Love By Habit

Selain Pentas Seni atau sejumlah tradisi umum lain yang diselenggarakan sekolah-sekolah, SMA Berdikari memiliki branding tersendiri yang menjadikan sekolah tersebut unik di mata sekolah lain, yakni Bazar Amal dan Pelatihan Kepemimpinan.

Keduanya dilakukan secara serentak, tepatnya ketika sesi belajar-mengajar telah memasuki bulan kedua. Bazar Amal akan dilaksanakan oleh murid angkatan kelas X dan XI sementara kelas akhir diwajibkan mengikuti Pelatihan Kepemimpinan.

Sesuai namanya, kedua tradisi tersebut ditujukan untuk melatih pola pikir para siswa agar lebih kreatif, membangun karakter dan kemampuan, serta agar mereka lebih terlatih dalam memunculkan rasa percaya diri karena menurut sang Kepala Sekolah, masa pencarian jati diri adalah masa emas yang tidak boleh dilewatkan begitu saja.

"Pak Rio selalu berusaha semaksimal mungkin supaya ketika sudah di bangku kuliah atau bahkan dunia kerja sekali pun, kalian sudah lebih siap. Terutama buat yang suka insecure sama diri sendiri dan mau mengubah diri, Bapak sarankan untuk tidak melewatkan kesempatan ini."

Pak Yunus tampak luar biasa bersemangat yang tercermin dari cara beliau masuk ke kelas tepat waktu, padahal biasanya beliau selalu telat minimal lima menit pertama pasca bel berdering.

Ekspresi Pak Yunus luar biasa semringah, bahkan beliau meladeni Jeremy yang seperti biasa selalu sepedas Samyang kalau menyeletuk.
"Jangankan mau mengubah diri, Pak, yang ada kami bakal dibuli habis-habisan. Semua kakak kelas bilangnya gitu, tentaranya galak semua."

"Kali ini bakal lebih ringan. Percaya, deh, sama Bapak."

"Ah, masa?" tanya Jeremy. Ekspresinya tak ada bedanya dengan ibu-ibu kalau lagi julid.

"Iya. Coba tebak? Bapak ditunjuk jadi Penanggung Jawab, dooong! Keren, 'kaaan?"

Saking senangnya, Pak Yunus sampai lupa statusnya sebagai guru. Dengan pinggul yang digerakkan secara absurd, beliau berhasil memancing kehebohan di kelas; para siswi berteriak histeris sambil membuang wajah sementara para siswa tertawa terbahak-bahak.

Juwita yang sedang menutupi sebelah wajahnya dengan tangan, mengalihkan perhatian pada Saskara, teman sebangkunya. "Mau heran tapi dia paman lo, Sas."

"Jangan keras-keras," tegur Saskara, segera bertindak impulsif dengan menyebar pandangan ke sekitarnya. "Udah saya bilangin--"

"Iya, deh, iya. Tenang aja, lagi rame, kok." Juwita menutup buku paketnya dengan sekali hantaman. "Lo udah ngomong ke Modar, belum?"

"Sudah."

"Trus, gimana?"

"Nggak setuju."

"Yahhh... tega banget, sih. Jadi, gimana?"

"Sudah saya bilangin juga kalo kamu yang lebih butuh, jadi slot bagian saya kasih kamu saja."

"Yahhh... masa gue les privat berduaan sama dia?" Juwita langsung protes, mengabaikan Saskara yang menatapnya dengan tatapan penuh celaan. "Gue maunya bertiga atau berempat sekalian sama Malika."

"Bertiga saja tidak mau apalagi berempat?" Saskara membalas lugas, tetapi Juwita menanggapinya dengan cara berbeda.

Entah mengapa sejak mengetahui rahasia Saskara, Juwita menjadi lebih peka. Atau terlalu sensitif? Entahlah, gadis itu tidak tahu. Yang jelas, dia mulai merencanakan sesuatu dari dalam kepalanya.

Dengan seringai yang tercetak jelas, gadis itu mencondongkan tubuhnya ke kanan untuk berbisik pada Saskara, "Gue jadi punya ide."

"Apa?"

"Tau nggak, sih, kalo sering-sering berinteraksi itu bakal bikin perasaan itu muncul? Kayak yang tadinya nggak ada, jadinya bakal ada kalo sering-sering komunikasi?"

"Maksudnya?"

"Lo sama Malika atau gue sama Modar."

"Hah?"

"Gue jadi pengen nantangin diri gue sendiri. Apa jadinya kalo kita sama-sama berusaha? Lo nggak usah malu lagi tentang gimana perasaan lo ke Malika karena gue akan memosisikan diri seperti lo juga."

Saskara hanya memandang Juwita tanpa ekspresi, tetapi dia tahu bahwa cowok itu sedang mencerna kata-katanya. Oleh karenanya, Juwita menyeringai saat melanjutkan kalimat yang sudah disusunnya dengan baik sejak semalam. "Ayo kita buktikan ungkapan 'Cinta datang karena terbiasa' atau dalam Bahasa Jawa menjadi 'Witing tresno jalaran soko kulino'."

"...."

"Saskara, ngaku aja. Lo suka sama Anulika, 'kan? Maybe... takdir mamanya jadi jodoh Pak Yunus itu karena dia jodoh lo?"

Ekspresi Saskara langsung berubah, apalagi pada detik Juwita menyebut nama Pak Yunus. "Nggak usah berasumsi yang tidak-tidak."

Cowok itu membuang muka sebelum menggeser sedikit bokongnya untuk memberi jarak antara dirinya dengan Juwita, memilih menghindar. Namun, bukan Juwita Ramlan namanya jika tidak kukuh pada prinsipnya.

"Gue tipe ambis, Saskara Damian. Menurut lo kalo nggak, lo kira gue bisa jadi selebgram karena langsung terkenal gitu aja? Ya, nggaklah! Gue pake usaha, keles!"

"Palingan beli followers." Saskara menyeletuk. Ada sindiran dalam nada bicaranya.

"Heh, beli followers juga pake modal, kali. Ya, nggaklah! Ngapain ngeluarin duit jika bisa pake usaha yang lebih worth it? Sama halnya dengan ide yang tadi, gue yakin kita bisa."

"Jangan pernah main-main dengan perasaan, Juwita. Itu sama saja kamu cari gara-gara," ujar Saskara sebelum memusatkan perhatian kepada Pak Yunus karena beliau sedang memberitahukan apa yang harus dipersiapkan untuk Pelatihan Kepemimpinan akhir pekan ini.

"Kamu hanya perlu berusaha, Saskara. Mau sampai kapan kamu diem? Si Malika perlu tau perasaan lo."

"Dan jadi bahan tertawaan?" timpal Saskara getir. "Nggak semua perasaan harus diungkapkan. Saya nggak mau jadi badut."

"Siapa yang ngetawain lo, hei?!" protes Juwita tidak terima. "Kalo Malika bisa move on sama Pak Yunus dan sukanya sama lo, kenapa nggak? Itu bukan ide yang buruk."

Saskara tidak mau berkomentar, lebih tepatnya, dia tak ingin lagi berdebat. Dengan memfokuskan seluruh perhatiannya ke papan tulis dan menolak untuk menatap Juwita, cowok itu jelas tidak ingin diganggu.

Namun, Juwita tidak mau menyerah. Jika ditilik dari kepalanya yang sedikit ditengadahkan ke atas, gadis itu tampak sedang merencanakan sesuatu yang lain.

Kemudian, di sela-sela lamunannya, Juwita kembali diingatkan oleh pertemuannya dengan Pak Yunus beberapa hari yang lalu.

"Juwita."

"Ya, Pak?"

"Kamu suka sama Saskara--" Kalimat Pak Yunus terpotong gara-gara Juwita tersedak di sela-sela kesibukannya makan mi di kantin. Untungnya, situasi di sana mulai sepi karena jam istirahat sudah mau selesai.

Juwita jelas membutuhkan air untuk melegakan tenggorokannya efek tersedak tadi. Meski jujur saja dia sempat syok karena pertanyaan Pak Yunus, gadis itu berhasil menutupinya dengan bersikap seolah-olah dia tersedak dengan cara alamiah, bukannya karena pertanyaan tadi.

"Bapak bilang apa tadi?"

"Kamu. Kamu suka sama Saskara, ya?"

"Emangnya Bapak ngerasa gitu?" Juwita bertanya balik dengan nada tengil.

"Ck, malah canda. Bapak nanya serius, loh."

"Temen, kok, tapi nggak tau besok. Tunggu aja."

"Yeee, sok-sok-an pake dialognya Dilan." Pak Yunus meledek. "Yang serius, ih."

"Saya ngomong realistis, loh, Pak. Perasaan, kan, bukan ilmu Matematika yang mempunyai rumus baku. Perasaan itu fleksibel, loh."

"Iya, sih." Pak Yunus nyengir sebelum menyeruput kopinya. "Kalo sekarang ngakunya belum, apa kamu bakal cemburu kalo tau ada yang suka sama Saskara?"

"Malika, ya?"

"Hah?"

"Anulika maksud saya."

"Ya, ampun. Kamu ubah nama Anulika jadi nama kedelai hitam yang dibesarkan seperti anak sendiri?"

"Muehehe.... Nama Anulika kepanjangan soalnya."

"Oke, kita singkat nama jadi Malika aja biar yang bersangkutan nggak bersin terus gara-gara kita ghibah-in." Pak Yunus mengangguk setuju seolah-olah memberikan izin sebagai guru yang baik. "Jadi, gimana pendapatmu soal itu?"

"Ribet, sih, ya, karena mamanya Malika bakal nikah sama Bapak, tapi Saskara sukanya sama Malika dan Anulika sukanya sama Ba--"

"APA?!" Pak Yunus setengah berteriak, berhasil memotong penjelasan Juwita hingga dia terhenyak dan mencelus. "Saskara sukanya sama Malika? Yakin kamu?"

"Duh, bakal diamuk Saskara nih." Juwita memukul-mukul bibirnya dengan nada penuh penyesalan.

"Juwita?"

"Y-ya, Pak?"

"Bapak kayaknya butuh bantuan kamu, deh. Bapak nggak bisa lihat Saskara gini terus. Kayaknya dia harus dikasi 'anomali' biar bisa belajar aktif."

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top