Comprehension
"Katanya, rasa suka tidak bisa ditahan seperti kamu menahan batuk. Kalaupun bisa, tetap saja akan ketahuan pada akhirnya. Tidak salah menyukai guru sendiri, Anulika, Ibu tidak menyalahkan kamu. Lagi pula, Pak Yunus masih single. Kamu lebih dari berhak untuk menetapkan rasa suka itu. Hanya saja... ceritanya akan berbeda kalo kamu meluapkan emosi ke orang yang tidak bersalah. Saskara dan Juwita peduli sama kamu. Ibu yang sebagai pendengar saja bisa merasakan niat baik mereka."
"Iya, Bu. Saya mulai paham."
"Jadi, apakah kamu bersedia berbaikan dengan mereka? Juwita tetap saja salah karena membicarakan kamu di belakang, makanya Juwita juga harus meminta maaf." Bu Naura mengalihkan fokus kepada Juwita, memberi isyarat lewat tatapan matanya.
"Iya. Aku minta maaf, ya, Anulika. Maaf karena udah lancang."
"Dan kamu, Saskara. Apa ada yang mau kamu tambahkan?"
"Lika, anggap aja apa yang kamu dengar tadi nggak pernah terucap, ya."
"Kenapa?" Anulika bertanya. Sejujurnya, yang tadi adalah tindakan refleks jika ditilik dari caranya menipiskan bibir sedetik setelahnya.
"Akan jadi sangat tidak nyaman kalo kamu terus mengingatnya. Lagian seperti yang kamu bilang di vila waktu itu, kita udah mau jadi keluarga dan udah saatnya kita mengakrabkan diri satu sama lain."
"Wah, bagus itu." Pak Yunus tiba-tiba nimbrung, menginterupsi Anulika yang sudah membuka mulutnya. "Sekalian ada yang mau Paman sampaikan."
Sambil melirik Bu Naura di seberangnya, Pak Yunus tersenyum lebar hingga memperlihatkan lesung pipinya. "Jangan terbebani dengan pernikahan Paman lagi, ya, Saskara. Paman prefer kamu meneruskan apa yang kamu rasakan. Itu jauh lebih penting dari apa pun."
"Kenapa Paman bilang begitu?"
"Bapak sudah ngomong serius sama Mama kamu." Alih-alih menjawab Saskara, Pak Yunus malah menatap Anulika. "Bisa dibilang deep talk juga, sih. Banyak yang kami bicarakan hingga sampai pada satu kesimpulan bahwa mungkin kami harus mempertimbangkan lebih banyak hal yang jauh lebih penting.
Mamamu cemas sama kamu, Lika." Pak Yunus melanjutkan sebelum tersenyum lagi. "Jika harus memilih, katanya, dia lebih mengutamakan kebahagiaan kamu. Toh, dipikir-pikir--katanya lagi, Bapak sama dia lebih cocok jadi temen ngobrol. Selama ini yang kami bicarakan adalah seputar pengalaman hidup. Mamamu tipikal super mandiri, tapi terkadang membutuhkan teman. Bisa jadi gara-gara usianya yang lebih tua dari Bapak membuat Bapak seketika merasa terayomi."
Anulika mengangguk. Dia tidak tahu harus merespons apa sehingga lebih tertarik untuk memperhatikan ekspresi Bu Naura selagi jeda berlangsung. Baru disadarinya bahwa guru Matematika itu lebih cocok bila bersanding dengan Pak Yunus.
Gadis itu bukannya tidak tahu tentang keberlangsungan hidup di SMA Berdikari. Dia tentu tahu bagaimana awal muasal Pak Yunus menyukai Bu Naura sampai dinamikanya dengan Pak Rio sang Kepala Sekolah. Nyatanya, bukan berarti rasa sukanya kepada Pak Yunus membuatnya buta. Tidak. Rasa sukanya malah membuat gadis itu lebih peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya.
"Makasih, Anulika. Bapak menghargai perasaan kamu dan... apa perlu Bapak jawab? Bapak pernah berada di posisi kamu dan--entah prinsipmu sama dengan Bapak atau tidak--Bapak lebih suka mendengar jawaban yang terus terang."
"Tentu, Pak." Anulika mengembuskan napas pelan, lalu tersenyum untuk kali pertama. Di sebelahnya, Saskara menyimak dan turut melakukan hal yang sama meski secara diam-diam. Juwita lain lagi. Dia mengamati semuanya dengan ekspresi bak penonton yang sedang menunggu bagian ending-nya. Jika saja ada berondong jagung di sisinya, dia sudah pasti melahapnya dengan enjoy.
"Bapak nggak pernah expect bakal ada siswi yang suka sama Bapak, tapi biarkan Bapak bilang gini. Walau bagaimanapun juga, jenjang usia kita begitu jauh. Bayangin aja, nih. Bapak sekarang udah umur 36 tahun, jarak usianya sampai dua kali umur kamu. Kalo umur kamu udah mencapai 25, usia Bapak 50 tahun, dong."
"Ya ampun, Bapak. Beda 18 tahun jadinya 43, dong, Pak." Bu Naura menyeletuk, yang sukses membuat Pak Yunus tersentak sekaligus malu.
"Iya, ya. Muehehe.... Nggak jadi keren, deh."
Kata-kata kocak beliau segera disambut tawa oleh semua orang. Tanpa berniat menjaga citra diri, Juwita tertawa keras-keras sampai Pak Yunus menatapnya dengan tatapan mencela meski tidak protes.
"Makasih, Pak. Saya berterima kasih juga sama Bu Naura karena udah memberi saya nasehat." Anulika tersenyum tipis usai melirik masing-masing nama yang dia sebutkan. "Alih-alih disalahkan atau dipojokkan, Bapak sama Ibu malah menegur dengan sayang. Itu adalah poin yang saya butuhkan untuk memahami kekurangan saya."
"Sama-sama, Anulika. Ibu senang karena apa yang kami sampaikan bisa kamu cerna dengan baik."
"Iya, Bu."
"Mungkin selama ini saya mengartikan rasa suka sebagai wujud atas rasa kesepian yang saya miliki. Papa saya udah lama pergi, jadi mungkin itu yang membuat saya merasa menemukan sosok ayah dalam diri Pak Yunus."
"Bisa jadi, Anulika. Rasa nyaman itu membuat kamu mengartikannya sebagai rasa suka, padahal bisa saja sebenarnya jauh di bawah alam sadar, kamu menemukan sosok lain dalam diri Bapak."
"Hah? Maksudnya, Pak? Saya nggak ngerti," tanya Anulika clueless, tetapi Pak Yunus malah tertawa renyah khas bapak-bapak sambil melirik Saskara dengan penuh arti.
Setelah puas memberi tatapan meledek yang masih saja belum dipahami oleh duo remaja yang bersangkutan--kecuali Bu Naura yang tentu peka dengan intensi tersirat dalam kata-kata Pak Yunus, beliau berdeham keras-keras. "Yaaa... mana tau kamu menemukan sosok Saskara dalam diri Bapak. Gitu-gitu, dia punya hubungan darah sama Bapak, loh. Bapak baru ngeh kamu itu anak perempuan yang pernah Saskara pukul di masa lalu."
"Hah?! Pukul? Kok, bisa?" Juwita membeo, seketika kepo, sementara Saskara yang disebut-sebut jadi salah tingkah. Anulika lain lagi. Gadis itu tampak terpekur di tempat, seperti sedang mencerna apa yang dijelaskan oleh Pak Yunus.
"Bisa gitu, ya, Pak?" tanya Anulika sebelum Pak Yunus tertawa terbahak-bahak, menertawakan kepolosan anak didiknya. Beliau tidak menyangka saja jika analisa receh darinya bisa diterima begitu saja.
"Who knows? Bisa saja, 'kan? Kalo kalian perhatikan, tuh, muka Bapak sama Saskara punya kemiripan. Siapa tau ingatan kamu tentang Saskara, tentang bagaimana dia telah mempengaruhi isi pikiranmu setelah bikin kamu syok, udah terpatri dalam ingatanmu? Jadi secara nggak langsung sebenarnya kamu suka sama Saskara."
"Payus!" Saskara protes diiringi semburat merah yang muncul malu-malu di pipi hingga menyebar ke seluruh wajahnya.
Juwita mengembuskan napas panjang, merasa sedang mengalami semacam uwuphobia tetapi tidak senaif itu untuk mengakuinya.
"Hmm... Modar lagi ngapain, ya? Gue jadi kangen sama dia." Juwita bermonolog sendiri, lantas kaget ketika semua mata tertuju padanya.
"Modar itu siapa?" tanya Pak Yunus kepo. "Nama yang aneh."
"Panggilan sayang buat seseorang, Payus." Saskara menyeletuk, merasa senang karena setidaknya topik yang baru saja membuatnya malu telah berhasil dialihkan.
"Oh, Justin." Anulika ikut menyeletuk. "Panggilan khusus, Pak."
"CIEEE... YANG LAGI KOMPAK!" Pak Yunus dan Juwita meledek bersamaan hingga terkesan berteriak, lalu bertukar pandang dengan tatapan jenaka.
Bu Naura tidak berkomentar, tetapi dari sorot matanya, beliau senang dengan situasi ini. Kemudian beberapa detik setelahnya, wanita itu tersenyum lebar. Tanpa beban.
Bersambung ke Final
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top