The Deal
Juwita ingin bertanya lebih lanjut, tetapi dia sadar jam belajar-mengajar tidak memungkinkannya untuk menanyakan pertanyaan yang beruntun. Itulah sebabnya, Juwita menunggu momen bel istirahat dan ketika masanya tiba, gadis itu segera menarik tangan Saskara keluar kelas, mengabaikan semua mata yang mengekori keduanya seperti mercusuar.
Saking tidak sabarnya mengobati rasa kekepoannya, Juwita mempercepat langkah. Tidak tanggung-tanggung, dia sampai berani merangkul lengan Saskara demi menyeimbangkan langkah, tidak peduli bahwa keagresifan gadis itu malah memperparah kontroversi.
Pak Yunus juga berada di sana, di antara murid-murid yang sibuk menggosip. Pria itu sontak dibuat terpekur selama beberapa menit sebelum akhirnya terdistraksi oleh seseorang dari arah jam tiga. Lebih tepatnya, gara-gara ekspresinya-lah, beliau jadi berfokus padanya.
Objeknya adalah Anulika Latief yang menatap syahdu ke arah jendela. Ekspresinya membuat Pak Yunus teringat salah seorang penyanyi yang sedang syuting video klip dan secara otomatis mengingat kembali asumsi yang beliau utarakan pada keponakannya, Saskara, kemarin.
Bener dugaanku. Anulika pasti cemburu karena ditarik seganjen itu oleh Juwita.
Jadi... Anulika suka sama Saskara dan nggak berani nyatain karena terhalang sama Juwita. Gitu, ya?
T-tapi... Pak Yunus mengalihkan atensinya pada siswa di samping Anulika--Justin Haedar.
Meski yang sedang diperhatikan lebih peduli dengan dunianya sendiri ketimbang kehebohan yang masih berlangsung secara live di hadapannya, tetap saja, Pak Yunus mendapat kesan kalau bahasa tubuh Justin tidak sedang dalam mood yang baik dan baru beliau sadari bahwa selama jam pelajaran tadi, tidak ada interaksi yang terjalin antara dirinya dengan Anulika seperti biasanya.
Hmm... jadi, cinta segi empat, toh? Juwita dan Anulika sama-sama suka dengan Saskara, trus Justin sukanya dengan Anulika.
Trus, yang jadi pertanyaannya... Saskara sukanya sama siapa?
Hmm... ini perlu diselidiki lebih lanjut. Nggak nyangka juga kalo keponakan aku disukai sama dua cewek famous; Juwita dengan background-nya yang aktif di sosmed dan Anulika yang populer berkat prestasinya. Kesan Saskara jadi terlihat unggul ketimbang Justin.
Hmm... menarik juga. Sebagai pamannya, apa yang harus kulakukan? Pak Yunus sibuk membatin, sampai-sampai tidak sadar ada sepasang mata yang selalu menyambut, seolah-olah indra penglihatannya memiliki fitur magnet yang akan aktif setiap kali beliau tidak melihat.
Sayangnya, mungkin wali kelas XII IPA-1 tersebut tidak tahu atau tidak akan pernah tahu bahwa beliau-lah yang berperan penting dalam kisah cinta Anulika.
*****
Alih-alih menginterogasi Saskara sesampainya di lokasi yang lebih sepi tepatnya di lantai dua dekat Ruang Musik, Juwita malah hanya bersedekap dan menatap cowok itu dengan terlalu intens seakan sedang melakukan analisis.
"Mau tanya apa?" Saskara akhirnya menyerah setelah jeda yang cukup lama.
"Bentar, gue lagi mikir sesuatu." Saking seriusnya, Juwita menempelkan telapak tangannya ke dagu. Tangannya yang lain juga tidak henti-hentinya bergerak selagi berasumsi. "Sekarang situasinya itu... lo sama Pak Yunus sepakat nggak ngasih tau sekolah tentang status kalian, 'kan? Trus kalo akhirnya ketahuan... apa yang akan terjadi? Lo juga nggak bisa menghindari itu, 'kan? Gini, loh, contohnya kayak Pak Yunus mau nikah sama mamanya Anulika. Apa yang bakal lo lakuin? Status lo tentu akan ketahuan waktu acara pemberkatan atau minimal pas resepsinya."
"...."
"Jangan bilang lo nggak mikirin kemungkinan ini?" tanya Juwita, melebarkan netranya hingga bukaan maksimal lalu berujar takjub tepat ketika Saskara membuka mulut, "Jangan berlindung di balik fobia sosial lo, Saskara, karena yang namanya terciduk itu nggak mandang bulu. Sekali ketahuan, ya, ketahuan!"
"Ini sudah tahun ketiga, tinggal butuh waktu sedikit lagi untuk lulus dari sekolah ini." Saskara berujar dengan nada menutup pembicaraan. "Lagi pula seharusnya rahasia ini nggak perlu terungkap kalau bukan karena janji."
"Iya. Tenang aja, nggak bakal gue sebarin, kok."
"Iya. Kalau begitu saya kembali ke kelas, ya."
"Heh, gue belum selesai ngomong!" seru Juwita. "Gue masih mau nanya."
"...."
"Lo beneran suka sama Anulika, ya?"
"Nggak."
"Berarti iya."
"Juwita."
"Y-ya?" Juwita tiba-tiba canggung ketika merasakan aura yang berbeda. Entah gara-gara situasi di lorong yang cenderung gelap atau gara-gara Saskara memasukkan tangan ke dalam sakunya dan merogoh sesuatu di sana, gadis itu jadi overthinking.
Tanpa aba-aba dan peringatan sebelumnya, Juwita jadi teringat drama thriller yang mana sang tokoh utama mempunyai sisi psikopat lalu mengambil kesempatan saat temannya mengajak dia berbicara di lokasi yang sepi.
Mana tokoh utamanya persis kayak Saskara yang anti sosial lagi. Duh, gue bakal diapa-apain nggak, sih? Juwita mengeluh ketika melihat Saskara hampir berhasil mengeluarkan barang dari dalam kantongnya. Jika diperhatikan dari caranya mengambil, sepertinya benda itu tidak terlalu besar.
Jangan-jangan pisau lipat, ya? Zaman sekarang, kan, makin canggih. Sekali tebas, mati gue.
Tangan Saskara akhirnya naik sebagai pertanda bahwa dia telah berhasil mendapatkan apa yang dia butuhkan dari dalam sakunya. Lantas, apa yang akan dia lakukan selanjutnya?
Juwita merutuki diri sendiri dalam hati. Gitu-gitu dia bisa berada di sini adalah gara-gara idenya sendiri. Kini, gadis itu mulai merasakan tremor dan baru sadar bahwa bulir demi bulir keringat telah mengalir sedari tadi, yang meluncur turun dari pelipisnya. Matanya spontan membeliak horor saat memperhatikan bagaimana Saskara mengeluarkan sesuatu yang semakin dia yakini adalah benda tajam.
Saskara, serius lo mau bunuh gue hanya karena gue sok nebak? Iya, sih, gue keterlaluan. T-tapi, kannn....
Juwita refleks memejamkan matanya kuat-kuat, disusul dengan kepala yang sedikit dimiringkan semampu yang dia bisa tepat ketika Saskara mengarahkan benda--yang entah seberapa bahayanya--ke arah dirinya.
Juwita mengira dia akan terluka atau setidaknya merasakan sakit, tetapi ada yang aneh saat merasakan sesuatu yang lembut menyentuh bagian pelipisnya.
"Kamu berkeringat." Saskara rupanya menyeka keringat Juwita dengan sapu tangan yang dipegangnya.
Ya, ampun! Sapu tangan rupanya, toh?!
"Oh my God." Juwita refleks mengembuskan napas terlalu kencang, bak korban yang tidak jadi dibunuh karena salah target.
"Kenapa?"
"Ng-nggak. Ki-kirain." Juwita mengatur napas secepat yang dia bisa. "Lo tadi manggil nama gue cuman buat ngelap keringat doang, nih?"
"Oh, nggak. Saya sebenarnya kesal karena kamu sok nebak, tapi akhirnya nggak jadi waktu lihat kamu tiba-tiba gemetaran trus keringatan."
"Oh. Gue kira hampir dibunuh tadi."
"Hah?"
"Nggak, lupain aja. Oke, balik aja ke kelas. Gue juga mau ngumpulin tenaga lagi."
"Iya."
Keduanya kembali ke kelas meski tidak beriringan karena Juwita masih parno dengan apa yang dia halusinasikan barusan. Bagi Saskara juga bagus sebab pertanyaan Juwita yang terakhir jadinya terabaikan.
Yang pasti jarak antara Saskara dan Juwita pada akhirnya terputus sebab gadis itu berpapasan dengan Pak Yunus yang kebetulan membelok dari salah satu koridor.
"Eh, Juwita." Pak Yunus tersenyum lebar hingga memunculkan lesung pipi dan mengoptimalkan visualnya, tetapi menurut Juwita, ada yang berbeda dari senyumannya itu.
Benar saja. Pak Yunus menoleh ke kanan hanya untuk melirik punggung Saskara yang menjauh, jelas memastikan keberadaannya sebelum kembali ke Juwita. "Gantian Bapak yang ngomong sama kamu, dong. Boleh?"
"Boleh." Juwita membalas senyuman Pak Yunus dan segera mengerti ke mana arah pembicaraan ini bermuara. "Kebetulan saya lapar, Pak. Boleh kali, ya, sesekali ditraktir sama Bapak?"
"Kamu jago nego rupanya, ya." Nada protes Pak Yunus terdengar, tetapi ternyata tidak se-sinkron ekspresi yang beliau tunjukkan. "Yuk."
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top