Unrequited
"Pagi, Pak."
"Oh, Lika. Pagi." Pak Yunus membalas sapaan Anulika dengan cengiran lebar hingga lesung pipi terbit di sisi kanan-kiri wajahnya. "Ada apa?"
"Oh, ini. Saya mau kembalikan buku yang saya pinjam, Pak. Makasih, ya." Anulika menjawab sopan sebelum meletakkan buku setebal kamus di meja yang menjadi penghalang antara dirinya dengan Pak Yunus.
"Kenapa buru-buru amat, Lika? Belum sampai seminggu, toh? Kamu bacanya kilat atau gimana?" tanya Pak Yunus beruntun. "Kembalikannya pas pagi-pagi banget, pula. Tumben?"
"Hmm...." Anulika berusaha tersenyum, tetapi hasilnya kaku hingga terkesan seperti dibuat-buat.
"Ada masalah? Sini, cerita sama Bapak. Eh, kebetulan kamu datang awal. Mau makan sesuatu untuk ganjel perut, nggak? Bapak juga mau sekalian minum kopi."
"Boleh, Pak."
Pak Yunus mempunyai kebiasaan datang ke sekolah sejam lebih awal, tetapi selalu menjadi yang paling telat masuk ke kelas dibandingkan guru-guru lain gara-gara keenakan ngobrol dengan murid angkatan junior atau ibu-ibu di kantin. Kebiasaannya berbanding terbalik dengan Anulika yang sampai di sekolah paling cepat lima belas menit sebelum dering bel.
Sebenarnya Anulika sudah lama mengetahui kebiasaan Pak Yunus ini, tetapi hari ini adalah hari pertama dia mengikuti kebiasaan beliau. Entah harus menyesal atau tidak, yang jelas tujuannya menemui Pak Yunus adalah karena merasa perlu menanyakan sesuatu meski belum jelas apa tepatnya yang harus dia tanyakan.
Semalam, gadis itu tidak bisa tidur. Entah kenapa ada perasaan bersalah yang merundunginya, padahal dia tidak bersalah dan yang dia lakukan cukup mengabaikan seolah-olah tidak ada yang terjadi.
Seharusnya begitu, toh? Sejak awal itu juga rencana lo, kan, Anulika? Suara dalam kepala Anulika mengajukan protes. Kalo nggak, lo nggak mungkin capek-capek ngajak Saskara bicara empat mata. Mana lakuinnya di depan umum, lagi.
Yaaa... bener, sih, tapi kata-katanya terngiang-ngiang terus. Gimana, dong?
Pikiran Anulika lantas beralih ke lorong perpustakaan di lantai tiga, di mana dia mengajak Saskara berbicara berdua....
"Tapi saya nggak pernah minta dilibatkan." Saskara berujar pelan, tetapi sarat akan nada yang dingin dan menusuk, yang kemudian disadari Anulika bahwa dia sedang dalam mode tersinggung. "Kalau kamu merasa terganggu, kamu bisa langsung mengutarakannya ke Pak Yunus."
"Bukan gitu maksud--"
"Bersikaplah profesional dengan tidak membawa-bawa saya ke dalam masalah kamu sendiri."
"Sas--" Anulika hendak menjelaskan, tetapi kata-katanya seolah menjadi angin lalu bagi Saskara. Tanpa memberi kesempatan, cowok itu segera beranjak dan meninggalkan koridor perpustakaan, membuat gadis itu merasa tidak enak hati.
Gue tau kesannya memang jahat, jadi wajar kalo dia marah. Tapi... apa gue keterlaluan banget, ya?
"Lika... Lika! Hei!"
"Eh! Iya, Pak!" Anulika berseru kaget dan jantungnya otomatis mencelus saat sadar ternyata sudah melamun sedari tadi.
"Tebakan Bapak bener. Kamu lagi ada masalah, ya? Jangan stres, ya. Bapak tau masa-masa kelas XII ini adalah masa yang paling rawan, malah efeknya lebih condong ke anak-anak pinter kayak kamu."
"Loh. Kok bisa, Pak?" tanya Anulika, tiba-tiba jadi penasaran dengan penuturan Pak Yunus.
"Iya, soalnya anak-anak berprestasi cenderung perfeksionis, jadi otomatis gencar banget saat belajar dan latihan soal. Beda sama anak-anak sontoloyo yang cuek bebek sama pelajaran. Bisa kamu tebak, nggak, yang mana lebih pede waktu ujian tiba?"
"Yang kurang berprestasi?" tebak Anulika. Dia dan Pak Yunus telah sampai di kantin sekolah dan menunggu pesanan kopi tiba.
"Bingo." Pak Yunus menjawab riang. Sesekali tatapannya berakhir ke beberapa murid random dan beliau tidak segan-segan melayangkan senyuman penuh kehangatan.
"Tapi nilainya gimana, Pak?"
"Ini tetap kembali ke masing-masing murid, cuman terkadang yang namanya insecure itu kayak pisau bermata dua. Saking nggak-pede-nya murid pintar biasanya akan berimbas pada keyakinannya mengisi lembar soal, trus dia bakal kayak kebakaran jenggot saat mendapat banyak kesalahan yang--padahal--belum tentu murni kesalahan dia."
"Oh. Trus gimana nasib yang kurang berprestasi, Pak? Apa nilainya tinggi?" tanya Anulika yang untuk seketika melupakan permasalahan yang mengganggu pikirannya.
"Seperti yang Bapak bilang; nggak semua dan kembali ke masing-masing muridnya loh, ya. Nggak mungkin juga saking pedenya itu mengindikasikan murid tersebut nggak usah belajar? Itu cari masalah namanya." Pak Yunus menyeringai tepat ketika kopinya telah tiba. Asapnya mengepul diiringi bau kopi yang memanjakan hidung. "Kamu yakin nggak mau nyobain kopi di sini, Lika? Wangi banget."
"Nggak usah, Pak. Saya nggak minum kopi."
"Tapi mamamu addict kopi--"
"Pak! Bapak, kok, santai amat?" Anulika mendadak impulsif, tetapi masih sempat menurunkan intonasi nadanya.
"Udah tersebar kali."
"Loh, Bapak?!" Anulika mendelik, lalu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kantin. Pantas saja, gadis itu merasa curiga sesampainya di sekolah karena merasakan aura tak tidak mengenakkan yang tertuju padanya. Kemudian, aura tersebut semakin terasa ketika berjalan bersisian dengan Pak Yunus.
Tidak heran, kini semua menatapnya dengan cara yang berbeda alias menganggapnya 'spesial' karena akan menjadi keluarga Pak Yunus.
"Mamamu nggak bilang apa-apa?"
Anulika hanya menggeleng pasrah.
"Nih, Bapak kasih tau, ya. Kalau ngomong realistis, kamu itu memenuhi ekspektasi sebagai anak idaman. Begitu juga sebaliknya. Mamamu demen banget sama karakternya Saskara."
"Pak.... Trus Saskara gimana?"
"Gimana apanya? Biasa-biasa aja, kok." Pak Yunus menjawab santai sambil menyeruput kopinya dengan gerakan yang pelan karena masih panas.
"Soal statusnya di sekolah... gimana, Pak?"
"Oh, itu." Pak Yunus meletakkan kembali cangkirnya, lalu mengembuskan napas pendek. "Semalam dia bilang ke Bapak untuk tetap merahasiakan status itu."
"Emang mau sampai kapan, Pak?"
"Bapak nggak tau, Lika. Saskara nggak bilang apa-apa lagi. Kita coba biarkan dia dulu, deh. Mana tau dia berubah pikiran setelah persiapan pernikahan resmi dilaksanakan--"
"Hmm... Pak."
"Ya?" Pak Yunus lagi-lagi mencicipi kopinya. Kali ini gerakan meminumnya lebih cepat dari yang tadi.
"Saya boleh nanya, nggak?"
"Tentu boleh," jawab Pak Yunus dengan gerakan tangan yang terhenti di udara demi menjawab Anulika.
"Bapak... serius sama Mama?"
"Rasanya aneh ditanya sama murid, padahal teknisnya kamu anak calon istri Bapak. So, wajar jika kamu bertanya." Pak Yunus menghabiskan kopinya sebelum memfokuskan pandangannya ke Anulika. "Oke, Bapak akan jawab. Bapak serius sama mama kamu. Kentara tulusnya, nggak?"
Pak Yunus menyengir, lagi-lagi memperlihatkan lesung pipinya yang tercetak dalam.
"Bapak inget, nggak, tentang cowok yang saya suka--yang pernah saya ceritakan ke Bapak?"
"Oh, iya. Bapak hampir lupa nanyain perkembangan kalian. Jadi, gimana? Kamu bilang mau nembak dia pas awal tahun ajaran baru, 'kan?" Pak Yunus bertanya antusias, seketika lupa mengecilkan volume suaranya padahal Anulika sering memperingatkannya agar tidak memancing gosip. "Bapak udah boleh tau belum siapa dia? Janjimu harus ditepati, loh."
"Nggak, Pak. Saya udah memutuskan untuk menguburkan perasaan itu." Anulika refleks mengalihkan pandangan ke samping saat merasakan bagaimana fokusnya mengabur karena air mata.
"Loh, kenapa? Kamu ini... kenapa yakin banget bakal ditolak? Kamu cantik, pinter, sopan...." Kata-kata Pak Yunus tenggelam sesudahnya karena Anulika tak lagi mendengarkan atau lebih tepatnya, dia yang memaksakan diri untuk menulikan telinganya.
Yakin banget ditolak karena Bapak adalah orangnya dan ketika mama saya adalah orang yang akan Bapak nikahi, saya bisa apa?
Rasa suka ini tidak mungkin terbalaskan, Pak.
Mendadak, Anulika teringat kata-kata mamanya ketika dia meminta izin untuk berpacaran.
"Lagian, Mama yakin kamu nggak bakal salah milih gebetan. Kamu mirip Mama; nggak gampang terkesan trus sekalinya udah, kamu bakal ngejar terus."
Ternyata memang valid bahwa selera saya sama dengan Mama.
Itu adalah Bapak.
Bapak-lah pria yang saya sukai.
"Pak, saya balik ke kelas dulu, ya. Baru inget ada tugas yang belum saya kerjakan."
"Anulika! Etdah, bel udah mau bunyi, loh. Emang sempat nyontek jam segini--eh, lupa. Anulika nggak mungkin nyontek, sih. Ck, jadi inget masa muda dulu." Pak Yunus bermonolog selagi memperhatikan punggung Anulika yang menghilang di belokan koridor.
Beliau belum tahu atau mungkin tidak akan pernah tahu bahwa ada seorang murid yang diam-diam sedang mengalami patah hati dan telah bertekad untuk mengubur dalam-dalam perasaannya.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top