Juwita The Chatty
Jika boleh jujur dan melakukan apa maunya, Saskara tidak mungkin mau repot-repot datang ke Vila Bukit Hambalang demi kepentingan Pelatihan Kepemimpinan. Selain menguras tenaga yang bikin lelah, membaur bersama teman-teman adalah aktivitas yang melanggar 'kode etik' pribadinya.
Namun, dia jadi tidak tega jika konteksnya berkaitan dengan Pak Yunus, terlebih beliau ditunjuk sebagai Penanggung Jawab pelatihan mulai tahun ini. Itulah sebabnya mengapa Saskara berusaha untuk berpartisipasi aktif, walau sebagai gantinya, energinya terkuras serupa balon yang dikempeskan dengan cara yang terlalu ekstrem. Kedengarannya berlebihan, tetapi begitulah faktanya. Berbeda dengan kaum ekstrover, golongan introver seperti Saskara sangat menjunjung tinggi kesendirian dan cenderung menghindari khalayak ramai.
Lihat saja caranya memilih area tempat duduk. Saskara lebih puas memilih area yang tidak terlalu rindang tetapi sepi peminat, daripada duduk di bawah pohon gemuk yang segera saja menjadi spot incaran dalam kurun waktu kurang dari semenit.
Meskipun demikian, rupanya situasi tersebut tidak berlaku bagi Juwita Ramlan. Mengingat keagresifannya selama ini hingga berhasil mengetahui rahasia yang Saskara tutupi, tidak heran jika gadis itu terlihat semakin dekat dan dekat saja.
Termasuk saat-saat sekarang di mana dia rela berpanas-panasan demi duduk bersama Saskara. Aksinya lagi-lagi memancing perhatian, tetapi untuk pertama kalinya Saskara merasa bersyukur.
Sebabnya adalah karena dia tidak ingin perasaannya ketahuan. Biarlah jika dia dikira mempunyai hubungan spesial dengan Juwita atau apa--nggak apa-apa, asalkan bukan dengan gadis itu.
Bukan dengan Anulika Latief.
Pasalnya, Saskara tiba-tiba overthinking setelah membantu Anulika sejam yang lalu. Bagaimana jika gadis itu merasa ada sesuatu yang tidak wajar? Bagaimana jika gadis itu menangkap nada suaranya yang kelewat lembut? Dan bagaimana jika gadis itu merasa basa-basi yang dibawa Saskara selama perjalanan adalah suatu tindakan yang spesial?
Saskara jadi super cemas. Maka ketika Juwita mendekat dan duduk di sebelahnya, Saskara merasa telah menemukan dewi penolong meski situasinya hanya bertahan selama lima belas menit pertama saja.
"So... kalian ngomongin apa tadi, hm?"
"...."
"Sas-sas-sas. Ish, kok dicuekin?"
"Iya."
"Kalian ngomongin apa? Kepo, nih. Si Malika berhasil kesengsem, nggak, sama lu?"
"Nggak ada apa-apa."
"Masaaa? Kok muka lo memerah gitu? Hayoloh, ngaku."
"Serius, nggak ada apa-apa."
"Trus... kenapa reaksi lo gitu?"
Saskara mengembuskan napas panjang, lalu membuang ranting yang sedari tadi menemani masa-masa gabutnya ke tanah begitu saja. Aksinya begitu galau yang sepaket dengan tatapannya yang sendu, membuat Juwita tidak tahan untuk menggodanya lebih lama.
"Cieee, yang galau. Kenapa? Nggak mungkin, kan, Malika yang bikin lo baper?"
"Jangan keras-keras!" Saskara mendesis, segera mendelik.
"Ck! Nggak ada yang tau juga siapa Malika. Itu, kan, nama kedelai hitam. Masa lo nggak tau?"
"Whatever."
"Dih, ngambek."
"Bukan gitu. Saya cuman...." Saskara menggerakkan tangannya sedemikian rupa, berusaha menjelaskan meski di satu sisi ada keraguan yang mengental dari pancaran matanya. "Kayaknya saya melakukan kesalahan."
"Ohya? Kayak gimana, tuh? Lo salah ngomong memangnya?"
"Hng, i-iya."
"Ngomong apa, sih?" Juwita mendekatkan telinganya ke arah Saskara, tetapi mereka tidak sadar telah menjadi pusat perhatian bagi banyak pasang mata, termasuk Pak Yunus, Anulika, Justin, hingga Jeremy. Justin adalah orang pertama yang kembali ke rutinitasnya menentukan kelompok untuk permainan sebelum disusul Anulika yang mempunyai spekulasi, tetapi tidak begitu mempengaruhinya. Jeremy lain lagi. Dia sempat syok, tetapi pada akhirnya kembali berbincang dengan teman-temannya meski ekspresinya terlihat datar.
Pak Yunus adalah yang paling lama memperhatikan karena sedang menata ulang asumsi yang baru-baru ini telah beliau kumpulkan. Lewat membandingkan keakraban dua gadis dengan sang keponakan, Pak Yunus mulai menandai Juwita sebagai pemenangnya.
"Saya sempat mengungkit nama Pak Yunus."
"Hah? Trus Malika bilang apa?"
"Hmm... jawab aja, sih--maksud saya, ekspresinya biasa-biasa saja."
"Lo ungkit apa memangnya?"
"Hmm...."
"Ck. Jawab aja, elah."
"Hng... saya bilang kalo Pak Yunus ternyata hebat juga."
"Hah? Hebat apanya?" Juwita spontan ngelag.
"Hebat jadi Penanggung Jawab."
"Ya Tuhan, Saskara!" Juwita langsung berubah dari ngelag hingga ngegas. "Hanya gitu doang? GITU DOANG?"
"Nggak usah teriak, saya nggak tuli." Saskara menegur datar.
"Ya kali hanya gitu doang udah melakukan kesalahan. Salah dari mananya, coba?"
"Ya, salah."
"Apanya yang salah?"
"Hmm...." Wajah Saskara memerah selagi mengakui kecemasannya. "Takutnya dia tau rahasia saya."
"Rahasia soal lo punya hubungan darah sama Pak Yunus?" Juwita bertanya dengan sepasang alis yang mengernyit dalam.
Saskara menggeleng.
"Trus apaaa?!" Juwita jadi geregetan, jelas tidak sabar dengan jawaban Saskara.
"Rahasia satunya lagi."
"Hah? Masih ada lagi? Bukannya rahasia lo cuman satu?"
"Duh." Saskara menepuk jidatnya dengan keras. Rupanya sama seperti Juwita yang geregetan, cowok itu juga berada dalam situasi yang sama.
"Ck! Jelasin, elah!"
"Nggak jadi, deh. Lupain saja."
"Ish!" Juwita kesal sekesal-kesalnya, tetapi kemudian segera mengerti apa yang dimaksud oleh Saskara. "Oooh, gue mulai ngeh. Soal perasaan lo, ya?"
Aksi diam Saskara pada detik berikutnya telah memberikan jawaban kepada Juwita secara tidak langsung, membuatnya senang.
"Cieee... akhirnya ngaku. Gue mesti patah hati nggak, sih?"
"Nggak usah, tapi karena udah telanjur, saya butuh bantuan kamu sampai situasinya stabil."
"Bantuan apa?"
"Cukup bertingkah seperti biasa saja, trus jangan jodoh-jodohkan saya dengan Anulika. Saya serius nggak mau ketahuan. Jangan sampai dia tau."
"Loh, kenapa?"
"Pokoknya jangan."
"Yaaa setidaknya kasih alasan, dooong. Lagian, gue juga udah tau semua rahasia lo. Ibarat udah kepalang basah gara-gara kecipratan lumpur, sekalian aja cemplung ke dalam."
Titah instruktur tentara yang membahana segera memotong pembicaraan keduanya. Juwita jelas sangat kesal, berbeda dari Saskara yang tersenyum saat melihat reaksi gadis itu meski samar.
Lantas dikarenakan tidak tega, Saskara akhirnya mengajukan alasan setelah beranjak dari bangku panjang. Kepalanya tak lupa ditundukkan agar bisa menatap Juwita.
"Menurutmu, gimana jadinya kalau dia tau saya--yang notabenenya bakal jadi saudara tiri dia--punya perasaan sama dia, lalu di saat yang sama, saya sudah tau kalau dia suka sama calon papa tirinya? Saya saja bakal malu semalu-malunya kalau jadi dia, trus bagaimana dengan dia?"
"Sas, bukan gitu maksud--"
"Mendingan saya yang dilibatkan dengan kamu daripada sama dia. Untuk sementara, saya akan membiarkan kamu dekat-dekat. Jadi, tolong, jangan lagi menjodoh-jodohkan saya dengan dia. Bisa, 'kan?"
"Hmm...." Juwita tampak menimbang-nimbang selagi puluhan murid berkumpul kembali ke lapangan untuk berpartisipasi dalam permainan. Dia tahu kalau dia dan Saskara juga diharuskan bergabung, tetapi sepertinya cowok itu tidak akan bergerak sebelum mendapatkan kepastian darinya.
"Juwita."
"Hmm... gue...."
"Bisa, 'kan?"
"Hmm... masalahnya...."
"Kenapa?"
"Gue udah telanjur minta Justin buat atur supaya kita sekelompok, setidaknya berempat biar kesannya kayak double date, gitu--"
"HAH?!"
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top