His Grief

Penglihatan Anulika kembali ke masa kini, bertepatan dengan angin semilir yang berhasil menyapu habis rambutnya hingga berayun seenaknya.

Sembari merapikan surainya, gadis itu memalingkan wajah pada Saskara Damian yang mana adalah sosok dewasa dari anak laki-laki yang pernah menjatuhkannya ke tanah kala itu.

Meski mereka adalah pribadi yang sama, Saskara yang dulu adalah tipikal sensitif sedangkan yang sekarang jauh lebih tertutup, seolah tidak terjamah oleh siapa pun. Lantas... apakah insiden di masa lalu berperan besar dalam membentuk karakternya yang sekarang?

"Jadi... gimana perasaan lo?" Anulika memberanikan diri untuk bertanya. Walau sempat skeptis dan membayangkan serangan Saskara di masa lalu, tetap saja dia merasa mempunyai kewajiban untuk menanyakan keadaannya.

Bagaimanapun juga, Saskara pernah menitipkan kepercayaan padanya.

"I'm fine," jawab Saskara kalem, begitu pula dengan tatapan yang dia tujukan pada Anulika.

Gadis itu mengerjap sekali, seketika merasakan seolah ada yang mencubit organ tubuhnya dari dalam. Sensasinya sangat tidak nyaman karena rasanya seperti makan terlalu banyak dan ada yang berkedut-kedut dari dalam.

"Not that wound." Anulika melirik siku Saskara sebelum beralih ke bagian dada, tepat di mana letak jantungnya berada. "I mean that pain, that grief. You lost your parents. I--I'm sorry to hear that."

Saskara lagi-lagi bungkam, tetapi Anulika tahu bagaimana kata-katanya telah mempengaruhinya sedemikian rupa hingga dia membutuhkan jeda untuk menguasai diri.

Sejujurnya, situasi ini juga berlaku untuk Anulika karena seumur-umur eksistensinya, apalagi setelah bertemu dengan Saskara versi mini, dia belum pernah menghibur orang lain setulus itu.

Maka, bisa jadi, kata-kata sederhana itu berhasil menyentuh bagian dasar dalam relung hati Saskara, yang kini terealisasikan lewat cairan bening dan perubahan warna pada matanya. Merasa tidak tega, Anulika mengangkat sebelah lengannya untuk menyentuh--tidak berani mengusap--lengan Saskara, setidaknya sebagai perwujudan dari empatinya dan menunjukkan bahwa eksistensinya ada untuk menemaninya.

Tindakan Anulika jelas sudah lebih dari cukup karena Saskara mendadak membuang pandangannya ke arah lain, menyembunyikan kesesakan yang dia pendam dari dalam hatinya.

"Saskara."

"Y-ya?"

"Gue boleh kasih nasehat, nggak?"

Saskara menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Boleh."

"Kalo mau nangis, nangis aja. Nggak usah malu."

"...."

"Gue tau ini penghiburan paling klise dan mungkin--lagi-lagi--ini mengingatkan lo pada gue di masa lalu yang mana bukan ini yang lo perlukan. Tapi percaya, deh, lo bisa mengandalkan gue. Lo bisa bersandar ke gue."

Saskara masih belum mau berbicara ataupun menyanggah, tetapi netranya berhasil tertuju kembali ke Anulika, menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Kentara sekali kalau dia sedang menahan tangisannya.

"Yeah... you know. We are going to be a family. I'll be your sister and for you... you'll have a sister. New family, new life, and new page--huh? So, I think... it's better for welcoming. Don't act like you are alone in this world."

"...."

"Jawab, dong. Lo bikin gue mati gaya. Tau nggak, sih?"

"Hmm... i-iya."

"Nah, bagus. So... mulai sekarang, jangan sungkan sama gue. Oke?"

"Iya."

"Hmm... mau balik sekarang?"

Saskara mengangguk walau jujur saja, dia merasa linglung dengan apa yang terjadi hari ini. Rasanya seperti unbelievable, seolah-olah terlalu nyata untuk menjadi kenyataan.

Cowok itu semakin tidak mengerti akan situasi yang malah semakin mendekatkannya dengan Anulika. Sebenarnya... apa tepatnya yang semesta rencanakan?

*****


Sesuai rencana Juwita yang akhirnya disetujui oleh Justin, Saskara dan Anulika memang berhasil dipasangkan dalam permainan berikutnya, tetapi itu tidak lantas membuatnya berhenti sampai di sana. Tidak tanggung-tanggung, gadis itu sengaja membuntuti keduanya agar bisa menguping.

Alhasil, Justin-lah yang misuh-misuh karena merasa menjadi pihak yang paling dirugikan dalam pengaturan kelompok ini.

"Nggak usah sok-sok jadi detektif, deh, lo! Kita punya misi yang harus diselesaikan, loh!"

"Sisanya biar gue aja nanti. Gue lagi pengen denger mereka ngomongin apa. Kepo banget gue." Juwita mengintip di antara dedaunan hanya untuk mengamati duo Saskara dan Anulika di baliknya. Walau keduanya sedang sibuk menemukan pita kuning alih-alih berbicara seperti yang diharapkan oleh Juwita, tetap saja, gadis itu ingin terus mengawasi.

"Kepo apaan? Bilang aja lo sebenarnya cemburu. Bener, 'kan? Lo mau mengecek sedekat apa mereka."

"Nggak mungkin kali, ma'bro."

"Gue berani bertaruh. Lo itu suka sama Saskara." Justin menuding Juwita dengan tangan yang menggenggam banyak helaian pita. Gitu-gitu, dia sengaja melakukannya sebagai ajang pamer karena telah berhasil mengumpulkan banyak pita berkat usahanya sendiri.

"Teorinya gimana? Kenapa lo bisa seyakin itu?"

"Rasa suka muncul karena terbiasa. Gue setuju dengan teori itu."

"Oh, jadi kesimpulannya... lo suka sama Malika, dong?"

"Etdah, bukan itu maksud--"

"Jelas iya." Juwita menunjukkan seringainya, lalu turut menuding Justin dengan tangan yang menggenggam pita. Meski jumlahnya kalah jauh dengan cowok itu, nyatanya, dia juga ingin menunjukkan partisipasinya sebagai rekan tim.

"Ya, udah. Kita taruhan. Kita lihat siapa yang paling patah hati kalo mereka jadian. Gimana?"

"Yowes. Siapa takut? Yang kalah ngapain?"

"Yang kalah traktir yang menang selama sebulan. Gimana? Level indra pengecap gue selevel restoran, betewe. Sanggup, nggak?" tantang Justin dengan seringai yang tercetak dalam pada salah satu sudut di bibirnya.

"Sangguplah. Lo kira gue jadi selebgram itu ala-ala doang? Bermodal kali, gue."

"Dih. Jalur berbayar, toh?"

"Heh, bukan itu maksud gue. Maksudnya penampilan, kan, harus bermodal. Mulai dari skincare--"

"Udah, udah. Bisa sampai besok kalo nunggu lo jabarkan sebanyak apa modal lo. So... deal?"

"Deal!" Juwita sampai menaikkan dagunya saking tertantangnya. "Tapi ngomong-ngomong tentang traktir, gue jadi inget sesuatu yang penting. Gue mau ikutan les privat yang lo tawarin ke Saskara, dooong."

"Dih, ogah."

"Loh, kok gitu?" Juwita protes dengan intonasi nada yang meninggi. "Saskara udah bilang nggak mau, loh, tapi bukan berarti gue gantiin dia. Gue pengennya lo tetap ajak Saskara dan gue tetap masuk. Jadi, kita bertiga--eh, berempat aja sama Anulika biar lo on fire tiap liat kedekatan dia sama Saskara."

"Apa lo bilang?" Justin tersinggung. Tangannya langsung berhenti saat menghitung jumlah pita yang ada dalam tangannya.

"Intinya, kita les berempat aja. Pasti dibolehin, atuh, sama gurunya. Siapa, sih, yang nggak mau nambah rezeki? Eh, pamali loh kalo halangin rezeki orang."

"Kalo ngomong memang sok bener, ya, lo."

"Kan, memang bener."

"Ck. Entar konsentrasi gue terganggu kalo rame-rame. Nggak, ah!"

"Ih... Modar! Jangan gitu, dooong!"

"Heh, enak aja ya manggil gue dengan julukan seenak jidat lo."

"Kenapa? Mau dipanggil 'Sayang'?" Juwita lagi-lagi menantang. Sejujurnya, dia sedang dalam mode iseng saking geregetnya dengan tingkah Justin yang menurutnya sok keren itu. Namun siapa sangka, reaksinya malah semakin membuat Juwita ketagihan untuk semakin menggodanya. "Wow... bisa blushing juga, ya? Hanya untuk panggilan 'Sayang' doang?! So unbelievable!"

"Heh, siapa bilang--"

"Sayang."

"JANGAN PANGGIL GUE KAYAK GITU."

"Modar Sayang."

"HEH! UDAH DIBILANGIN--"

"IYAIN DULU--"

"IYA!" Justin menjawab spontan, lalu terkesiap pada detik berikutnya. Terang saja dia syok sendiri karena mengiakan permintaan Juwita yang tidak dia ketahui dengan pasti apa itu.

"Yes!"

"Apa-apaan lo?"

"Les bareng. Lo udah okein. Hore!"

"Ish!"

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top