The Meeting

Pak Yunus dan Saskara segera menempati meja kosong sesampainya di salah satu rumah makan. Alih-alih memilih restoran atau ball room di hotel ternama, Pak Yunus malahan memilih spot yang sederhana.

Pak Yunus bukannya tidak mampu, bukan pula maknanya seperti Harry Potter yang mempunyai harta tersembunyi di Gringotts bawah tanah. Beliau hanya tidak ingin mendapat kesan terlalu royal di awal. Lagi pula, bukan itu yang penting karena di antara semua kisah cinta yang pernah beliau alami, pria itu tak lagi merasa segencar itu untuk mencari pasangan hidup.

Lebih tepatnya, semua jadi berbeda sejak ada Saskara Damian. Benar yang dikatakan oleh orang bijak bahwa semakin tua usia seseorang, pernikahan tak lagi menjadi sebuah keharusan. Alasannya? Karena kelamaan menunggu ditambah serangan pertanyaaan netizen yang bertubi-tubi tentang 'Kapan Menikah?' membuat prioritas itu tergusur dengan sendirinya.

Kini yang terpenting bagi Pak Yunus adalah calon istrinya bersedia menerima Saskara sebab sampai kapan pun, mau se-denial apa, Saskara Damian adalah bagian dari keluarganya.

Waktu menunjukkan hampir lima menit menuju pukul tujuh malam ketika ada yang mendekat ke meja yang dihuni oleh Saskara dan Pak Yunus. Saskara sengaja menyembunyikan wajahnya di balik menu, bermaksud untuk tidak terlalu kentara menunjukkan diri.

Gimana, ya. Walau pada akhirnya dia akan dikenalkan seperti sebelumnya sebagai anak Pak Yunus, tetap saja dia masih berharap agar insiden yang terakhir tidak terulang kembali.

"Udah lama di sini, Yus?" Terdengar suara lembut seorang wanita, menyapa Pak Yunus dengan senyuman yang setara dengan suaranya. Saskara bisa melirik semua itu dari tepian menu, tetapi buru-buru menghindar saat merasakan pandangan wanita itu ke arahnya.

Pak Yunus menggeleng sebelum tertawa garing untuk menutupi tatapan sengitnya ke Saskara, bermaksud memperingatkan cowok itu untuk tidak berlebihan, tetapi nyatanya aksi Pak Yunus malah menjadikan situasi lebih konyol.

"Biasa aja, Payus. Nggak usah canggung kayak gitu." Saskara berbisik dari sudut mulutnya. Dia tahu kalau Payus sedang gugup karena walau bagaimanapun, pertemuan kali ini agak spesial karena beliau akan bertemu dengan calon anaknya ke depan hari.

Sejujurnya, menikahi seseorang yang sepaket dengan anaknya adalah sesuatu yang lain. Pak Yunus tahu ini berlaku sama untuk dirinya, itulah sebabnya beliau tidak akan heran jika wanita yang bernama Veronika ini juga bersikap sama canggungnya.

"Anak kamu nggak ikut, Ver? Hm... siapa namanya?" Pak Yunus mencoba mengalihkan topik sementara tangannya berusaha mencolek-colek paha Saskara dari bawah meja untuk mengajaknya nimbrung.

"Oh, Lika. Dia ikut, kok. Cuma tadi katanya mau ke toilet bentar."

"Oh." Suasana mulai terasa kaku dan Pak Yunus lagi-lagi tertawa garing. "Hm... sudah mau pesan makanan? Biar saya panggilin pramusajinya."

Tangan Saskara mulai terasa pegal karena menahan menu terlalu lama, tetapi rasa kebasnya tak lagi terasa ketika ekor matanya menangkap seseorang yang lain. Dia begitu familier, bahkan dari cara berjalannya langsung mengingatkan dirinya pada....

Anulika?

Saskara merasa seolah berada di ujung tebing, bersiap untuk jatuh ke bawah, apalagi ketika mengingat nama yang disebutkan oleh calon istri Payus tadi.

"Oh, Lika. Dia ikut, kok--"

Lika... Lika... Anulika....

Saskara terlalu syok sampai-sampai tidak sadar ketika Payus memanggil namanya berkali-kali. Buku-buku tangannya sampai memutih gara-gara terlalu kuat memegang menu.

"Saskara!" panggil Pak Yunus keras. "Kamu kenapa?"

Langkah Anulika tak lagi jauh, tetapi di saat bersamaan, tepatnya selama durasi waktu yang super singkat itu, Saskara tiba-tiba memikirkan sesuatu dan refleks overthinking.

Apa yang terjadi kalau Anulika tahu statusnya? Apakah dia akan dibuli di sekolah? Tidak, yang benar malah Pak Yunus yang akan diserang khalayak sekolah karena menyembunyikan informasi rahasia. Lantas, yang terjadi adalah serangan pertanyaan karena telah mempunyai anak di luar nikah.

Bukankah begitu? Pak Yunus adalah seorang guru, seorang teladan anak didiknya, dan seorang panutan. Lantas, bagaimana jadinya jika sekolah mendapatkan kabar yang bertolak belakang dengan citranya sebagai pengajar?

Tunggu. Masih ada yang lebih penting dari semuanya. Bagaimana... bagaimana jika....

"Payus." Saskara segera berpaling dari buku menu dan menatapnya dengan gusar. Meski suaranya masih sama pelannya dengan bisikan, Pak Yunus bisa merasakan betapa depresinya anak itu. "Kali ini aku mohon, Payus."

"Kenapa?" Pak Yunus ikut-ikutan cemas dan heboh. "Kamu keringet dingin. Kenapa--oh, nggak. Biasalah anak-anak.... Ka-kamu lanjut aja, ya."

Untungnya Pak Yunus bisa berpikir jernih dengan tidak mengadu ke Veronika. Firasatnya saat itu berkata bahwa Saskara benar-benar sedang terjepit.

"Ngasih tau yang sebenarnya, Paman."

"Saskara--"

"Sedari awal aku memang bukan anak Paman. Statusku adalah keponakan. Plis--"

"Kenapa memangnya? Kenapa tiba-tiba kamu gini, sih?"

Nggak cukup waktu lagi, Saskara! Saskara mengingatkan diri sendiri seperti bom waktu yang siap meledak karena Anulika sudah sampai di meja. Seperti yang bisa ditebak, gadis itu mendelik saat mengenal Pak Yunus yang duduk di hadapan mamanya dan ekspresinya juga tak kalah syok dengan ekspresi Saskara semenit yang lalu.

"Okay, I got it." Pak Yunus cukup pintar untuk mengerti sikap impulsif Saskara setelah retinanya menangkap visual anak dari Veronika. Pria itu sebenarnya terkejut dengan fakta terlihat di depan matanya sekarang, ketika harus menerima fakta bahwa anak tirinya adalah Anulika Latief, tetapi rupanya di sisi lain, entah mengapa beliau merasa bersyukur. "Kayaknya semesta benar-benar sayang sama Papa."

"Kok 'Papa' lagi, sih?" Saskara protes dengan nada sengit bersamaan dengan jejeritan Anulika seolah berharap apa yang dilihatnya tidaklah nyata. "PAK YUNUS?!"

"Oh, ya. Anulika, ya? Senang ketemu kamu lagi di sini."

Seperti yang bisa ditebak, Veronika juga kaget dengan fakta ini. "Kamu kenal Lika?"

"Iya, dia anak didikku di sekolah."

"Oh, kok bisa--oh, iya. Aku nggak pernah nanya kamu ngajar di mana." Tali-tali kusut kini mulai terurai selagi tatapan duo ibu dan anak mengalihkan fokus pada seseorang yang masih menutupi wajahnya. "Kalo gitu, dia... apa dia sekelas sama Lika juga?"

"Hah?" Anulika masih belum paham, tetapi dia tak perlu bertanya karena buku yang menyembunyikan wajah Saskara sudah lepas. Matanya membeliak secara sempurna untuk yang kedua kali dan bisa dikatakan, tatapan horornya yang sekarang lebih mengesankan.

"SASKARA?" teriak Anulika sejadi-jadinya, berhasil menarik perhatian banyak orang di rumah makan itu. Veronika menghadiahi anaknya tatapan peringatan, tetapi jelas diabaikan dengan telak.

"Kamu inget juga, ya, sama Saskara?" Pak Yunus mencoba untuk berkelakar, tetapi hasilnya nihil karena suasana canggung yang lebih mengerikan dari situasi di kuburan.

"Keponakan yang Bapak maksud berarti Saskara yang ini, ya?" Anulika tiba-tiba bertanya, tetapi matanya masih terpancang pada Saskara.

Saskara sedari tadi memilih bungkam atau lebih tepatnya sedang menyembunyikan ketakutan terbesarnya.

Kamu harus tetap tenang, Saskara. Kamu harus tetap tenang. Tetap tenang.... seolah bukan hal besar.

Namun, meski Saskara berusaha untuk menetralkan segala yang dia rasa, ada sebuah pertanyaan yang tiba-tiba lewat dalam pikirannya.

Jika semesta berusaha mendekatkan dirinya pada Anulika, akhir apa yang harus Saskara terima?

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top