"Apapun hasilnya, aku ingin bertemu dengan Aohitsugi Samatoki untuk yang terakhir kalinya," tutup Rain.

Ichijiku membalas tatapan Rain, sebelum akhirnya menyeringai.

"Baiklah—toh kau masih berada di wilayah Chuo-ku."

Ekspresi serius Rain berubah menjadi tersenyum, "terima kasih, Ichijiku-san," ucap Rain.

Ichijiku yang melihat reaksi Rain hanya bisa menggeleng sebelum akhirnya tangannya melakukan gestur mengusir.

"Baiklah, kau bisa pergi, Rain. Perlu kau tahu, Rain—kau tergolong beruntung karena identitasmu dirahasiakan—jika tidak, hukumanmu bisa jauh lebih berat dari ini."

Rain yang hendak memutar tubuhnya hanya bisa terkekeh, sebelum akhirnya berjalan keluar dari ruangan Ichijiku.

"Aku tahu."

:: :: ::

:: :: ::

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top