Perspective

Anulika langsung diserang pertanyaan serta komentar bertubi-tubi dari teman-teman sekelasnya. Bahkan murid dari kelas lain juga tidak mau melewatkannya.

"Sumpeh lu, Lik? Pak Yunus serius bokapnya Saskara?"

"Buset! Demi apa Pak Yunus punya anak?"

"WHAT?! DI LUAR NIKAH, DOOONG!"

"BERASA KAYAK NONTON DRAKOR NGGAK, SIH?!"

"Lebih cocok FTV, sih; 'Anakku Adalah Muridku'."

"Kalo gabungin sama Anulika, jadinya; 'Anakku dan Anak Tiriku Bersekolah Tiri di Sekolah yang Sama'."

"Ck, kurang lengkap. Seharusnya gini; 'Aku Menyembunyikan Anak di Luar Nikah, Namun Masih Ingin Menikah Lagi'."

"Ha ha ha ha. NGAKAK."

"Bakal viral lagi nih forum sekolah. Eh, guru-guru udah tau belum, sih?"

"Kayaknya belum, tapi gue sempat lihat ekspresi Bu Naura yang nggak terlalu kaget. Beda sama Pak Jacob dan Bu Lily."

"Nggak heran, mah. Pasti Pak Yunus minta tolong Pak Rio buat sembunyiin aib ini. Kalo nggak, masa iya segampang itu sembunyiin nama belakangnya?"

"Mendingan lo jelasin, deh, Lik. Serius, ya, Saskara itu anak kandungnya Pak Yunus? Kalo iya, potek hatiku."

"Kirain Pak Yunus satu-satunya yang belum nikah, ehhh tau-taunya... malah udah punya anak di luar nikah. Anti mainstream banget, ya, nih Bapak."

"Lo udah lama tau, ya, Lik? Nggak adil, sih. Kita-kita malah baru--"

"SEMUA KEMBALI KE CAMPSITE LEBIH AWAL!" Salah seorang instruktur memberi titah lewat pengeras suara. "MISI PENCARIAN PITA KUNING SAYA HENTIKAN SEKARANG JUGA, JADI SELESAI TIDAK SELESAI, BAGI YANG MENDAPAT PITA PALING BANYAK TETAP AKAN MENDAPATKAN REWARD!"

Reaksi pro-kontra segera terlihat dari beragam ekspresi meski sebagian besar menunjukkan binar kebahagiaan karena bisa beristirahat lebih awal, sedangkan sisanya merasa menyesal karena belum totalitas dalam melakukan pencarian pita. Ada pula yang kesal karena tidak bisa menginterogasi Anulika jika ditilik dari tatapan penuh interupsi, seolah berharap bisa melanjutkannya walau situasinya tidaklah mungkin.

"Ma--sori. Lika maksud gue. Yuk, balik ke tenda." Juwita mengajak Anulika untuk bersama-sama kembali ke Camp. Salak. "Menurut lo, tentara bakal izinin nggak, sih, kalo kita berinisiatif buat nyusul?"

"Nyusul ke mana?"

"Ke rumah sakit. Saskara bakal baik-baik aja nggak, ya?"

"Semoga aja." Anulika menjawab singkat, tetapi segera menyadari jika kata-katanya mungkin terlalu cuek untuk percakapan yang menjurus pada topik simpatik seperti ini. "Hmm... gue nggak yakin tentara bakal izinkan karena kalau kita boleh, yang lain pasti mau ikut biar bisa bolos."

"Hmm... iya juga, ya. Justin yang enak karena bisa bebas dari camping."

"Lo segitunya, ya, pengen jenguk Saskara?" Anulika bertanya pelan, berusaha berjalan selambat mungkin agar murid-murid lain bisa jalan lebih dulu.

"Hah? Nggak gitu."

"Atau sejujurnya malah kangen sama Justin?" Anulika lagi-lagi menembak, berhasil membuat Juwita jadi salah tingkah. Tanpa sadar, gadis itu menelan saliva dan menggaruk tengkuknya.

"Gue jadi ngerasa kayak cewek player."

"Memang."

"Heh--"

"Bercanda, kok."

"Bisa bercanda juga, ya, lo. Gini, nih, yang dibilang sama orang bijak. Manusia super serius itu sekalinya bercanda pasti rada horor."

Lapangan sudah jauh lebih lengang karena sebagian besar murid telah kembali ke tenda masing-masing. Anulika tadi telah berbaik hati untuk menampung semua pita yang sudah diikat karet, dibantu oleh Juwita. Sebenarnya ini adalah tugas Justin bersama salah satu siswa dari kelas sebelah, hanya saja, dia telanjur membantu keperluan lain seperti melakukan beberapa hal kecil yang seharusnya menjadi tugas Pak Yunus.

Setidaknya jika ada yang patut disyukuri, Anulika bisa sedikit bersantai daripada dikerubungi sejumlah pertanyaan jika dia kembali lebih cepat.

"Juwita... gue boleh nanya, nggak?"

"Nanya apa?"

"Lo sedekat apa sama Saskara?"

"Kalo gitu, lo sedekat apa sama Modar--eh, Justin maksud gue."

"Kok malah nanya balik, sih?" protes Anulika, bertepatan dengan aktivitasnya menyerahkan tumpukan pita kuning yang dikumpulkan dalam satu keranjang khusus kepada guru pendamping. Gara-gara pertanyaan Juwita, gerakannya sampai membeku di udara.

"Kepo juga. Ha ha ha...."

"Cuman temen biasa aja, kok."

"Hmm... Modar ternyata di-friendzone-in. Kasian juga, sih." Anulika bermonolog, lalu melempar senyum lebar pada Anulika. "Kalo ngomongin gue sama Saskara... juga sama, sih, nggak ada spesial-spesialnya apalagi kalo disandingkan sama drama romansa. Gue hanya berhasil menemukan temen yang tepat. Gue merasa beruntung bisa dipertemukan sama dia."

"Bukannya dia tertutup, ya?" Pertanyaan Anulika bertepatan dengan langkah keduanya yang sampai di jalan setapak menuju Camp. Salak di mana ada banyak tenda yang tersusun rapi. Sepinya area itu menunjukkan bahwa semua telah beristirahat di dalam tenda.

"Saskara cuma seneng ngasih kesan horor aja, sih, menurut gue. Bayangin aja pas awal-awal gue nyari tempat duduk, gue sempat ngeri pas ngeliat Saskara mainin penggaris besi kayak... kayak apa, ya? Gerak-geriknya itu bikin orang yang pertama kali mengenal dia tuh rada parno."

"Dia cuma punya masa lalu yang rada kelam aja, sih, makanya dia kayak... yahhh... semengerikan itu. Jujur, di awal-awal gue juga merasakan hal yang sama, bahkan lebih dari itu."

"Woah. Kalian ternyata udah saling ngenal, ya? Pantesan!" Juwita menjentikkan jari terlalu bersemangat hingga menciptakan bunyi yang khas. "Pantesan aja si Saskara--EHEM! Maksud gue, pantesan Saskara... apa, ya? Nggak jadi!"

Juwita mendadak bertingkah absurd. Dia hampir saja mengungkapkan sesuatu yang tak boleh diungkapkan sehingga berusaha menutupinya, tetapi kesannya jadi super konyol karena tidak berhasil mengalihkannya secara alamiah.

"Gue nggak ngerti, deh."

"Nggak usah ngerti, nggak penting juga. So... intinya, kalian lagi dalam proses mengakrabkan diri karena bakal jadi keluarga ke depan hari, 'kan?"

"Hmm... iya, harusnya gitu. Ngomong-ngomong, lo mau tidur di sebelah mana?" tanya Anulika setelah berhasil melewati teman-temannya di dalam tenda dan sampai di bagian ujung. "Mau paling ujung atau di sebelah sini?"

"Lo aja yang ujung, nggak apa-apa."

"Hmm... oke." Anulika lantas menarik koper dan mengambil beberapa keperluannya dari dalam.

"Betewe, gue cuman mau nanya nih. Nanya doang, serius cuman nanya doang. Nggak ada maksud apa-apa."

"Iya. Kenapa?"

"Gimana menurut pendapat lo soal perasaan yang disembunyikan selama bertahun-tahun? Menurut lo, apakah harus diungkapkan?"

Gerakan tangan Anulika lagi-lagi berhenti, tetapi sejujurnya, gadis itu bukan tersentak karena pertanyaan Juwita, melainkan ada sesuatu yang melintas dalam pikirannya saat itu. Ada sesuatu yang 'mengganggu' dan efeknya membuat gadis itu membutuhkan jeda.

"Lika? Hei, lo kenapa jadi melamun?"

"Hmm... nggak kenapa-kenapa. Oh, pertanyaan tadi, ya? Kembali ke masing-masing orang, sih. Namanya nggak ada pribadi yang sama, 'kan?"

"Kalo menurut lo gimana?"

"Gue pilih nggak mau karena--"

"Karena nggak semua perasaan harus diungkapkan? Anjir, kenapa bisa pas gini sama Sas--eh, nggak."

"Maksudnya?"

"Nggak. Skip aja."

"Sebenarnya bukan itu jawaban gue. Lo keliru. Bukannya karena nggak semua perasaan harus diungkapkan, tapi lebih ke cara untuk memberi ruang untuk diri sendiri. Sebab bisa jadi, kita terlalu cepat menjatuhkan perasaan sehingga ada kalanya kita perlu menenangkan diri untuk benar-benar yakin dengan perasaan itu."

"Gimana kalo durasinya udah terlalu lama dan lo masih suka dengan orang itu? Still, apakah lo harus mengungkapkannya?"

"Lebih seringnya yang terjadi itu sudah tahu jawabannya dengan pasti, tapi masih berekspektasi. Itulah sebabnya untuk mereka yang bisa menahan perasaannya sampai akhir adalah orang-orang yang mengerti arti melepaskan. Perasaan itu pure jadi milik sendiri, sehingga cukup kita sendiri yang menjaganya."

"Woah. Bisa dalem gitu, ya, Sista."

"Lo sendiri? Gimana pendapat lo soal itu?"


Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top