Clarification
Semenjak deep talk-nya bersama Anulika di pinggiran taman, Saskara merasa keduanya menjadi lebih akrab. Alih-alih canggung, gaya bicara gadis itu begitu luwes seolah mereka telah lama berteman.
Saskara senang akan hal itu, tetapi bukan dalam artian yang ada kaitan dengan perasaannya, melainkan lebih ke suasana hati Anulika sendiri. Melihatnya tersenyum seperti itu jauh lebih menyenangkan daripada melihatnya memasang ekspresi serius sepanjang waktu. Untuk pertama kalinya, cowok itu benar-benar merasa berguna bagi orang lain.
Saskara belum pernah merasakan gejolak itu, pun sama berlakunya terhadap Juwita karena karakter gadis itu yang pada dasarnya ceria. Maka tidak heran jika sensasi yang Saskara rasakan adalah yang pertama. Ada perasaan bangga yang turut meluap, yang tak ada bedanya seperti anak kecil yang mendapatkan pujian.
"Oh, iya. Lo jadi gabung les sama Justin, nggak?" tanya Anulika selagi mencari pita kuning di antara pepohonan. Ambisinya membuat Saskara tersenyum diam-diam sekaligus takjub, padahal tinggi badannya tergolong pendek untuk standar tinggi cewek pada umumnya. Gadis itu bertubuh mungil saat berjalan di sisi Saskara yang batasnya hanya mencapai pundaknya.
"Saya udah jawab 'nggak' ke Justin. Kemungkinan Juwita yang gantiin saya."
"Kayaknya lo nggak perlu ngomong formal gitu, deh. Coba biasain pake lo-gue. Aku-kamu juga boleh, sih, asal bukan saya-kamu."
"Oh, iya. Sa-aku... gue... hmm, aku udah jawab 'nggak' ke Justin. Kemungkinan Juwita yang gantiin sa-aku... gue."
Anulika mendengkus untuk menahan tawanya, tetapi mendadak tidak tega sehingga menggantinya dengan berdeham berkali-kali. "Pilih yang nyaman aja buat lo. Lebih suka pake aku-kamu atau lo-gue?"
"Lo-gue kayaknya nggak sopan."
"Nggak sopan gimana? Kita, kan, seumuran. Yaaa, kecuali... lo ngomong kayak gitu ke Pak Yunus."
"Hmm... soal Pak Yunus...."
"Kenapa?"
"Hng, nggak jadi." Saskara menggeleng kuat-kuat dan segera mengalihkan pandangan, tetapi gerakannya terlalu kentara hingga berhasil membuat Anulika kepo.
"Ngomong jangan setengah-setengah. Nanggung. Gue jadi kepo. Terusin ucapan lo."
"Nggak apa-apa."
"Saskara."
"Nanti kamu marah."
"Daripada marah karena penasaran? Mending marah karena ada alasan. Ayo, buruan. Gue udah kepo."
"Sa-saya... hm, maksud aku... aku tau kamu sama... sama Payus... hng, maksud a-aku...."
"Gue sama Pak Yunus kenapa?"
"Kamu nge-fans sama Pak Yunus." Saskara berucap dalam satu tarikan napas, tetapi akhirnya malah terinspirasi dengan kalimat itu. "Ah, iya. Aku cuma mau bilang kalo aku tau kamu nge-fans sama Payus."
Namun, Anulika tercenung. Sepertinya ada sesuatu yang dia sadari setelah melihat arti tatapan Saskara dan jadi 'ngeh' karenanya. Meskipun demikian, gadis itu berusaha menunjukkan senyumannya dan berlagak tidak ada yang salah dalam kata-katanya.
"Maaf." Saskara meminta maaf, mendadak overthinking.
"Kenapa minta maaf?"
"Sepertinya saya salah ngomong."
"Nggak, kok. Nggak salah. Pak Yunus memang seorang guru yang pantas dikagumi. Nggak dosa, toh?"
"Hmm... i-iya."
"Lagian nggak lama lagi beliau bakal jadi ayah tiri gue. Coba yakinkan gue. Udah sepantasnya gue bersyukur akan hal itu. Ya, kan, Sas?"
"Iya."
"Nah, beres kalo gitu. Yuk, kita cari pita kuningnya. Lumayan kalo bisa dapetin banyak biar besok bisa cepat pulang."
Saskara mengangguk, bertepatan dengan suara berisik yang tiba-tiba terdengar dari pepohonan di sebelah kiri. Mereka menoleh secara serempak, juga bereaksi sama ketika melihat siapa yang muncul di baliknya.
"Muehehe.... Sori, nih, bukan sengaja menguping kalian, tapi kebetulan aja kami lagi di dekat sini trus berencana gabung." Juwita nyengir, sementara partner-nya yang mana adalah Justin, menatap gadis itu dengan tatapan menghakimi.
"Gabung? Emang boleh?" tanya Anulika sebelum tatapannya beralih ke Justin pada detik berikutnya. Meski belum berbicara lagi sejak insiden diam-diaman selama beberapa hari di kelas, Justin sudah mau menatapnya balik dan tak lagi bersungut-sungut.
"Yaaa... boleh aja. Kan, nggak ada aturan yang melarang kelompok lain buat gabung. Positive thinking aja, mungkin nih cewek lagi kangen sama Saskara jadi beralibi--"
"Heh, mana ada gitu!" protes Juwita. "Jelas-jelas nggak gitu konsepnya."
"Iya juga nggak apa-apa."
"Sama dengan lo, dong. Lo nggak melarang kelompok lain buat gabung biar sekalian bisa memenuhi alibi lo juga. Ngaku, deh!"
"Heh, siapa bilang gitu?!"
"Gue!"
"Malah berantem," keluh Anulika. "Ya, udah... kita cabut duluan, yuk, Sas."
"Eh, tunggu!" pekik Juwita dan apesnya tragedi itu terjadi secara beruntun; dimulai dari salah satu pijakannya yang tergelincir, kemudian ditangkap oleh Justin tetapi sayangnya kurang tepat sehingga membuatnya ikut oleng, lalu Saskara yang berhasil menjangkau keduanya dan menahan dengan sangat baik sebelum berakhir ke tanah dengan cara yang tidak etis. Dia bertindak sebagai pelindung walau sebagai gantinya, dia mendapat luka parah pada bagian punggung serta bokongnya karena jatuh tanpa perlindungan.
"SASKARA! LO NGGAK APA-APA?" Trio Anulika, Justin, dan Juwita berteriak kompak hingga berhasil menarik perhatian sebagian murid dan guru. Untungnya, lokasi Pak Yunus berdiri tidak jauh dari ketiganya dan beliau segera berlari secepat kakinya mampu melangkah.
"SASKARA!" teriak Pak Yunus sesampainya di tempat kejadian perkara dan menatap tiga saksi lain dengan kecemasan yang begitu kentara. Pasalnya, Saskara terlihat kesakitan dan sepertinya sulit berdiri.
"Itu... saya tergelincir, trus dibantuin Justin dan Saskara yang ngelindungi dari bawah."
"Jatuhnya kayak 'bum' gitu, Pak." Justin turut menatap cemas Saskara, berusaha membantunya berdiri tetapi pada saat bersamaan juga tidak berani terlalu memaksa karena jika salah-salah, bisa-bisa bagian sarafnya terganggu. Hampir semua murid berkumpul dan segera berkerumun di sekitar mereka seperti pagar berjalan.
"Bantuin Bapak telepon rumah sakit, ya. Biar Bapak yang gendong Saskara." Pak Yunus lantas memberikan ponselnya kepada Justin setelah mengaduk dari dalam saku celananya.
"Tapi, Pak, apa perlu saya sekalian telepon orang tuanya? Biasanya pihak rumah sakit memerlukan persetujuan orang tua."
"Nggak usah. Biar Bapak saja yang urus."
"Tapi, Pak, daripada boros waktu. Ini udah genting, loh."
"Udah Bapak bilang nggak usah. Oke?" Pak Yunus mencoba bersabar kala menggendong Saskara secara hati-hati. Terdengar rintihan yang membuat siapa saja seolah ikut merasakan sakitnya, bahkan para tentara tidak tega bertanya saat menyusul karena bisa mengerti akan situasinya yang kepalang genting. Bu Naura juga berada di sana, yang juga cepat tanggap dan membantu membubarkan kerumunan agar Pak Yunus bisa lewat.
"Pak, kalo gitu saya telepon--"
"Saskara Damian itu anak Bapak, jadi Bapak nggak perlu izin lagi."
"HAH?!" Justin melongo, begitu pula semua orang kecuali Bu Naura, Anulika, dan Juwita. Anulika sempat meringis, yang seketika memberikan distraksi, tetapi semuanya beralih kembali ke Pak Yunus secara kompak.
Pak Yunus sempat menoleh ke samping, ke arah keponakannya meski kesannya tidak optimal karena beliau tidak bisa melihat ekspresi Saskara. Anehnya, ternyata Saskara tidak lagi menunjukkan tanda-tanda penolakan atau setidaknya menunjukkan kode tertentu sebagai wujud protes seolah-olah ketakutan yang dia rasakan selama ini sudah tidak terlalu mempengaruhinya.
Apakah semua itu sesederhana karena deep talk-nya bersama Anulika? Saskara tidak tahu, tetapi yang jelas, dia memang tidak mengatakan apa-apa ketika mendengar Pak Yunus mengklarifikasi ulang pernyataannya.
"Saskara adalah anak Bapak. Nama belakang Bapak sama dengan Saskara. Kalo nggak percaya, kalian bisa nanyain Anulika. Bapak nggak ada waktu lagi, jadi biarkan Bapak lewat."
"I-iya, Pak." Justin membuka jalan dengan gerakan buru-buru, lantas tatapannya jatuh pada Anulika secara refleks.
Nyatanya tidak cukup hanya dia seorang sebab kini semua pandangan tertuju pada Anulika.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top