Negotiation

"Sas-sas-sas."

"...."

"Sas-sas-sas."

"...."

"Saskara! Ish!"

"Ngomong ya ngomong aja." Saskara menjawab sekenanya karena masih terlalu mager untuk menatap langsung kepada orang yang mengajaknya berbicara--Juwita. Sebenarnya bukan sengaja tidak sopan, tetapi suasana hati Saskara belum sepenuhnya baik. Lagi pula, hari masih terlalu awal untuk memulai sesi belajar-mengajar dan tujuan dia datang lebih pagi adalah untuk rebahan di bangku favorit dengan harapan bisa sedikit banyak memulihkan mood-nya.

"Lo sama Malika ngomongin apa, sih, kemarin? Gue boleh kepo, nggak?" tanya Juwita. Tidak heran bila kini dia sudah berani frontal setiap mengajak Saskara berbicara sebab bisa dibilang keakraban mereka sudah berkembang pesat dan semua berkat kegigihan Juwita.

Menurutnya, cowok itu bukannya menolak berteman. Dia hanya cenderung irit berbicara dan terbiasa sendirian, kemudian selebihnya akan bergantung pada lawan bicara tersebut. Umumnya, mereka yang mengenal Saskara sudah kepalang berpikiran aneh-aneh, bahkan tidak sedikit yang langsung menghakimi cowok itu sebagai insan yang tidak membutuhkan siapa pun dalam hidupnya. Jujur, Juwita sempat sependapat, tetapi gadis itu mulai lelah menghadapi orang-orang yang cenderung menilai dari luar tanpa menyelami sifat orang terlebih dahulu. Untuk itulah, dia menjadi dua kali lebih menghargai Saskara.

Selama eksistensi hidupnya, Juwita sudah mengenal banyak orang dan bisa dibilang pengalaman interaksinya lebih dari cukup, tetapi nyatanya tidak ada sahabat yang benar-benar mendefinisikan makna sejati baginya. Mungkin saja dia salah memahami atau terlalu baper, entahlah, tetapi lebih seringnya orang-orang--terlebih yang mengenal latar belakangnya--akan memanfaatkannya.

Friska dan Vina bisa menjadi bukti konkretnya. Setelah mengetahui keadaan Juwita dekat dengan Saskara, mereka menjauhinya seolah-olah cowok itu telah memberi sejenis tanda kesialan kepada Juwita. Atau mungkin saja mereka terlalu ngeri dengan aura Saskara, gadis itu juga sudah tidak peduli lagi, toh asumsinya telah berkali-kali terbukti; apa yang dilihat pada permukaan belum tentu sama dengan aslinya.

Pernyataan itu sejujurnya berlaku untuk Juwita sendiri. Dari luar dia bisa saja terlihat mempunyai banyak teman lewat background-nya sebagai selebgram, tetapi dia belum merasakan bagaimana mendapat teman yang tidak memandang popularitas di atas persahabatan.

Lantas untuk kategori ini, sepertinya hanya Saskara satu-satunya yang akan menjadi sahabat pertamanya.

Saskara masih bergeming dengan kepala yang direbahkan di atas lengan. Juwita tidak bisa melihat ekspresinya karena cowok itu menghadap jendela dekat pintu masuk. Namun sebelum gadis itu membuka mulut untuk memanggil kembali, terdengar suara lirih yang berkata, "Malika siapa?"

"Itu, loh--heh, plis-lah! Gue nggak mau ngiklan lagi." Juwita mendecak tidak sabar. "Anulika maksud gue. Namanya kepanjangan, sih. Zaman sekarang itu kalo nggak kasih nama ribet ala-ala bule, pasti panjang banget sampai-sampai kalo dipotong rasanya aneh. Kayak 'Anulika' itu kalo dipanggil 'Anu' kan rada aneh--"

"Pusing."

"Hah?"

"Persingkat aja. Saya pusing kalo banyak penjelasan. Jadi, kamu nanya apa?" tanya Saskara, akhirnya menegakkan punggung untuk menghadap Juwita. Waktu sudah mendekati jam masuk sekolah sehingga tidak heran jika bangku-bangku sudah banyak yang terisi. Kelas mulai gaduh secara bertahap.

Juwita tersenyum lebar karena rasa penasarannya akan terjawab sebentar lagi. "Lo sama si Malika. Kita sepakat panggil dia kayak gitu aja, ya? Trus buat Justin juga kita panggil nama 'Modar'--oke, oke. Gue paham lo nggak suka sama penjelasan panjang lebar kayak gini. To the point aja, Sas, kemaren kalian ngomongin apa?"

"Bukan hal yang penting," jawab Saskara singkat, membuat senyuman Juwita hilang seakan terkena arus listrik pendek.

"Ish, ayolah. Cerita ke gue, Sas, biar gue bisa ghibah-in dia juga ke lo. Kita tukeran informasi. Mau?"

"Tidak baik membicarakan orang di belakang. That's beyond me, I'm sorry."

"Bahkan jika ada kaitannya sama wali kelas kita?" tantang Juwita. Sebelah alisnya terangkat secara mengesankan. "Yakin, nih, lo nggak kepo?"

Payus? Anulika sama Payus? Jantung Saskara serasa jatuh ke pusar saking syoknya. Ta-tapi bukannya Payus udah setuju untuk nggak nyebarin soal aku--

"Dilihat dari ekspresi lo kayaknya syok banget. Kenapa? Nggak nyangka, ya? Gue malah punya informasi yang bikin lo merasakan double kill." Juwita mencondongkan tubuh beberapa inci untuk berbisik ke arah Saskara, "Ini top secret banget. Kayaknya nggak ada yang tau kecuali gue."

"...."

"Sas. Hei, Sas!"

Saskara berdeham untuk menutupi kegugupannya. "Intinya nggak baik ghibah-in orang lain."

"Tapi lo temen gue dan bisa dibilang kita udah deket."

"Tapi tetep aja ini ghibah--"

"Si Malika itu suka sama Pak Yunus. Gue yakin sembilan puluh persen." Juwita berbisik, tidak lupa menggunakan sebelah tangan supaya mendramatisir.

"Hah?" Saskara melongo, tetapi malah dianggap Juwita sebagai reaksi ketidakpercayaan.

"Nggak percaya? Gue punya bukti, loh. Jangan salah, ya..." Juwita merendahkan kepalanya hingga jaraknya tidak sampai sejengkal dari Saskara. "... gue ini mata-mata sejati. Kemampuan gue malah melebihi Rinto Miguel--mantan kakak kelas kita--asal lo tau."

"Anulika sama Pak Yunus? Kamu tidak salah dengar?"

"Nggak. Memang iya, kok."

"Tidak mungkin."

"Mungkin."

"Tidak." Saskara nyolot.

"Lo nggak pernah dengar kisah cinta murid ke gurunya? Itu kisah yang normal, kali. Pak Yunus belum berkeluarga, toh? Masih sexy, free, and single--santai aja, elah. Itu judul lagu, plis."

Karena Saskara mendelik sewaktu Juwita menyebut kata 'sexy' seolah-olah cewek itu mengatakan sesuatu yang tidak pantas untuk dikatakan.

Tepat pada saat itu, terdengar pintu kelas dibuka dari luar dengan tenaga yang cukup kuat. Saskara lagi-lagi melatah, tetapi untungnya tidak sejelas yang terakhir kali. Hampir semua perhatian pada pelaku, disusul keheningan yang mendadak mencekam usai melihat ekspresinya.

Ada bengkak di matanya, kentara sekali kalau dia baru saja menangis hebat. Meskipun demikian, gadis yang menjadi pusat perhatian dadakan bersikap biasa-biasa saja. Dalam diam, dia duduk di bangkunya dan bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi.

"Lo percaya, nggak, kalo gue bilang gue tau alasan dia nangis?" Juwita memulai lagi, lantas melirik ke arah Anulika dengan tatapan bak seorang penguntit sejati.

"Kenapa?" Saskara refleks bertanya karena merasakan denyut tidak enak di dalam hatinya.

Karena hanya kepada Anulika-lah Saskara peduli. Meski tidak ada yang tahu dan tidak ada yang peduli, toh cowok itu tidak pernah sekali pun melakukan hal-hal yang menimbulkan kecurigaan dan bisa dibilang dia berhasil.

Berhasil menyukai Anulika Latief secara diam-diam. Sebebasnya.

Namun kini, melihat bagaimana mata Anulika yang sembab, Saskara tidak bisa mengabaikan yang untungnya dianggap Juwita sebagai kekepoan tingkat tinggi.

"Ternyata lo punya jiwa ghibah. Udah gue duga, Sas. Lo itu bisa jadi partner ghibah gue yang--"

"Tolong ceritain selengkap-lengkapnya." Saskara memotong, berhasil membuat Juwita kicep sekaligus takjub karena tidak menyangka kalau dia begitu antusias.

"Serius lo?"

"Iya. Ceritain sekarang. Saya harus tau."

"O-oke. Balasannya apa buat gue?"

"Harus bayar?" tanya Saskara dengan alis yang menyatu karena mengernyit. "Berapa?"

"Ck. Bukan bayar pake uang. Lo bisa bayar pake rahasia yang lo punya."

Saskara mendengkus keras sebagai reaksi, lantas menatap Juwita dengan tatapan seolah gadis itu adalah orang yang paling licik sedunia. "Baiklah. Nanti saya ceritakan rahasia saya."

"Wuihhh.... Jadi bersemangat nih, gue." Juwita tersenyum lebar hingga menggoyang-goyangkan bahunya. "Alright, I'll tell you all what I know. Trust me, I'm your best ghibah-partner."

Bersambung
Fyi, Rinto Miguel adalah cameo yang sumber ceritanya berasal dari Perfect Siblings.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top