His Attention

Saskara membuka mulut, awalnya bermaksud mengajukan argumen atau setidaknya menyanggah teori yang dikemukakan Juwita, tetapi pada akhirnya tidak jadi gara-gara kebiasaan overthinking-nya lagi.

"Eh, mau ke mana?" Juwita lagi-lagi menghalangi Saskara dengan tubuhnya saat mendapati dia mengayunkan sebelah kakinya ke depan. "Lo masih utang penjelasan sama gue."

Cewek itu lantas bersedekap dengan ekspresi serupa tukang palak di gang-gang sempit. Bisa jadi karena Juwita memiliki tinggi badan yang mencapai standar model wanita sehingga kesannya menjadi lebih berwibawa.

"Apa harus sekarang?"

"Nggak, tahun depan. Ya, sekaranglah! Mumpung udah bolos juga." Juwita jadi nyolot.

"Tapi saya nggak berencana bolos sampe jam istirahat."

"Hmm... badboy ala-ala ternyata. Ya udah, deh. Gue tunggu cerita lo pas jam istirahat aja, ya."

"Iya."

"Lah, trus mau ke mana? Bukannya kelas kita arah sini?" Juwita lagi-lagi clueless sebab alih-alih searah, Saskara malah berbalik ke arah yang lain.

"Mau ke toilet."

"Oh." Seringai jahil Juwita mendadak muncul. "Mau gue temani, nggak--pfft! Ha ha ha... cuman bercanda, elah! Serius amat."

Juwita memberi gerakan mengusir dengan sebelah tangan sebelum berbalik yang dibalas Saskara dengan ekspresi datar, tetapi ikut berbalik tidak lama kemudian. Jarak keduanya melebar dengan langkah yang berirama seolah-olah sepakat untuk tidak menoleh satu sama lain, tetapi di satu titik, Juwita sempat berhenti demi menyaksikan punggung Saskara menjauh hingga ditelan oleh belokan koridor.

Gadis itu menghela napas pendek, merasa agak konyol karena sempat membayangkan adegan dalam FTV yang mana mirip dengan yang dia lakukan sekarang.

Adegannya boleh jadi sama, tetapi vibes-nya jadi berbeda jika pemeran cowoknya setipe dengan Saskara.

"Kayaknya gue terlalu ngehalu. Plislah, di tahun terakhir gue sekolah malah pada rada-rada semua cowoknya. Nasib, nasib!"

*****


Terkadang Anulika merasa bersyukur karena bisa menutupi sisi rapuhnya, tetapi ada kalanya dia juga merasa iri dengan teman-teman lain yang bisa mencurahkan isi hati sebebas-bebasnya.

Selayaknya kodrat manusia yang bersifat sosial, nyatanya gadis itu membutuhkan sosok yang menawarkannya sandaran, yang memberikannya keyakinan bahwa beban tidak selamanya dan tidak mutlak ditanggung sendirian, di saat usianya yang masih terlampau muda.

Memilih jurusan juga bisa menjadi salah satu hal sederhana yang tidak bisa dipraktekkan Anulika untuk berbagi. Jika remaja-remaja lain bisa berkonsultasi dengan temannya atau bahkan bertanya kepada guru yang dipercaya, Anulika tidak mempunyai siapa-siapa.

Namun, bukan berarti gadis itu tipikal anak broken home yang dibuang keluarganya, melainkan karena saking kuatnya prinsip independen yang telah ditanamkan mamanya sejak dia kecil. Dimulai dari mampu belajar sendiri tanpa perlu mengikuti les, berani mendaftar sekolah tanpa ditemani, hingga tidak mewajibkan mamanya menghadiri rapat atau pertemuan yang seharusnya memerlukan eksistensinya.

Ya, Anulika sudah terbiasa melakukan banyak hal tanpa Veronika, termasuk Deka--abangnya.

Jujur, gadis itu tidak sedih. Malah dia bersyukur karena terhindar dari julukan anak mama yang apa-apa harus ditemani atau istilahnya manja. Tidak. Jika harus memilih atau diizinkan untuk dilahirkan kembali, dia tidak akan berubah pikiran.

Hanya saja, kembali ke statement tadi, namanya juga manusia yang bersifat sosial. Semampu-mampunya Anulika sendiri, nyatanya dia butuh teman. Nyatanya, dia bisa jenuh dengan keadaan yang monoton atau bosan dengan kesendiriannya. Dan nyatanya, dia akhirnya kalah oleh rasa iri saat melihat beberapa temannya haha-hihi bersama sahabatnya. Nyatanya... nyatanya....

Akhirnya, terlalu banyak kata 'nyatanya' ketika dia menginjak masa pubertas, tetapi sepertinya semua sudah telanjur. Realitanya, dia terlampau gengsi untuk mengakui kebutuhan atas sosialisasinya.

Kemudian, entah semesta sedang berusaha memberinya kesempatan atau dia sedang masuk dalam masa pengujian takdir, Anulika tidak tahu. Yang jelas dalam masa-masa sulitnya, gadis itu dipertemukan dengan Pak Yunus. Beliau adalah satu-satunya yang berhasil mematahkan prinsipnya atas kesendirian yang selalu menjadi pedoman hidupnya, juga memberi pembelajaran tersirat tentang apa saja keuntungan jika bergaul dengan banyak teman.

"Anulika, kamu mau tau, nggak, apa bedanya orang pintar sama orang beruntung?" Pak Yunus suatu kali bertanya, tepatnya ketika Anulika masih di tahun pertamanya sekolah pada semester kedua.

Anulika menggeleng, tetapi malah ditertawai oleh Pak Yunus dengan kekehan khas bapak-bapaknya.

"Ya, bedalah. Wong ejaannya beda--oke, oke. Bapak serius sekarang." Pak Yunus mulai menetralkan ekspresinya meski tatapan jenaka masih belum minggat. "Sebelum Bapak jelasin, kamu pilih dulu, deh, lebih milih yang mana; pintar atau beruntung--eits, sebutkan alasannya juga, ya."

Anulika sempat membeku dengan mulut terbuka setengah, tetapi kemudian menutup dan membukanya lagi usai berpikir sejenak. "Jadi orang pintar. Alasannya karena belum tentu orang beruntung itu otaknya pintar. Dia cuma terselamatkan oleh keberuntungan yang belum tentu bisa terulang kembali. Sedangkan pintar, selama otaknya jenius, kepintarannya akan terus berkelanjutan dan nggak ada habis-habisnya. Yang ada malah makin pintar."

"Tapi kalo kepintarannya terbagi lagi menjadi pintar yang terasah dengan yang tidak terasah, kamu lebih pilih mana?"

"Loh, kok, jadi bercabang pertanyaannya?" Anulika protes, lagi-lagi memancing kekehan khas Pak Yunus.

"Sebenarnya Bapak berharap kamu milih tim orang beruntung biar bisa dapet pembelajarannya. He he he...."

"Maksudnya, Pak?"

"Bapak berharap kamu nggak cuman menjadi pribadi yang pintar doang, tetapi juga dalam artian bisa berbagi ke orang lain. Buat orang-orang zaman dulu, orang yang punya otak encer itu identik dengan orang yang cenderung pelit karena nggak sudi berbagi informasi. Sharing resep makanan aja pelitnya kayak ditagih rentenir; rada khawatir sampe tremor gitu. Nah, Bapak mau ngajarin kamu untuk tidak berpikir kotak-kotak seperti itu. Nih, ya. Yang bener itu...."

Pak Yunus memberi jeda hanya untuk berdeham secara dramatis, membuat Anulika refleks merotasi matanya dengan tatapan plis-deh-nggak-usah-lebay. Usai menyengir dengan gaya gaulnya, beliau melanjutkan, "Semakin sering orang yang pintar belajar untuk mengajari temannya yang lain, semakin tinggi kemampuan orang itu dalam mengasah otaknya. Coba kamu perhatikan mereka yang udah jadi guru. Kayak Bapak, misalnya."

"Alahhh, Bapak narsis lagi."

"Serius ini. Jangan takut kamu bakal tersaingi sama temen-temen lain. Semua punya porsinya masing-masing. Selain menambah amal, kamu juga bisa sekalian latihan soal-soal yang tentunya sangat membantu ketika ujian nanti. Bener, toh?"

"Iya juga, ya, Pak. Jadi... saya harus sering-sering ngajarin temen, nih? Tapi saya, kan, nggak ada temen. Udah telanjur dicap cewek pelit, sih, Pak."

"Tenang aja. Kamu bisa bergaul sama temen-temen yang satu circle dulu. Pelan-pelan aja. Bapak tau ini juga nggak gampang buat kamu. Yang penting, jangan berpikir sendirian itu enak melulu. Nanti jomlo terus, loh, kayak Bapak."

"Bapak nggak mau nembak Bu Naura, sih." Anulika meledek, yang otomatis membuat Pak Yunus mendelik padanya.

"Heh, lambemu!"

"Hati-hati diembat guru lain, loh."

"Emang siapa? Cuma Bapak yang belum berkeluarga."

"Pak Rio, mungkin. Kayaknya deket, toh, sama Bu Naura? Apalagi ada insiden yang terjadi baru-baru ini, yang ada kaitannya juga sama mereka berdua."

"Bener-bener lambe, ya, kamu. Kok tau serinci itu? Nggak banyak yang tau, loh, soal ini--"

"Nggak punya teman bukan berarti buta informasi, Pak. Lagian, saya termasuk tipikal yang level kekepoannya tinggi."

Anulika selesai membasuh wajahnya di wastafel, tetapi sejujurnya dia melakukan itu supaya tidak ketahuan menangis meski matanya sudah mencapai level bengkak yang maksimal.

Kenangan demi kenangan terus membanjiri pikirannya bak film dokumenter yang terus-menerus diputar. Nyatanya, kini dia harus menghadapi fakta kalau Pak Yunus akan menikah dengan wanita pilihannya.

Dengan Veronika, mamanya sendiri.

Lantas, dari semua wanita di dunia, mengapa harus mamanya?

Anulika menyeringai. Jatuhnya jadi menyedihkan karena mata bengkaknya yang mendominasi. Meskipun demikian, sekarang dia bebas melakukannya karena sendirian di toilet.

Sendirian. Ya, sekarang gue kembali sendirian. Apa gunanya berusaha berteman dan mempercayai seseorang? Nyatanya, orang datang dan pergi. Orang yang pergi akan menyisakan luka kepada yang ditinggalkan. Orang yang datang akan mewariskan luka suatu saat.

Nyatanya, akan lebih baik jika gue nggak pernah bersandar pada siapa pun. Akan lebih baik nggak ada yang tau kesedihan gue. Akan lebih baik....

Anulika membungkam mulutnya untuk mencegah tangisannya meledak, mengira dia benar-benar melalui semuanya sendirian, tetapi gadis itu tidak tahu atau mungkin belum tahu bahwa sedari awal sudah ada orang lain yang berdiri di balik pintu toilet yang salah satu bagiannya terbuka lebar, menemaninya dalam diam.

Netranya turut memerah karena beragam emosi yang hampir meledak keluar. Keduanya seolah berbagi kesedihan yang kurang lebih sama, menunjukkan sebesar apa luka yang dirasa.

Nama di name tag-nya terbordir dua kata; Saskara Damian.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top