Camping
Sepanjang eksistensi hidupnya, Anulika merasa dia tidak pernah selabil ini. Normalnya, dia lebih sering dicap sebagai anak yang kalem dan irit dalam berbicara atau gadis yang kelewat mandiri sampai-sampai kesannya tidak membutuhkan teman.
Namun selama seminggu penuh ini--tepatnya sejak perbincangannya dengan Pak Yunus, Anulika merasa seperti sedang menjadi orang lain. Dia tahu ini ada hubungannya dengan rasa sakit hati karena kisah cintanya yang telah usai, tetapi tetap saja, rasa sakit itu terlalu nyata untuk diabaikan dan dia tidak mempunyai pilihan selain membiarkan suasana hatinya mereda dengan sendirinya.
Ibarat terkena batuk musiman, Anulika hanya perlu mengabaikan sedikit lebih lama sebelum batuk itu hilang dengan sendirinya.
Itulah sebabnya meski sempat membuat Justin keki dengan mengingkari janji, Anulika berencana untuk mengajak Justin berbaikan saat berkemah nanti. Berhubung keduanya memiliki karakter yang basically sama, maka Anulika bisa berpura-pura meminjam sesuatu atau menanyakan informasi perihal camping berhubung cowok itu menjadi salah satu penanggung jawab Pelatihan Kepemimpinan yang otomatis menjadikannya sebagai perantara saat berkomunikasi dengan para tentara, termasuk mengatur kelompok tenda.
"Hei, Ma--eh, Anulika! Ternyata kita sekelompok, loh!" Anulika mendengar suara riang dari balik bahunya, membuat fokusnya teralih. Gadis itu tengah menarik koper, tetapi terlihat kewalahan gara-gara salah satu rodanya yang rusak.
Ternyata yang memanggilnya adalah Juwita, tepat seperti dugaannya selama sepersekian detik sebelum menoleh.
Sepengamatan Anulika, Juwita adalah tipikal periang yang berpotensi disukai banyak orang. Lihat saja, dia sudah beradaptasi dengan baik di antara teman-teman sekelas, bahkan 'perang' antara dia dengan Jeremy telah lama berakhir. Yang ada, Anulika jadi berasumsi kalau-kalau cowok biang onar di kelas itu mulai suka dengan gadis berambut gelombang itu.
Tebakannya tepat karena ada rona samar yang muncul di pipi Jeremy kala sapaannya dibalas oleh Juwita.
"Sini, gue bantuin." Juwita menawarkan bantuan dengan ramah, lantas mendaratkan telapak tangannya pada bagian troli koper.
"Nggak perlu." Anulika refleks menarik bagian pegangannya sebagai isyarat untuk menolak. "Nggak berat, kok, ini. Gue bisa bawa."
"Rodanya rusak, loh. Berhubung bawaan gue ringan--kebanyakan bawa keripik yang mana isinya angin semua, muehehe--plus kita setenda, so... jangan sungkan sama gue."
"Hng...." Anulika mulai memikirkan kata-kata yang tepat untuk menolak, tetapi Juwita telanjur merebut kopernya. Niatnya baik, Anulika mengerti intensinya, tetapi tetap saja dia tidak terbiasa dibantu oleh orang lain. Itulah sebabnya mengapa ketika gadis itu merebut kopernya kembali, sejujurnya murni hanya karena tindakan reflektif semata.
"Gue bisa sendiri," kata Anulika datar, bertepatan dengan ekor matanya yang memandang ke satu titik sebelum mencelus. Walau dalam radius yang masih terlalu jauh untuk dikenali, tetap saja Anulika sangat yakin bahwa beliau adalah Pak Yunus.
"O-oke. Gue cuma berniat bantu, itu aja. Kalo keberatan, gue minta maaf." Juwita berujar pelan, rupanya sedang salah paham karena mengira gadis itu sedang kesal padanya.
"Never mind, not a big deal." Anulika bermaksud menyudahi, tetapi sayang, keduanya terlalu kentara untuk diabaikan oleh murid-murid sekitar.
Bukannya tanpa alasan, tetapi baik Anulika maupun Juwita sudah masuk ke dalam daftar oknum yang perlu diperhatikan seantero SMA Berdikari gara-gara topic trending yang tersebar di forum sekolah. Apalagi semenjak tahu pernikahan Pak Yunus dengan mama Anulika, otomatis membuat sebagian besar murid menjadikan yang terkait sebagai alarm berjalan alias tidak akan melewatkan informasi mereka barang sedikit pun.
Seperti yang bisa diduga, Anulika menjadi pihak yang dibenci sedangkan Juwita dianggap sebagai korban yang perlu dibela.
Dalam sekejap, Anulika dibuli habis-habisan.
"Buset. Modelan gini, nih, yang bakal jadi keluarganya Pak Yunus. Miris banget, ya."
"Nggak nyangka, sih, gue. Padahal Juwita niat bantuin doang, kenapa songong banget responsnya?"
"Kalo gue jadi Juwita, mah, udah gue tampar biar kapok!"
"Sok, mah, atuh! Kasi pelajaran biar paham yang namanya orang pintar belum tentu berkuasa! Lo bisa aja jadi famous karena bakal jadi anak tirinya Pak Yunus, tapi bukan berarti lo bisa seenaknya!"
"Gue lempar ke tong sampah boleh, nggak, sih?!"
"Ha ha ha! Saking sampahnya dia, ya? Ketahuan belangnya gimana, sih! Si Justin aja udah kebuka matanya dan milih berteman sama Saskara."
"Iya, ya. Dipikir-pikir, Saskara jauh lebih baik ketimbang Anulika. Si Saskara mungkin merasa lebih tau diri, jadi udah langsung menjauh. Kalo yang ini, mah, kayak nyari muka. Ya nggak, sih?!"
"BENER, BENER! SETUJU GUE!"
"Heh! Ini kenapa kerumunan di sini? Udah gue bilangin kalian kumpulnya di--" Suara Justin menjadi komando untuk membelah kerumunan sebelum kata-katanya terhenti ketika melihat siapa yang menjadi pusat perhatian. Lantas seolah masuk ke dalam FTV, eksistensi Saskara muncul di balik punggung Justin. Rupanya mereka datang bersama, disusul Pak Yunus tidak lama kemudian.
Anulika mati-matian menahan diri agar tidak menangis. Meski dia yakin bisa berhasil, nyatanya maniknya memerah, seolah-olah memberikan peringatan kepada semua orang untuk tidak lagi melontarkan kalimat negatif.
"Loh, loh. Kenapa ini? Kalian udah ditungguin di dalem--loh, Anulika sama Juwita?! Kalian kenapa?"
"Nggak ada apa-apa, kok, Pak. Bukan hal besar--"
"Nggak usah bela, deh, Juwita. Nih cewek kudu dikasih pelajaran, sih, kalo udah saatnya dia nggak bermuka dua. Di depan Pak Yunus aja manis-manisnya, tapi di belakang? Congkak banget sampe pengen tak sobek-sobek--"
"Heh, lambemu!" Pak Yunus menghardik galak. "Apa alasan kalian menyudutkan Anulika?"
Situasi otomatis setenang kuburan ketika melihat ekspresi Pak Yunus dalam mode galak. Tak ada lagi tatapan jenaka yang beliau tunjukkan. Alih-alih demikian, aura beliau jadi mirip dengan Bu Naura yang turut serta menyaksikan perselisihan itu dari jauh bersama dua guru lain sebagai pendamping.
"Oh, Bapak paham setelah denger nama Bapak disebut-sebut. Apa kalian mulai terbayang-bayang dengan tali silahturahmi antara Bapak sama keluarga Anulika?
Denger, ya, kalian." Pak Yunus melanjutkan sembari bersedekap dan melangkah pelan memasuki bagian tengah kerumunan, tepatnya menghampiri Anulika. Gadis itu masih tetap setia pada prinsipnya untuk tidak menitikkan air mata, tetapi tangannya mulai merasakan tremor. Mau tidak mau, Anulika segera mengepalkan kedua tangan sekuat tenaga yang mampu dia kerahkan. "Yang nikah, kan, Bapak. Kenapa malah heboh begini? Bapak tau kalian se-fans itu sama Bapak, tapi--heh, mau ke mana kalian?!"
Pasalnya, kerumunan yang semula penuh segera pecah dan menyebar ketika mendengar kata-kata Pak Yunus, menyisakan empat remaja lain yang seolah-olah terpaku di tempat; Anulika, Juwita, Saskara, serta Justin.
"Saya tahu Bapak narsis, tapi ya nggak gitu juga." Juwita mengomel, bertepatan dengan dengkusan keras Justin.
"Mau judge, tapi pelakunya Pak Yunus. Dahlah."
Lantas seperti dikomando, keduanya menatap Saskara, jelas mendorongnya untuk ikut menghakimi. Namun sayangnya, cowok itu terlampau polos untuk mengerti apa intensi mereka.
"Apa?" Saskara malah bertanya, membuat duo Juwita dan Justin sama-sama geregetan.
Kemudian, lagi-lagi seolah dikomando, baik Juwita maupun Justin mengomel, "DAHLAH!"
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top