His Reason

Ada alasan kuat mengapa Saskara tidak ingin statusnya sebagai keluarga Pak Yunus ketahuan di sekolah.

Sudah bukan informasi baru bahwa Pak Yunus adalah guru tergaul di sekolah, meski sifat galaknya berpotensi bikin senam jantung. Tidak hanya senang berinteraksi dengan semua angkatan kelas XII, beliau juga sering mampir ke gedung sebelah Timur di mana kelas-kelas murid angkatan junior berada. Dulu sempat dirumorkan bahwa Pak Yunus melakukan itu supaya bisa menyapa Bu Naura--guru Matematika spesialis angkatan kelas XI--demi kepentingan pedekate, tetapi semua praduga terpatahkan karena beliau tetap rutin berkunjung walau Bu Naura sudah berpacaran dengan Pak Rio sang kepala sekolah. Tak diragukan lagi, Pak Yunus memang seramah dan seasyik itu.

Lantas, bagaimana mungkin Saskara mau membiarkan hidupnya yang tenang, didistraksi oleh bayang-bayang Pak Yunus?

Membayangkannya saja sudah sangat mengerikan. Itulah sebabnya, Saskara sudah mewanti-wanti agar rahasia itu aman terkendali tanpa perlu siapa pun tahu dengan cara membujuk Pak Yunus untuk meminta bantuan kepada Pak Rio. Rencananya berhasil, tetapi tetap saja, ada 'harga' yang harus dibayar untuk sebuah rahasia.

Karena sejatinya, rahasia tidak pernah abadi. Akan ada saatnya di mana rahasia itu akan terungkap, sama halnya dengan bom waktu yang akan meledak ketika saatnya tiba.

"Kita perlu bicara. Ikutin gue."

Perintah itu begitu jelas, membuat semua pandangan teralih padanya. Seharusnya ini bukan hal besar, tetapi situasinya menjadi berbeda dan efeknya terasa empat kali lebih ber-damage jika yang dilabrak adalah Saskara Damian. Jangankan berinteraksi, cowok itu tidak pernah diajak untuk berbicara berdua, apalagi yang menembaknya sekarang adalah Anulika Latief, yang populer di SMA Berdikari karena berprestasi dan namanya sering masuk dalam daftar peserta olimpiade.

Ini tentu memberikan semacam efek pro dan kontra bagi yang menonton pertunjukan gratis di kelas. Dalam waktu sekejap, kehebohan bertambah menjadi dua kali lipat hingga menarik perhatian kelas lain. Ditambah bel yang belum kunjung berdering membuat beberapa siswa bersemangat untuk mengajak teman-temannya yang lain.

Saskara spontan seperti menciut di bangkunya sementara Anulika yang belum paham akan reaksi cowok itu, mengira itu adalah aksinya yang disengaja karena ingin mengabaikannya. Terang saja, dia jadi malu karena telah 'ditolak' oleh cowok modelan Saskara.

"Heh! Cepetan berdiri, dong!" Anulika menarik bagian ujung seragam Saskara di bagian lengan, lalu menariknya berkali-kali.

"Anulika." Terdengar suara Juwita yang duduk di sebelah Saskara. Terselip teguran dari nada suaranya meski masih tergolong pelan.

"Saskara, gue ngomong sama lo." Anulika memanggil, diselingi wajahnya yang mulai memerah. Rasa gengsinya meninggi, tetapi dia tidak mempunyai pilihan selain memastikan Saskara ikut dengannya hari ini.

"Malika--eh, Anulika maksud gue. Saran gue kalo lo mau ngomong sama dia, mendingan jangan pas lagi rame-rame begini, deh. Yang ada si Saskara makin menciut, atuh!" Lagi-lagi Juwita menengahi, mengabaikan ekspresi Jeremy yang seperti biasa seolah diatur untuk mencibir semua yang dilakukan gadis itu.

"Nggak usah sok-sok menengahi, trus nggak usah sok-sok mengerti Saskara, deh!" cerca Jeremy. "Emang lo bisa tau isi hatinya? Lo nggak tau aja dia lagi nyusun strategi biar Anulika mohon-mohon. Dikiranya bakal ditembak kali, ya?"

"Heh! Lo seneng banget, sih, nyari gara-gara sama gue? Awas aja kalo salah jatuh hati! Gue doain mampus!"

"Gue? Jatuh hati sama lo?" Jeremy mendengkus sekeras-kerasnya. "Hellooo? Are you--"

BRAAAK!

"EH, KETUPRAK, KEDOBRAK, EH!"

Situasinya adalah Anulika baru saja memukul meja dengan kamus tebal, berhasil membuat kaget semua orang, tetapi sayang, Anulika lupa pada kebiasaan Saskara yang suka latah jika mendengar hardikan atau apa pun yang dilakukan secara tiba-tiba. Parahnya, latah Saskara seolah menjadi kontradiksi karena ledakan tawa yang menyusul setelahnya malah menggagalkan niat Anulika untuk menenangkan kehebohan.

"BISA DIAM NGGAK, SIH?!" hardik Juwita. Kekesalannya bertambah setelah mendengar tawa Jeremy yang paling keras. "Kita keluar dulu, yuk, Sas."

Siapa sangka, tarikan Juwita pada ujung seragam Saskara dilepas dengan tidak sopan oleh Anulika. Dengan ekspresi songong, gadis itu berkata sambil bersedekap, "Yang mau ngomong sama Saskara itu gue."

"Heh, udah dibilangin juga. Kalo mau ngomong sama Saskara itu tunggu sepi alias nggak ada orang di kelas. Lo kayak gini malah nambah kontroversi, atuh!"

"Memangnya lo nggak?" balas Anulika, semakin sewot.

"Ya, nggaklah. Gue, kan, temennya Saskara." Juwita ikut-ikutan sewot, yang jatuhnya jadi tak ubahnya drama perebutan cowok.

"Emang diakui?" tantang Anulika, membuat kehebohan bertambah lebay. Pasalnya, kini penonton terpecah menjadi dua kubu meski porsi terbanyak lebih condong ke Anulika.

"Gue duduk sama dia!"

"Semalam gue ketemu sama dia!"

"Heh--"

"Mau apa lo?"

"Apa-apaan ini?" tanya suara dalam pria yang sangat tidak asing dari ambang pintu. Ternyata saking hebohnya, tidak ada yang mendengar kalau bel masuk telah berdering lima menit yang lalu.

Saskara seketika menegang di bangkunya, tetapi tetap tidak melakukan apa pun. Seperti ciri khas orang introver pada umumnya, energinya seakan diserap habis oleh keramaian yang terlalu banyak.

Sejujurnya, dia berharap mempunyai kekuatan menghilang atau kalau perlu, sekalian menghilang dari bumi selamanya karena firasatnya sangat tidak enak.

"Dua cewek lagi memperebutkan Saskara, Pak!" seru salah satu siswa, membuat ekspresi Pak Yunus berubah drastis, dari clueless hingga super kaget.

"Saskara?"

"Iya, Pak. Kayaknya cinta segitiga, Pak!" sambut murid lain, membuat keributan semakin tidak keruan karena ditimpali argumen-argumen lain.

"Anulika awalnya mau ngajak Saskara ngomong! Kayaknya mau nembak, deh!"

"Anulika mau nembak Saskara, Pak!"

"Pak, Juwita cemburu!"

"Iya, Pak. Intinya saling memperebutkan. Berasa nonton drakor nggak, sih? Muehehe...."

"PAK! JUWITA SOK-SOKAN, PAK!" teriak Jeremy, berlagak seolah menjadi ketua tim paling heboh.

"Udah, UDAH! CUKUP!" hardik Pak Yunus meski aura killer-nya belum keluar. Kelas mulai tenang meski masih terdengar bisik-bisik yang sarat akan ledekan dan godaan. "Bel udah masuk. Yang bukan kelas XII IPA-1, silakan kembali ke kelas masing-masing."

Semua mendesah kecewa meski tidak ada yang berani membantah. Anulika bergerak menuju bangkunya, tetapi langkahnya berhenti saat mendengar suara Pak Yunus, "Jelaskan, Anulika, karena Bapak denger namamu yang paling banyak disebut."

"Hmm...." Pipi Anulika lagi-lagi bersemu merah, mendadak merasa sangat salah karena masalahnya menjadi super ribet. Kalau tahu jadinya begini, dia tidak mungkin mau mengajak Saskara di depan murid-murid lain. Mau tidak mau, dia membenarkan kata-kata Juwita meski Juwita tidak sudi mengaku.

"Anulika. Come on, take it easy. Bapak cuma mau denger penjelasan kamu saja. Nggak usah baper atau apa karena akan Bapak pastikan nggak ada yang meledek. Justru kamu harus klarifikasi biar nggak ada yang memperpanjang kontroversi ini. Ayo, jelasin."

"Saya cuman mau ngajak Saskara ngomong. Mungkin salah saya juga karena nggak mikir kalau Saskara bakal nolak waktu saya ajak ngomong berdua. Nggak ada maksud apa-apa, kok--sumpah, Pak. Saya--"

"Yowes, cukup. Kalau kamu, Juwita? Kenapa namamu disebut juga sebagai prahara--duh, sori. Bapak ikut-ikutan. Kesannya kayak drama rumah tangga, ya."

Kelas kembali terhanyut oleh gelak tawa, tetapi segera berhenti karena isyarat tangan Pak Yunus lalu matanya mengarah pada Juwita untuk memintanya menjelaskan.

"Yaaa... karena saya teman sebangku Saskara, jadi saya mencoba untuk mengerti dia. Saskara bukannya menolak Anulika, dia cuma kepalang stres sama keramaian. Taulah, Pak, orang introver kayak gimana."

"Yap, betul sekali!" Pak Yunus menjentikkan jari dengan semangat tinggi sembari tersenyum lebar yang otomatis memunculkan sepasang lesung pipinya. "Itulah sebabnya, Bapak mau mengatakan sesuatu pada kalian."

Saskara otomatis mendelik, mengira Pak Yunus akan mengatakan sesuatu yang tidak boleh diungkap. Juwita menyaksikan itu, tetapi dia tidak menyangka kalau ekspresi Anulika juga sama kagetnya.

Alisnya otomatis bergelombang, tetapi kata-kata Pak Yunus memberinya distraksi.

"Pesan moral yang harus kalian ketahui adalah belajar untuk mengenal karakter seseorang sebelum beraksi. Maksudnya begini; seperti Anulika yang belum pernah berinteraksi dengan Saskara tentu belum tahu seperti apa karakternya sehingga ini bisa menjadi pelajaran bagi Anulika untuk berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak. Ini juga berlaku sama buat yang lain. Kalo Juwita--mungkin karena dia sebangku sama Saskara, jadi bisa mengerti--tapi terlepas dari itu, tetap saja dia belajar untuk mengenal karakter Saskara. Itulah sebabnya, dia berniat baik untuk menengahi, bukan sok-sokan seperti yang dibilang oleh Jeremy."

Pak Yunus melempar tatapan peringatan kepada yang bersangkutan, membuat yang disindir seketika terkesiap sementara Juwita terang-terangan mengacungkan jempol kepada sang wali kelas yang segera dibalas dengan kedipan sebelah mata.

Kelas lagi-lagi ribut karena respons Pak Yunus sehingga tidak ada yang memperhatikan bahwa selama sepersekian detik Anulika beradu tatap dengan Saskara yang secara kebetulan juga menatap balik. Durasinya sangat sebentar karena keduanya segera membuang wajah ke sisi lain.

Anulika tidak mengerti mengapa dia menjadi semakin penasaran dengan Saskara setelah apa yang terjadi hari ini. Jika awalnya dia merasa malu karena ajakannya ditolak, kini bisa dibilang kalau dia semakin tertantang untuk 'menaklukkan' Saskara.

Anulika yakin dia bisa, sebab bukankah prestasinya lebih gemilang di sekolah? Dibandingkan dengan Juwita Ramlan, keberadaannya tentu lebih ter-notice.

Ini seperti sekali tepuk dua lalat karena dia membutuhkan Saskara untuk menjalankan aksi yang sudah disusunnya. Diam-diam senyuman Anulika terbit sebelum kembali ke bangkunya dan memperhatikan Pak Yunus mengajar dengan hati yang penuh.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top