What If....

Juwita berpikir sejenak sebelum mengutarakan argumennya, "Gue... jujur aja setelah denger penjelasan lo, gue jadi agak malu sekaligus nggak enak sama temen yang udah gue judge gara-gara nggak mau menyatakan perasaannya. Tadinya gue kira alasan orang-orang nggak mau mengungkapkan cinta hanya sebatas malu, eh tau-taunya lebih dari itu."

"Nggak apa-apa. Tetap aja, itu kembali ke pribadi masing-masing. Bisa jadi, kan, ada yang prinsipnya sesederhana seperti yang lo kira?"

"Bener juga, tapi khusus temen yang gue bilang tadi, sih, nggak mungkin sesederhana itu. Ah, lupain. Gue nanya lagi, dooong... boleh, 'kan? Ya, bolehlah, masa nggak?"

Anulika tersenyum simpul saat mendengar kekonyolan Juwita yang menjawab pertanyaannya sendiri. Rupanya secara tidak langsung, mereka telah mengakrabkan diri satu sama lain.

Juwita juga merasakan situasi yang sama. Walau pembawaan yang ditunjuk Anulika belum sepenuhnya mencair, nyatanya Juwita tidak ikut-ikutan merasa canggung. Alhasil, mereka menghabiskan sepanjang tengah malam untuk saling bertukar pertanyaan dan berbagi.

*****

"Kamu balik aja ke tenda, biar Bapak yang urus Saskara aja." Pak Yunus berkata demikian kepada Justin selagi menunggu sopir ambulans memundurkan mobilnya lebih dekat. Di sebelahnya, berdiri Bu Naura yang terlihat cemas jika ditilik dari caranya memperhatikan Saskara.

"Serius, Pak, nggak usah? Bapak cuma berdua sama Bu Naura, loh--"

"Ya, ampun. Memangnya kamu kira Bapak bakal ngapain sama Bu Naura--"

"Bukan itu maksud saya, Pak. Ya, siapa tau aja Bapak perlu satu murid untuk urusan registrasi. Gitu-gitu saya udah sering ngurus berkas. Ibu sama Bapak, kan, harus standby dengerin instruksi dokter. Kalo salah satu, takutnya ada yang missed."

"Woah, kamu bisa detail gini juga, ya, Justin." Pak Yunus memuji. "Hmm... tapi setelah Bapak pikir-pikir, nggak usah aja. Kalo rumah sakitnya rame, prosesnya bakal sampai subuh. Mendingan kamu istirahat aja. Tenagamu pasti udah terkuras banyak. Kamu jadi perantara komunikasi antara Bapak sama tentara dan guru-guru lainnya aja, ya. Kalo ada apa-apa, segera hubungi. Nih, pake hape Bapak aja. Jangan streaming-streaming, tapi. Kuota Bapak udah mau habis, lupa isi. Muehehe...."

"Nanti saya isikan aja, Pak."

"Eh, serius?" tanya Pak Yunus riang, tetapi senyumnya otomatis menghilang saat mendengar jawaban Justin.

"Biar bisa bebas streaming. Hehe."

"Ck."

"Mobilnya udah nunggu, Pak." Terdengar suara Bu Naura menginterupsi.

"Eh, iya. Oke, sampai ketemu lagi, ya, Justin. Jangan lupa kabari Bapak kalau ada yang penting, ya."

"Siap, Pak."

Justin lantas membelok ke arah lain bersamaan dengan langkah Pak Yunus yang disusul oleh Bu Naura. Tanpa berlama-lama, Beliau membaringkan Saskara di atas brankar yang telah disediakan dan dalam waktu sekejap, mobil ambulans pun bertolak menuju rumah sakit terdekat dengan berlatarbelakangkan suara sirine yang meraung-raung.

"Saskara, kamu nggak apa-apa, 'kan?" Pak Yunus bertanya cemas saat mendapati keponakannya memejamkan mata.

"Nggak apa-apa, Payus." Saskara membuka mata dan menjawab pelan sebelum memejamkannya kembali. Nada bicaranya cenderung letih alih-alih kesakitan, tetapi Pak Yunus terlihat begitu khawatir.

"Jangan bicara dulu, mungkin Saskara kecapekan." Bu Naura berbisik begitu melihat Pak Yunus sedang bersiap untuk berbicara.

Saskara bukannya sengaja mengabaikan pamannya, hanya saja, dia sedang sibuk menebak bagaimana tepatnya perasaan Pak Yunus dalam situasi sekarang. Walau bagaimanapun, dia cukup tahu kalau Pak Yunus pernah sangat menyukai Bu Naura diam-diam pada suatu masa.

Lantas kini, dengan situasi yang berkali-kali menjebak keduanya bersama ditambah kata-kata Juwita perihal hubungan Bu Naura dengan Pak Rio yang mungkin tidak akan berjalan mulus karena kembalinya sang mantan istri, Saskara jadi bertanya-tanya dengan rencana yang diatur semesta.

Tak ayal, cowok itu turut mempertanyakan kondisi yang sama antara dirinya dengan Anulika. Sejujurnya, dia tidak menyangka kalau gadis itu bisa mengingatnya sebagai bocah yang pernah menyerangnya di masa lalu. Satu sisi, dia merasa lega karena Anulika tidak dendam dan bahkan gara-gara itu, mereka bisa akrab secara tak terduga. Namun di sisi lain, Saskara jadi takut. Takut bahwa rasa senang akan kedekatannya dengan Anulika malah membuatnya semakin serakah.

Apa yang terjadi jika perasaan Saskara ketahuan? Lalu bagaimana... bagaimana jika Saskara tidak mampu mengontrol perasaannya di saat keduanya menjadi lebih akrab dari seharusnya?

"Kita udah sampai, Saskara." Pak Yunus memberitahu, bersamaan dengan padamnya mesin mobil. Alih-alih menjawab, dia menatap pamannya dengan tatapan yang penuh makna, seolah-olah ingin mengutarakan sesuatu meski pada akhirnya memilih untuk tidak jadi.

"Ada apa?" tanya Pak Yunus, memandang keponakannya dengan terlalu sayang seakan Saskara adalah bayi lima tahun dan menyayangkan dirinya yang harus masuk ke rumah sakit. "Bagian mana yang sakit, hm? Jangan takut, Paman janji kamu nggak akan disuntik."

"Aku bukan anak kecil lagi, Payus."

"Tapi sampai kapanpun, kamu adalah anak-anak bagi Paman."

"Petugasnya nungguin, Payus." Saskara mengalihkan topik, membuat Pak Yunus menoleh dan segera turun untuk membantu perawat menurunkan brankar. Mereka segera mendorongnya ke ruang UGD sementara Bu Naura membelok ke arah lain untuk mengurus administrasi.

"Tahan, ya? Kamu bakal baik-baik aja, jangan takut."

"Nggak, Payus. Aku nggak takut."

"Mukamu pucat. Paman tau kamu punya semacam fobia, apalagi kalo kaitannya tentang rumah sakit." Pak Yunus beralih ke salah satu perawat yang sedang mengecek tekanan darah Saskara. "Perawat, izinkan saya tetap di sisi keponakan saya, ya?"

"Iya, Pak. Silakan. Lukanya nggak terlalu parah, mungkin hanya perlu rontgen untuk berjaga-jaga kalau-kalau ada tulang yang retak."

"Makasih, ya. Tuh, kan, Saskara. Kamu nggak bakal kenapa-kenapa, jadi nggak usah khawatir, ya." Pak Yunus beralih ke Saskara dengan ceria selagi perawat tersebut meninggalkan mereka untuk sementara. Tirai bermodel kubikal kemudian ditutup dari luar dengan suara yang khas.

"Aku bukan anak kecil, Payus."

"Iya, iya. Pokoknya kalo ada yang nggak enak atau apa, kasih tau Paman, ya."

"Aku cuma mau izin pulang setelah ini. Boleh, nggak?"

"Pulang ke rumah?"

"Iya."

"Boleh."

"Makasih, Payus."

"Tapi kamu nggak apa-apa, 'kan?"

"Nggak apa-apa. Aku cuma lagi banyak mikir."

"Mikir apa? Ayo, bilang sama Paman." Suara Pak Yunus terdengar cemas kembali.

"Nggak usah di sini. Tunggu Paman pulang aja. Lagian, ini bukan hal mendesak."

"Yaaa... nggak apa-apa, toh? Tirainya udah ditutup juga. Dokternya juga pasti bakal agak lama datangnya. Daripada bosan, hayuk kasi tau Paman."

"Hmm...."

"Nggak apa-apa, bilang aja sama Paman. Apa yang kamu pikirin, hm? Ayolah, nanti Paman keponya sampai nggak bisa tidur, loh."

"Aku cuma mikir, apa yang akan Payus lakukan jika takdir mendekatkan kembali orang yang kita sukai?"

"Tunggu apa lagi? Wong, dia pasti jodohmu!" Pak Yunus menjawab dengan intonasi nada tinggi, tetapi ekspresi beliau berubah drastis saat Saskara mempertanyakan pertanyaan selanjutnya.

"Bahkan jika Bu Naura orangnya?"

Siapa sangka, tanpa keduanya sadari, ekspresi Pak Yunus juga berlaku bagi seseorang yang berdiri sedari tadi dari balik tirai. Dalam diam, wanita itu mendengarkan kata demi kata yang diakui oleh Pak Yunus.

"Jangan ngadi-ngadi. Bu Naura udah ada pawangnya. Udah mau nikah, lagi. Hush! Jangan kayak lambe."

"Aku denger dari Juwita. Katanya, mantan istri Pak Rio udah kembali. Menurut Payus, bagaimana jika ternyata Bu Naura nggak jadi nikah sama Pak Rio?"

"...."

"Kalo nggk sanggup jawab, lanjutkan di rumah aja."

"Hmm... sejujurnya--"

"Permisi, Bu." Suara dokter sukses memotong kata-kata Pak Yunus dan memecah konsentrasi Bu Naura saat menguping. Sayangnya, keduanya sedang dalam situasi yang tidak siap sehingga ketika tirai disibakkan, baik Bu Naura maupun Pak Yunus sama-sama mencelus karena terciduk dengan cara masing-masing.

Sebab tanpa kata, semua telah terjelaskan lewat tatapan mata.


Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top