Trending Topic
SMA Berdikari lagi-lagi dibuat heboh dengan topik hangat yang tersebar sejak pelatihan kepemimpinan. Apa lagi kalau bukan tentang Pak Yunus yang disebut-sebut mempunyai anak di luar nikah? Gara-gara berita yang tidak disangka-sangka dan sang wali kelas belum kunjung mengklarifikasi, maka timbullah macam-macam teori; mulai dari praduga bahwa sang ibu kandung mungkin adalah guru di sekolah, Saskara yang sebenarnya berpura-pura menjadi siswa anti sosial, hingga keyakinan bahwa calon istri Pak Yunus adalah ibu kandung Saskara, yang mana merujuk pada kesimpulan bahwa sebenarnya duo Anulika dan Saskara bersaudara kandung.
Pak Yunus bukannya sengaja menunda klarifikasi, hanya saja, waktunya belum tepat. Selain masa Pelatihan Kepemimpinan yang baru banget berakhir, beliau sedang galau karena Bu Naura ternyata mendengar percakapannya dengan Saskara.
Sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pak Yunus cukup bersikap seolah tidak ada yang terjadi, tetapi ceritanya jadi berbeda ketika Bu Naura melihat ekspresinya saat itu. Tanpa kata, beliau bisa mengetahui apa yang tersirat di dalam matanya, yang menunjukkan bahwa ada sesuatu yang ditutupi.
Bukan berarti Pak Yunus masih sesuka itu sama Bu Naura--berhubung keduanya sudah memiliki pasangan masing-masing dan beliau bukanlah tipikal pria brengsek yang mempermainkan perasaan wanita, melainkan sepertinya ada sesuatu yang belum terselesaikan.
Mengingat penantian lama yang masih berlanjut bahkan setelah Bu Naura telah meresmikan hubungannya dengan Pak Rio membuat situasinya menjadi tidak mudah. Rasa yang masih tertinggal telah memberikan semacam kebiasaan untuk memperhatikan dalam diam, yang secara tidak langsung mengurutkan Bu Naura sebagai prioritas utamanya.
Maka tidak heran ketika mendengar adanya kemungkinan keretakan dalam hubungan wanita itu dengan sang kepala sekolah segera memberikan sensasi aneh kepada Pak Yunus. Ibarat anak kecil yang diberi pilihan untuk kembali memiliki boneka lama kesayangannya, beliau jadi oleng.
Oleh karena tidak ingin masalah semakin runyam, Pak Yunus merasa harus menyelesaikan masalahnya dengan Bu Naura terlebih dahulu sebelum mengklarifikasi apa tepatnya hubungan beliau dengan siswa yang dikenal sebagai anti sosial itu. Lagi pula jika ditilik dari bungkamnya Saskara usai percakapannya di rumah sakit waktu itu, Pak Yunus merasa keponakannya mempunyai pemikiran yang sama dengannya.
"Bu, boleh saya minta waktunya sebentar?" Pak Yunus memanggil Bu Naura tepat setelah barisan dibubarkan yang menjadi momen berakhirnya Pelatihan Kepemimpinan. Para murid menunjukkan antusias dengan bersorak-sorai sampai-sampai kegaduhan terdengar di mana-mana.
Hari sudah sore, tepatnya ketika senja telah menampakkan wujudnya di ufuk barat, membuat segala yang tampak menjadi kejingga-jinggaan. Bu Naura masih cantik seperti biasa meski kantung matanya menggelap karena kurang tidur. Bisa jadi, beliau belum terbiasa menghabiskan malam di tempat lain.
"Boleh, Pak. Silakan." Bu Naura merespons, tetapi dari ekspresinya, Pak Yunus tahu jika wanita itu peka pada topik yang akan beliau bicarakan.
"Sekalian saja, apa perlu kita makan malam di sekitar sini? Biar saya yang traktir."
Bu Naura mengangguk sebelum mengikuti langkah Pak Yunus menuju rumah makan yang letaknya tidak jauh dari SMA Berdikari. Di sana tersedia berbagai macam menu mulai dari nasi goreng hingga ketoprak.
"Hmm... begini, Bu. Soal di rumah sakit...." Pak Yunus memulai, tepat setelah dia dan Bu Naura selesai membayar makanan yang mereka ambil dan duduk di meja yang disediakan. "Ada beberapa hal yang mau saya luruskan. Saya nggak tau Bu Naura udah denger apa aja, tapi saya nggak bermaksud untuk ghibah-in Ibu."
"Iya, saya paham. Itu Saskara yang mengungkit duluan. Bener, 'kan? Meski saya nggak tahu bagaimana bisa tersebar, tapi saya sadar cepat atau lambat juga akan meluas pada akhirnya. Sama seperti hubungan Bapak dengan Saskara, begitu pula dengan nama belakang yang Bapak sembunyikan."
"Betul sekali." Pak Yunus mengembuskan napas lega. "Trus yang kedua... adalah tentang reaksi saya. Mungkin Ibu bisa salah paham--"
"Sejujurnya saya paham dengan reaksi Bapak, jadi tidak ada yang perlu dirisaukan." Bu Naura tersenyum sedikit, tetapi jatuhnya jadi seringai karena cukup kontras dengan tatapan mata kucingnya. "Siapa saja yang mendengarnya pasti akan menyayangkan apa yang saya alami ini."
"Hng, tapi sebenarnya malah lebih dari sekadar 'menyayangkan' bagi saya."
"Maksud Bapak?"
"Sejujurnya, saya memang sempat goyah. Sama seperti yang dikatakan Saskara kemarin, apa jadinya jika takdir mendekatkan kembali orang yang kita sukai? Dan konyolnya, saya sempat seperti dikasih pengharapan ketika tau seperti apa hubungan Ibu sama Pak Rio. Rasanya seperti mendapat jawaban atas takdir saya. Maaf jika Ibu jadi tidak nyaman. Saya hanya mau meluruskan sekaligus meyakinkan diri sendiri. Itulah sebabnya, akan lebih baik jika Ibu menanggapi ini dengan keterusterangan dan tidak perlu merasa tidak enak jika misalkan menolak saya. Kalo perlu, pake bahasa kasar biar saya tertampar dan semuanya jadi jelas."
Ekspresi Bu Naura tak terbaca, kesannya lebih cocok menjadi pendengar yang menyimak sampai sang pencerita selesai mengungkapkan semua isi hatinya. Lantas, apa yang wanita itu lakukan selanjutnya cukup tak terduga karena alih-alih merespons sarkastik seperti yang diharapkan Pak Yunus, Bu Naura malah mengutarakan kata-kata bijak.
"'Takdir Tuhan selalu menjadi misteri, tetapi akan selalu indah sesuai rencana-Nya'. Itu yang saya pelajari dan jadikan pedoman hidup. Jadi, terhadap prinsipnya juga berlaku sama untuk yang sekarang. Kita nggak bisa memastikan siapa yang akan menjadi jodoh kita di masa yang akan datang, maka yang bisa kita lakukan adalah berserah pada-Nya setelah mengusahakan apa yang terbaik dari versi kita sendiri. Terdengar klise, saya tau, tapi ini yang saya pedomankan untuk mengisi kekosongan sewaktu Nathan pergi."
"Bu Naura...." Pak Yunus menunjukkan ekspresi penuh penyesalan karena lagi-lagi gara-gara dirinya, Bu Naura mengungkit masa lalu, tetapi wanita itu tersenyum, kali ini lebih lebar, menunjukkan betapa stabilnya dia.
"Teruntuk Bapak yang mau memantapkan hati, nggak ada yang bisa saya lakukan untuk itu. Saya nggak berhak menyuruh Bapak untuk jauh-jauh dari saya atau menggunakan bahasa kasar. Kita sudah sama-sama dewasa, Pak, jadi kita tentu tahu apa tindakan terbaik versi kita. Saya yakin Bapak lebih dari bisa untuk melakukannya."
"Bagaimana jika ending terekstremnya adalah... saya memilih untuk tetap mempertahankan perasaan saya?" tanya Pak Yunus dengan suara pelan, menyerupai bisikan. Untungnya, spot yang mereka pilih berada di paling sudut ruangan sehingga pertanyaan beliau bisa didengar dengan baik oleh Bu Naura.
"Seperti yang saya katakan tadi, Pak, saya nggak berhak melarang Bapak karena dipandang dari perspektif mana pun, kita bukan lagi anak-anak. Kita sudah sangat mengerti apa konsekuensi dari setiap keputusan yang diambil. Dengan demikian, kita tidak akan terlalu sakit ketika menghadapi realitanya."
"Terima kasih, Bu Naura. Saya mulai paham dengan yang Ibu sampaikan. Ini berguna sekali buat saya yang masih bimbang. Saya nggak mau menyesal di kemudian hari, itulah sebabnya saya memberanikan diri untuk berterus terang--eh, tapi... Ibu nggak ilfil sama saya, 'kan?"
"Saya malah lebih senang, Pak, karena melihat kelegaan Bapak yang sekarang, saya jadi merasa lebih berguna."
"Makasih sekali lagi, ya, Bu. Saya jadi bersemangat untuk menghadapi konferensi pers besok."
"Hah? Konferensi pers?"
"Iya. Anak-anak di sekolah pasti pada nyerang saya besok. Memangnya Ibu nggak lihat ekspresi mereka di malam saya mengungkapkan nama belakang? Mereka udah kayak wartawan yang nggak sabar menghadiri konferensi pers alias menunggu klarifikasi resmi."
"Oh." Bu Naura mengangguk dua kali. "Benar juga. Jika Bapak butuh bantuan--saksi mungkin?--saya bisa bantu."
"Hah? Serius, Bu?" Pak Yunus mendadak menunjukkan tatapan penuh haru. Jika dikonversikan dalam dunia kartun, mata beliau pasti membesar dan berkaca-kaca. "Pengennya, sih, Ibu berdiri di sebelah saya selama klarifikasi."
"Apa perlu sampai begitu, Pak?" tanya Bu Naura dengan dahi berlipat, tetapi langsung kesal saat mendengar penjelasan susulan Pak Yunus.
"Mana tau sekalian klarifikasi jadi pendamping saya. Muehehe.... Bercanda, Bu. Humor Ibu mahal sekali."
"Inget umur, Pak."
"Tentu. Saya juga inget umur Ibu. Kita beda enam tahun, tapi kesannya kayak seumuran saking seriusnya Ibu."
"Hm."
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top