Malika and Modar
Tidak sukses mengajak Saskara berbicara bukan berarti membuat Anulika kapok. Alih-alih menunggu hingga kelas kosong seperti saran Juwita, cewek itu seolah sengaja mengulangi kontroversi yang sama seperti kejadian tadi pagi di hadapan banyak orang.
Lagi dan lagi. Aksi tersebut segera memancing perhatian dan bisa dipastikan keduanya masuk ke dalam topic trending yang tidak akan secepat itu berakhir.
Pasalnya, berita ini melibatkan dua insan yang sama-sama menghindari keramaian meski dalam situasi yang berbeda. Jika Saskara tidak bisa bersosialisasi karena karakter tertutupnya, Anulika cenderung berteman dengan orang-orang tertentu--seperti Justin Haedar, misalnya--sehingga tidak heran jika gadis itu dicap sebagai murid pintar yang sombong walau belum ada yang berani melabraknya.
Kini melihat Anulika menarik Saskara dengan gerakan yang mirip dengan adegan FTV yang klise, semua seperti tidak bisa percaya, terbukti dari sejumlah pelajar yang menyikut teman di sebelahnya untuk menanyakan kevalidan penglihatannya.
Namun, ekspresi Juwita yang paling berbeda. Dia merasa Anulika terlalu seenaknya dan segera berasumsi bahwa itu semua dilakukannya untuk menantangnya.
Tidak puas, dia lantas meluapkan kekesalan pada Justin Haedar yang kebetulan masih santai di bangkunya. Kelas sudah agak lama kosong karena semua sibuk mengejar duo Anulika dan Saskara demi kebutuhan kepo.
"Gue mau nanya, dong, sama lo." Juwita memulai. Tangannya bersedekap di depan dada, tetapi sedetik kemudian menjadi bimbang karena merasa tidak sopan sebelum melanjutkannya dengan meletakkan tangan di sisi pinggang. Sekali lagi, ada perasaan tidak nyaman dan dia mulai kikuk dengan gayanya sendiri walau pada akhirnya dia bisa menutupi segala kecanggungan dengan dehaman keras.
Justin hanya menatap datar, tetapi diam-diam tersenyum miring saat Juwita tidak melihat.
"Karaternya si Malika itu memangnya selalu seenaknya, ya?" Juwita bertanya setelah mengambil keputusan final untuk memasukkan tangan ke dalam saku roknya.
"Malika?"
"Iya. Malika yang dibesarkan seperti anak sendiri--HEH, LO KIRA GUE LAGI NGIKLAN? Ups, sori. Latah, kan, gue." Juwita mengeluh sementara Justin mati-matian menahan tawanya. Sejujurnya dia mau tertawa lepas, tetapi entah kenapa khusus di hadapan Juwita, Justin tidak merasa layak jika melepas image-nya begitu saja.
Bagaimanapun, rasanya berbahaya saja jika bersikap santai di depan gadis itu.
"Anggap aja kependekan dari 'Anulika'. Kepanjangan banget, elah. Daripada gue panggil 'Anu'? Ambigu nggak lo?" Juwita menantang, membuat Justin mendengkus keras-keras meski secara mengesankan, dia berhasil mengubahnya menjadi bersin.
"You can't make short other people's name for your own convenience. How dare you?"
"Ha ha ha." Juwita tertawa garing, jelas meledek. "You're so naive. I think I have one for you, too. Wanna hear?"
"'Jus'? or 'Tin'?" Justin bertanya sarkastik, bermaksud beranjak karena sudah selesai menyimpan semua yang tertinggal ke dalam tas, tetapi dihalangi oleh Juwita karena menekan telapak tangannya ke bangku untuk menopang tubuhnya. Dalam posisi seperti ini meski tatapan intimidasi yang mendominasi, tetap saja Justin merasa tidak nyaman dengan jarak yang agak menipis gara-gara Juwita menunduk untuk membaca nama di seragamnya.
"No. Too simple. Lagian bosen sama nama Justin yang bikin gue inget sama Justin Bieber. Mending dari kata 'Haedar'." Juwita menyeringai usai membaca nama belakang Justin. "Nama 'Modar' cocok buat lo."
"Heh! Enak aja--"
"Malika sama Modar. Jadi pasangan yang cocok, toh? Dobel 'M' soalnya. Harusnya lo berterima kasih sama gue."
"Udah gue bilang--"
"Yuk, ah. Kelas udah lama kosong. Hati-hati ada penghuni lain. Hi hi hi...."
"Lo kira gue bocil yang penakut--sialan!" Justin refleks mengumpat saat mendapati Juwita menutup pintu kelas. Untung saja dia tidak sempat mengunci ruangannya karena Justin tiba-tiba merasa merinding.
*****
Awalnya, Anulika mengira Saskara melakukan tindakan impulsif dengan menarik lepas tangannya sendiri sebelum mempermalukan gadis itu di depan umum, tetapi nyatanya, dia tidak melakukan perlawanan sama sekali. Dalam diam, cowok itu membiarkan Anulika menarik pergelangan tangannya seperti hewan ternak yang pasrah dibawa ke tempat penyembelihan.
Anulika akhirnya berhenti sesampainya mereka di lantai tiga, tepatnya di koridor ujung yang merujuk ke perpustakaan. Area itu memang cenderung sepi hingga terkesan angker saking jarangnya dikunjungi. Ditambah, waktu sudah menunjukkan jam pulang sehingga sangat kecil kemungkinan area tersebut dikunjungi.
"Gue mau ngomong." Anulika akhirnya memulai setelah mendaratkan bokongnya di bangku panjang lalu memberi isyarat agar Saskara duduk di sebelahnya. "Duduk sini."
Seperti yang bisa diduga, Saskara tidak memberikan reaksi. Ekspresinya juga tak terbaca, membuat Anulika lagi-lagi merasa mati gaya persis seperti tadi pagi.
"Duduk, elah. Gue nggak bakal gigit karena bukan zombie. Gue cuman mau ngomong sama lo. Boleh, nggak?"
"...."
"Saskara, lo bukannya nggak bisa ngomong, 'kan? Dari tadi gue yang bersuara, loh."
"...."
"Oke, fine. Mau gue ngasih tau rahasia yang Pak Yunus suruh tutupin? Iya? Mau lo?"
Usaha Anulika berhasil karena Saskara refleks mengangkat kepalanya.
"So... nggak mau, 'kaaan? Makanya duduk sini."
Saskara menurut, tetapi dia duduk di bagian bangku paling ujung, seolah-olah ada tembok transparan yang dibangun di antara keduanya.
"Oke. Akan lebih baik kalo lo anggap gue jahat biar misi ini terselesaikan. Lebih cepat lebih baik." Anulika berhenti untuk sementara waktu, sengaja memberi jeda agar kata-katanya bisa diserap oleh lawan bicaranya. "Dan sekarang... gue pengen kita berada di kapal yang sama."
Saskara tidak berbicara, tetapi setidaknya dia membalas tatapan Anulika. Pada situasi ini, entah siapa yang memulai atau sengaja memberi jeda lagi, yang jelas keduanya beradu tatap dalam durasi yang cukup lama. Meskipun demikian, ekspresi keduanya tak terbaca karena ketiadaan emosi atau tepatnya seperti sedang berlomba siapa yang berkedip dialah yang kalah.
"Saskara, gue bisa tau lo bener-bener nggak pengen sekolah tau soal lo punya hubungan keluarga sama Pak Yunus. Lagian... waktu kita yang tersisa di sekolah nggak sampai setahun lagi, bahkan berkurang banyak kalo dihitung dengan macam-macam ujian."
Saskara akhirnya memutuskan kontak mata lalu beralih ke sepatunya sendiri, lagi-lagi bertingkah seolah tidak ada yang ingin dikunjunginya selain sepatu jika mempunyai kemampuan mengubah ukuran tubuhnya menjadi mini. Namun sebagai gantinya, dia mengangguk untuk menyetujui bahwa apa yang dikatakan Anulika benar adanya.
"Maka dari itu... kita bisa mengembalikan semua seperti sedia kala. Lo bisa menganggap pertemuan keluarga kemaren itu nggak pernah ada."
Saskara mengernyit, tetapi Anulika tidak berniat menjelaskan karena sedang menunggu reaksi lawan bicaranya jika ditilik dari sebelah alisnya yang terangkat.
"A-aku... hmm, saya nggak paham."
"Maksudnya, gue mau batalin pernikahan mama gue. Dengan bantuan lo tentunya."
"Apa semua ini gara-gara saya?" Saskara bertanya. Intonasi nadanya netral, tetapi Anulika bisa merasakan getaran dalam suaranya. Tatapannya juga sudah lebih intens. Ini menjadi rekor karena untuk pertama kalinya Saskara memberi tatapan intens dan tidak ada keraguan di dalamnya.
Ya, ini lebih baik. Mendingan lo anggap gue jahat ketimbang tau alasan yang sebenarnya. "Anggap aja kayak gitu. Makanya gue bilang; akan lebih baik kalo lo anggap gue jahat. Itulah maksud gue."
"Tapi kamu udah dengar kalo saya itu keponakan Pak Yunus, bukan anaknya. Seharusnya itu nggak bisa dijadikan--"
"Dijadikan alasan untuk menolak pernikahan mama gue?" Anulika sengaja memotong untuk mengambil alih dalam meneruskan kata-kata Saskara. "Ceritanya jadi berbeda kalo bukan lo, Saskara. Jujur aja, gue nggak peduli sama rumor yang beredar. Mulut ya mulut mereka. Gue masa bodoh sama semua itu. Tapi sekarang gue nggak bisa karena ada lo yang terlibat."
Karena lo akan dijadikan bulan-bulanan saat mereka tau gue suka sama Pak Yunus yang notabenenya punya hubungan sama lo, biarpun statusnya paman dan keponakan.
Anulika spontan bergidik ngeri saat membayangkan sesuatu di dalam pikirannya dan itu membuatnya parno.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top