Controversy

Juwita maju selangkah, membuat gayanya terlihat keren karena kesannya seperti menjadikan dirinya sebagai tameng di depan Saskara. "Gue udah pernah bilang, 'kan? Kalo mau ngomong sama Saskara itu jangan di tempat rame kayak gini?"

"Gue jadi punya pertanyaan," kata Anulika dengan nada menyebalkan. "Apa jangan-jangan lo udah tau dari awal hubungan Saskara dengan Pak Yunus?"

"Nggak."

"Wah... kalo nggak, suka sama Saskara?"

"Kenapa lo bisa langsung menyimpulkan kayak gitu?" Juwita protes sekaligus mulai risih karena kehebohan semakin mengganas. Beragam versi ekspresi bermunculan selagi bisik-bisik yang terdengar semakin mengeras.

"Memang iya, 'kan? Jawabannya antara pansos atau suka sama Saskara."

"Nggak usah sok tau gitu, dong. Jelas-jelas salah, tapi masih aja nyolot."

"Memangnya jawaban lainnya apa?"

"Saskara temen gue, jadi tentunya gue harus peduli. That's what friends are for. Gue rasa lo-nya aja yang overthinking."

"Nggak usah--"

"Ini kenapa kumpul-kumpul begini?" Suara wanita memotong kata-kata Anulika sekaligus berhasil membungkam kehebohan yang terjadi. Auranya begitu mengintimidasi hingga tidak ada satu pun murid yang berani berkutik.

Siapa lagi gurunya kalau bukan Bu Naura? Kedatangannya disusul oleh Pak Yunus. Berbanding terbalik dengan aura Bu Naura yang tampak keren, Pak Yunus terlihat lebih merakyat dengan cara berjalannya yang tergopoh-gopoh.

"Kenapa kumpul-kumpul begini kalian?" Pak Yunus bertanya, lalu ekspresinya mencelus saat melihat Saskara berdiri di dalam kerumunan bersama Anulika dan Juwita. "Ada apa ini?"

"Tanya aja sama Mali--eh, Anulika, Pak. Kan, dia yang menyudutkan Saskara!"

"Apa lo bilang? Yang benar, tuh, gue yang lari trus Saskara yang ngejar sampai sini!" Anulika berkilah, mulai ngegas.

"Jadi, jelas, 'kan? Lo yang menimbulkan kontroversi!"

"Lo kira lo nggak, apa? Bukannya lo juga ada hubungannya?"

"Lo--"

"Anulika, Juwita! Apa kalian lagi pentas di sini?" tegur Bu Naura dengan nada berbahaya. "Sekarang kalian ikut saya ke Ruang BK!"

Baik Anulika maupun Juwita terlihat enggan, tetapi keduanya langsung menurut saat mendengar titah Bu Naura. Sementara itu, Pak Yunus mendekati Saskara.

"Mumpung pada ramai, Bapak mau klarifikasi ulang kalau Saskara sebenarnya adalah keponakan berkedok anak kandung Bapak. Kenapa rumornya 'anak'? Karena dia udah menjadi tanggungan Bapak sejak balita. Teknisnya, nama Saskara masuk dalam Kartu Keluarga Bapak sebagai anak."

Pak Yunus memberi jeda, lantas memandang satu per satu dalam kerumunan untuk memperhatikan reaksi mereka. Ada yang menyanggupinya dengan mengangguk, ada yang masih berbisik seru dengan temannya, dan ada pula yang memilih untuk meninggalkan kerumunan. Mungkin merasa apa yang mereka dengar sudah lebih dari cukup. Lagi pula, waktu sudah menunjukkan hampir pukul tujuh. Anulika beserta Bu Naura dan Juwita sudah bertolak menuju Ruang BK.

"Sas, ayo kita ke Ruang BK." Pak Yunus mengajak, yang otomatis memberi kode kepada para murid untuk membubarkan barisan. Lagi-lagi, ini menjadi realita yang terlalu sepele untuk sebuah ekspektasi mengingat Saskara pernah membayangkan akan semengerikan apa momennya saat ketahuan.

"Payus."

"Ya?"

"Aku mau minta maaf."

"Kenapa?"

"Masalahnya mungkin nggak akan seribet ini kalo sedari awal ngakunya. Kejadian hari ini bikin aku lebih... lebih sadar diri."

"Nggak ada yang perlu disesalkan, Saskara, tapi Paman seneng karena kamu kayaknya udah lebih welcome."

"Welcome gimana?"

"Entahlah, mungkin cuma perasaan aja. Tapi pastinya... Paman rasa cara kamu menanggapi segala hal udah lebih baik daripada yang lalu."

Bel berdering pada saat itu juga, tetapi Pak Yunus tidak menyuruh Saskara untuk kembali ke kelas. Maka, keduanya tetap berjalan santai di antara arus keramaian para siswa yang berbondong-bondong memasuki kelas masing-masing. Banyak yang menatap mereka dengan tatapan kepo, tetapi diabaikan begitu saja oleh duo paman dan keponakan.

"Aku akui itu, Paman. Awalnya aku nggak ngerti, tapi aku jadi 'ngeh' setelah akrab kembali dengan Anulika."

"Anulika?" Pak Yunus membeo.

"Payus inget anak perempuan yang pernah terlibat kasus sama aku, nggak? Yang dari SD Merdeka?"

"Gimana nggak lupa? Itu pertama kalinya kamu memberontak dengan cara yang ekstrem. Kamu sukses bikin Paman jantungan seharian waktu itu." Payus memicingkan matanya, menatap Saskara dengan penuh selidik. "Jangan bilang dia itu Anulika versi mini."

"Iya, Payus. Mereka adalah orang yang sama."

"HAH, KOK BISA?!"

"Iya. Kukira Payus tau, tapi sengaja diem karena nggak mau mengungkit kenangan lama."

"Paman nggak ngeh kalo itu Anulika, loh. Orang yang sama, serius?!"

"Iya, Paman. Namanya juga nggak berubah."

"Ya kali kalo sampai berubah juga." Pak Yunus mendengkus keras-keras. "Trus kenapa kalian jadi tontonan banyak orang? Seharusnya Paman yang di sana, bukan kalian."

"Hmm... terjadi sesuatu. Paman nggak usah ikut ke Ruang BK aja, ya, nanti. Bapak balik ngajar aja."

"Loh, kenapa? Ohya, omongan tadi belum selesai. Setelah akrab sama Anulika kenapa memangnya?"

"Ya, gitu. Mungkin rasa bersalah aku waktu kecil udah terselesaikan. Rasanya kayak nggak semengerikan ketika berhadapan sama orang-orang."

"Bagus sekali. Paman bangga sama kamu. Yuk, Paman temani ke dalam ya. Tenang aja, udah izin sama Pak Rio, kok."

"Hng... nggak usah aja, Paman. Udah cukup Bu Naura."

"Loh, kenapa? Kamu meragukan Paman sebagai guru yang bisa handle permasalahan siswa?" tanya Pak Yunus dengan nada tersinggung meski ekspresinya tidak demikian.

"Bukan gitu. Cuma...." Cuma bakal ketahuan aja kalo Payus ikut. Saskara hanya bisa melanjutkan sisa kalimat dalam hati.

"Cuma kenapa? Ck, nggak usah overthinking, deh. Kebiasaan. Buruan kita masuk, nanti mereka kelamaan nunggunya."

Pak Yunus membuka pintu, disusul Saskara di belakang. Anulika dan Juwita duduk bersama di sofa bersama Bu Naura yang menempati sofa tunggal.

Pak Yunus mendaratkan bokongnya di seberang Bu Naura sementara Saskara terpaksa duduk di antara Juwita dan Anulika mengingat tidak ada yang mengalah untuk bergeser. Keduanya saling berbagi tatapan sinis, membuat Saskara merasa tidak enak hati.

"Oke, berhubung Saskara udah di sini, mari kita luruskan." Bu Naura memulai dengan wibawanya yang horor seperti biasa. "Ibu harap tidak ada konflik susulan setelah kesalahpahaman diselesaikan. Itulah sebabnya, Ibu tidak ingin ada yang ditutup-tutupi."

"Iya, Bu." Ketiga siswa menjawab dengan nada pelan.

"Mulai dari kamu, Anulika. Jelaskan."

"Saya kebetulan dari toilet dekat Ruang Auditorium, Bu, trus saya denger Juwita lagi ngomong sama Justin."

"Oke. Juwita, kamu jelasin apa saja yang kamu bicarakan ke Justin."

Juwita berdeham sejenak sebelum menceritakan sedetail-detailnya tanpa ada yang ditutupi. Ketika sudah sampai pada topik sensitif, Saskara bisa melihat bagaimana keterkejutan Pak Yunus dan Bu Naura walau keduanya memilih untuk tidak menginterupsi.

"Maaf kalo kesannya sok caper atau pansos seperti yang dibilang Anulika." Tersirat nada sinis dalam kata-kata Juwita, membuat yang disebut-sebut refleks mendelik dengan tatapan horor. "Tapi saya benar-benar nggak bermaksud demikian. Yang saya pikirkan saat itu, saya cemas dengan sindrom anti sosial Saskara dan merasa kalau Justin adalah orang yang tepat untuk ikut membantu."

"Oke. Kalo kamu, Saskara? Apa ada yang mau kamu sampaikan?" tanya Bu Naura, mengalihkan mata kucingnya ke nama yang dimaksud.

"Saya cuma mau bilang sama Anulika soal...." Saskara memutar bokongnya sedikit agar bisa berhadapan dengan Anulika. "Saya hanya mau menjaga perasaan kamu. Itu aja."

"Baik. Berarti kalian semua udah menceritakan secara lengkap apa yang terjadi," kata Bu Naura setelah mengembuskan napasnya. "Untuk Anulika, biarkan Ibu mengatakan beberapa patah kata. Apa boleh?"

"Iya, Bu."

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top