Saskara and His Problem

Bu Naura lantas menengadahkan kepalanya ke atas di mana dia bisa melihat pemandangan langit yang kebiruan. Cuacanya jelas cerah dengan penampakan awan serupa permen kapas yang menggumpal indah, tetapi sayangnya, wanita itu tidak benar-benar menikmatinya karena mengingat memori di masa lalu.

Kenangan demi kenangan masih diingat oleh Bu Naura dengan sangat baik, selayaknya film dokumenter yang diputar ulang melalui proyektor. Entah mengapa curhatan Pak Yunus memberikan efek dejavu yang besar--padahal beliau belum menceritakan secara lengkap.

Apakah ini sebagai wujud empati atau lagi-lagi sebagai alasan Bu Naura untuk menunjukkan rasa hormat kepada Pak Yunus? Entahlah, tetapi yang jelas, wanita itu tidak merasa sungkan dan secara spontanitas terpikir; siapa tahu, apa yang dia bagikan bisa diambil hikmahnya.

Lagi pula, Bu Naura merasa Pak Yunus benar-benar sedang membutuhkan teman curhatan yang mana lagi-lagi mengingatkan dirinya pada masa-masa sulit lima tahun yang lalu. Anggap saja jika waktu itu dia beruntung karena dipertemukan dengan Pak Rio, maka biarlah dia yang akan menjadi sosok 'berguna' untuk Pak Yunus di masa sekarang.

"Sejatinya, keluarga akan melakukan yang terbaik versi mereka sendiri, terlepas dari apakah pengorbanannya akan membahayakan diri sendiri atau tidak." Bu Naura melipat sebelah kakinya di atas kaki yang lain lalu mengembuskan napas panjang. "Lima tahun yang lalu--mau itu saya, Nevan, atau Nathan, semua melakukan yang terbaik versi masing-masing."

"Maaf, ya, Bu. Saya malah mengingatkan Ibu sama kejadian lama." Pak Yunus berucap dengan nada yang super tidak enak, tetapi Bu Naura menggeleng-geleng dengan tatapan yang lebih lembut yang lagi-lagi cukup langka jika situasinya disandingkan dengan pertemuan-pertemuan mereka sebelumnya.

"Nggak apa-apa, Pak. Saya udah lama merelakan semuanya. Justru... itu adalah cara kami untuk mengobati luka." Bu Naura kembali mengalihkan atensinya ke atas langit seolah-olah lawan bicaranya sedang terbang di sana. "Itulah sebabnya, saya yakin bahwa Saskara juga sedang atau bahkan sudah melakukan yang terbaik dengan versinya sendiri. Jadi, menurut Bapak, apakah Saskara akan membiarkan saat tahu Bapak berencana membatalkan pernikahan demi dia? Saya rasa dia akan jauh lebih kecewa."

"Iya juga," kata Pak Yunus yang mulai hopeless dengan intonasi nadanya yang melemah sehingga kesannya jadi bermonolog. "Iya, bener."

"Ngomong-ngomong... kenapa Bapak harus membatalkan pernikahan? Jika kaitannya dengan Saskara dan anak calon istri Bapak... bukankah nggak ada yang perlu dirisaukan?"

"Iya, memang. Hmm, kecuali...."

"Kecuali?"

"Saskara berbeda dari remaja pada umumnya. Normalnya, seharusnya tidak masalah jika kami berkeluarga trus Saskara jadian sama Anulika--yaaa... kita anggap saja mereka beneran bersama pada akhirnya. Semua itu sah-sah saja, tapi ceritanya jadi berbeda kalau kasusnya tentang Saskara.

Karena sepanjang sejarah traumatisnya, bisa dibilang ini adalah pemecah rekor buat dia karena bisa suka sama seseorang. Satu sisi, saya sebagai pamannya bersyukur dengan keadaan itu, tapi di sisi lain... saya khawatir pernikahan saya malah bikin dia menderita karena harus menahan perasaannya sama cewek yang dia suka."

"Ternyata ini lebih kompleks dari yang saya duga." Bu Naura berucap dengan nada meminta maaf, tetapi Pak Yunus menggeleng-geleng dengan tatapan yang lebih lembut. Gantian.

"Saya malah berterima kasih karena Ibu bersedia mendengarkan curhatan saya. Tenang aja soal Saskara. Saya lagi mencoba untuk mengamunisi rasa suka dia pada Anulika."

"Oh. Apa nggak apa-apa, Pak? Berhubung Saskara itu...."

"Satu hal yang mencetak rekor Saskara adalah... untuk pertama kalinya dia mulai menerima seorang teman. Teman itu tipikal ceria dan gaul. Selebgram pula. Semoga saja dengan kemungkinan-kemungkinan yang ada, bisa bikin Saskara lebih tergerak untuk membuka diri. Doain saja semoga berhasil, ya, Bu."

"Sama-sama, Pak. Dengan senang hati."

"Baiklah, saya kembali ke pos militer, ya, Bu. Sebagai penutup, saya doakan semoga pernikahan Ibu dan Pak Rio bisa lancar, ya. Amin."

Bu Naura sempat terdiam selama beberapa saat, seperti sedang terperangah, tetapi akhirnya wanita itu mengangguk dan tersenyum. "Bapak juga, ya."

*****

"Tuh, tuh, liat. Pak Yunus lagi sama Bu Naura, tuh." Juwita memajukan dagunya berkali-kali sebagai isyarat untuk menunjukkan di mana duo guru favorit SMA Berdikari berada.

Saskara yang diajak bicara hanya menoleh sebentar sebelum kembali ke kesibukannya, yaitu memainkan dedaunan kering dengan menarik satu per satu daun dari rantingnya.

Melihat Saskara begitu menikmati apa yang dilakukannya, Juwita ikut-ikutan. Dengan mengambil ranting yang lain, gadis itu spontan memikirkan tema apa yang bisa diambilnya untuk bermain.

"Main tebak-tebakan, yuk." Juwita menjawil bahu Saskara untuk mengajaknya nimbrung. Awalnya cowok itu tidak mau, tetapi setelah menimbang rupanya usul Juwita tidak terlalu buruk. Demi mengatasi gabut kala jam istirahat, mengingat sang instruktur tentara tidak mengizinkan mereka makan, Saskara menyetujuinya.

Bisa dibilang posisi keduanya duduk sangat jauh dari gerombolan pelajar lain yang berteduh di bawah pohon sudut lain. Meski pepohonan di sekitar mereka kurang rindang karena kuantitasnya yang lebih sedikit, tetap saja Saskara merasa lebih nyaman dan yang perlu digarisbawahi adalah keberadaan Juwita bukanlah atas dasar keinginannya. Dialah yang mencarinya dan duduk di sebelahnya tanpa izin.

"Abis gue cabut semua daun di ranting ini, coba tebak deh, pernikahan Bu Naura sama Pak Rio bakal jadi apa nggak?"

"Saya nggak mau main yang kayak gitu." Saskara menolak mentah-mentah. Dalam hatinya, dia jadi menyesal karena sempat setuju dengan ajakan gadis itu.

"Namanya permainan, loh."

"Justru itu."

"Ck. Jujurly, gue tim Pak Yunus sama Bu Naura."

"Kenapa?" tanya Saskara, mau tidak mau cukup kepo dengan alasan Juwita. Bukannya merendahkan pamannya, hanya saja bila membandingkan antara Pak Yunus dengan Pak Rio, secara realistis tentunya sang Kepala Sekolah menang banyak.

"Gue aja bisa rasain seberapa dalamnya cinta Pak Yunus buat Bu Naura yang gue yakin masih bertahan hingga sekarang."

"Pak Yunus sudah mau menikah."

"Ish, dasar cowok. Logikaaa mulu pikirannya. Bisa nggak, sih, sekali aja coba mikir pake hati? Mana tau, kan, Pak Yunus hanya mencoba membuka hati buat wanita lain padahal ruang khusus di hatinya masih ada Bu Naura?"

"Tapi Bu Naura juga sudah mau menikah dengan Pak Rio."

"Lo nggak tau aja sama gosip terbaru."

"...."

"Lo tau nggak, sih, kalo mantan istrinya Pak Rio tuh udah agak lama balik ke sini? Yaaa... apa lagi, kan, kalo bukan demi rujuk sama suaminya? Denger-denger anaknya juga sering kunjungi mamanya."

"Oh."

"Gue bakal bahagia kalo Bu Naura jadiannya sama Pak Yunus. Sama-sama single, toh? Trus sebagai bonus, lo bisa jadian sama Anulika. Muehehe...."

"Ohya, saya harap kamu nggak menjodohkan saya dengan Anulika. Ini juga berlaku untuk cewek lain."

"Loh, kenapa? Lo suka sama dia--"

"Jangan kencang-kencang!" Saskara tiba-tiba ngegas secara impulsif, seketika tidak sadar kalau ranting yang ada di pegangannya terlepas.

"Tenang aja. Jauh, kok, dari khalayak ramai."

"Kamu nggak tahu, ya, kalo suara itu bisa dipantulkan di hutan?" Nada bicara Saskara terdengar menyindir dan terkesan savage.

"Emang di sini hutan? Lebih kayak daerah perkebunan nggak, sih?"

"Kurang lebih."

"Trus kenapa? Apa alasannya nggak boleh?"

"Pokoknya nggak boleh."

"Ya, sudah. Kalo gitu... gue aja yang pedekate sama lo. Boleh?"

"Hah?"

"Yeee, malah diseriusin. Dahlah, gue mau lanjut cabut daun. Mana tau hasilnya sesuai harapan, trus terkabul."

Saskara tidak berkomentar apa-apa, lebih tepatnya memilih untuk memungut ranting yang terjatuh tadi dan melanjutkan kegiatannya sendiri. Ini jelas jauh lebih membahagiakan ketimbang meladeni perdebatan dengan Juwita.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top