Payus as Dad

"Lika."

"Hm?"

"Kalo Mama menikah lagi... hm... gimana pendapatmu?" Veronika, ibunda Anulika, bertanya dengan suara yang begitu pelan seolah-olah anaknya adalah bom waktu yang siap meledak jika tidak berhati-hati.

Anulika tidak menjawab. Sebenarnya bukan tanpa alasan karena dia masih mengunyah makanan dalam mulutnya. Meskipun demikian, ekspresinya tidak bisa ditebak sehingga Veronika menatapnya dengan harap-harap cemas.

"Terserah Mama. Aku nggak keberatan." Anulika akhirnya menjawab dengan gestur mengambil gelas untuk meminum isinya seolah tak peduli.

"Anulika, kamu serius?" Veronika bertanya takjub. Seharusnya berita hari ini berpotensi mengejutkan anak tunggalnya karena wanita itu belum pernah mempunyai intensi untuk mencari pengganti kepala keluarga. Namun, melihat bagaimana Anulika tidak memberikan reaksi yang berarti bahkan sesudah mengosongkan mulutnya, bisa jadi dia tidak terpengaruh dengan berita itu.

"Itu hak Mama. Mama berhak bahagia." Anulika menjawab santai, lagi-lagi cuek hingga terkesan pongah. "Tapi aku punya syarat."

"Syarat apa?" Veronika sekali lagi menunjukkan rasa takjubnya. Rasanya tidak biasa saja mendengar anak semata wayangnya mengajukan syarat di saat gadis itu jarang meminta sesuatu.

"Dari segi usia sejujurnya aku udah cukup dewasa, tapi tetap aja aku rasa perlu untuk minta izin dulu sama Mama." Mata Anulika tampak berbinar selagi menyuarakan kalimat berikutnya. "Aku udah boleh pacaran, 'kan?"

"Memangnya kamu udah punya gebetan?" tanya Veronika. Entah kenapa intonasi nadanya terdengar meledek. "Seinget Mama, kamu sendiri yang menetapkan prinsip untuk menjomlo sampai setidaknya ke jenjang perkuliahan. Jadi... udah berubah pikiran, nih?"

Veronika cukup tahu bahwa banyak remaja laki-laki yang suka dengan anak gadisnya, tetapi belum ada satu pun yang membuatnya terkesan. Yang Veronika tahu, Anulika hanya dekat dengan Justin Haedar, itu pun karena keduanya mempunyai prestasi yang unggul di sekolah.

"Jangan bilang Justin orangnya?" Veronika spontan menyambar, yang otomatis menghalangi Anulika menjawab. Wanita itu langsung semringah saat menyangka keterkejutan anaknya adalah karena tebakannya benar. "Ya, ampun. Kalo Nak Justin orang yang kamu incar tentu bo--"

"Astaga, Mama! Nggak mungkin dia orangnya, kali!"

"Lah, trus?" Veronika menatap anaknya horor. "Emangnya ada yang lebih cakep dari Justin? Kurang apa lagi, coba?"

"Aku udah punya, Ma." Anulika berusaha menahan supaya ekspresinya tetap stabil selagi pikirannya tertuju pada seseorang. "Intinya, aku udah dapet restu dari Mama. Oke, 'kan?"

"Iya, Mama setuju, kok. Lagian, Mama yakin kamu nggak bakal salah milih gebetan. Kamu mirip Mama; nggak gampang terkesan trus sekalinya udah, kamu bakal ngejar terus."

"Berarti yang Mama pilih itu... apa persis seperti yang Mama jabarkan itu--udah bikin Mama terkesan dan ngejar sampai dapat?"

"Kamu bakal tau setelah ketemu langsung. Tapi sebelumnya... kamu nggak bakal marah sama Mama kalo cerita dari awal, 'kan?"

"Kenapa harus marah?"

"Soalnya... Mama sejujurnya udah agak lama jadian sama dia. Bukannya sengaja mau backstreet, tapi Mama hanya nggak mau koar-koar duluan sebelum beneran jadi. Mama butuh kepastian dulu... untuk memastikan kalau dia adalah orangnya."

"Dia udah tau masa lalu Mama, belum?"

Veronika mengangguk. "Udah, tapi Mama nggak cerita banyak tentang kamu karena udah telanjur sepakat untuk saling menerima setelah yakin dengan perasaan masing-masing."

"Saling menerima? Jadi... dia udah punya anak juga?"

"Pinter sekali. Iya. Katanya, dia juga udah punya anak dan kayaknya seumuran kamu, deh."

"Statusnya duda, toh?"

"Entah. Sama seperti tanggapan dia soal kamu, Mama juga nggak banyak nanya karena yang penting adalah kecocokan satu sama lain, bukan punya anak yang seperti apa."

"You seem like very very love him that much." Anulika menyeringai. "More than Daddy, I think?"

"Nggak gitu juga, Anulika--"

"Iyain juga nggak apa-apa, Ma, karena udah sepatutnya aku lega karena Mama udah menemukan pengganti Papa. Semoga aku bisa menyesuaikan sama papa baru, deh, ya, karena mau se-welcome apa pun anak, mereka tetap butuh penyesuaian untuk menerima orang tua baru."

*****


Saskara sebetulnya sedang malas keluar rumah, apalagi jadwal film episode terbaru yang dinantikannya sudah rilis, tetapi dia tidak mempunyai pilihan lain karena kabar yang didengarnya sore tadi. Bisa dikatakan itu adalah kabar baik sehingga dia tidak boleh mengacaukan acara itu.

"Udah siap, Saskara--eh, ganteng juga lu kalo sisiran ke belakang kayak gitu. Sering-sering aja, Sas, biar jadi populer."

"Aku nggak suka jadi populer, Payus." Saskara menjawab sambil lalu sembari memakai jaketnya.

Payus alias Pak Yunus, mengekori langkah Saskara hingga ke ujung ruangan dengan matanya. Dari sudut pandang itu, beliau bisa memperhatikan visual Saskara dari puncak kepala sampai mata kaki. "Padahal kamu itu sebenarnya ganteng. Sebelas dua belas sama Papa-lah waktu muda. Ah, jadi bernostalgia waktu lagi tenar-tenarnya jadi rebutan cewek-cewek di sekolah."

"Setengah jam lagi acara pertemuan keluarga dimulai, loh." Saskara mengingatkan, disusul tawa receh Payus khas bapak-bapak. Lesung pipinya tercetak dalam selagi beliau memicingkan mata untuk menggoda Saskara.

"Malah kamu yang lebih bersemangat ketimbang Papa." Kata-kata Payus terdengar menuduh, tetapi tatapannya meledek. Jelas, beliau sedang menggoda Saskara.

"Ini harinya Payus, jadi jangan sampai kacau gara-gara aku."

"Kamu masih inget insiden terakhir rupanya, ya?" Payus lagi-lagi meledek.

Saskara mengembuskan napas pendek, lalu menatap pria yang turut berbagi darah dengannya itu. Dia tentu tidak akan melupakan peristiwa terakhir yang melibatkan dirinya. Bisa dibilang gara-gara eksistensinya, jalur Payus untuk menemukan jodohnya menjadi sulit. "Payus harus menikah pokoknya. Usia Payus sudah nggak muda lagi kalo perlu diingatkan."

"So what? Papa baru 36 tahun dan itu bukan umur yang--"

"Payus." Saskara tiba-tiba menarik napas penuh tekanan. "Will you stop acting like you're my dad from now?"

"Buat apa?" Payus mendengkus untuk menunjukkan betapa konyolnya ide itu. "Hanya demi menunjukkan Papa single? Apa nggak cukup Papa iyain permintaan kamu khusus di sekolah?"

"Yang terakhir kali juga demikian, 'kan?" Tatapan Saskara nyalang, sarat akan tuduhan. "Setelah tau, anggapannya Payus kayak pembohong karena nyembunyiin identitas aku."

"Itu karena kamu yang minta eksistensi kamu ditutupi, Saskara. Jadi setelah tau, kesannya jadi beda."

"Makanya aku udah putusin untuk keluar rumah setelah Payus menikah. Aku keponakan Payus. Oke? Statusku cuma numpang sama seperti numpang nama di KK."

"Nggak." Tak ada lagi tawa maupun tatapan jenaka yang biasanya menghiasi wajah Payus. Kali ini ekspresinya serius dan sarat akan ketegasan. Meski topik ini bukan pertama kalinya dibahas, tetap saja pertentangannya selalu sengit jika dikaitkan dengan status.

"Aku bakal kuliah di luar kota." Saskara berkata dengan nada menutup pembicaraan sebelum melangkah menuju pintu keluar lebih dulu.

Payus hanya bisa mengembuskan napas berat walau tampak dari ekspresinya, beliau tidak ingin pembahasannya berhenti sampai di sini.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top