HC | 39. Wake up
Eileen menatap miris pada surat kabar yang beberapa hari sudah di terima olehnya dari para bodyguard. Eudith sudah kembali dan itu bersama Aeron. Bagaimana mungkin? Kenapa bisa? Apakah sejak awal Aeron memang sudah mengetahui segalanya? Ataukah selama ini yang bersandiwara tidak hanya dirinya saja, tapi Aeron juga? Lalu, apakah karena semua itu Aeron tidak pernah menyentuhnya selain cium bibir malam itu?
"Mari ikut saya, Tuan Muda," sapaan dari para bodyguard Aeron untuk Vincent terdengar hingga ke telinganya. Eileen meletakkan surat kabar di atas meja kemudian mendekati bodyguard tersebut.
"Mau kemana kalian?"
Vincent menoleh dengan wajah sendu. Tak pernah lagi ada senyuman di wajah yang dulunya ceria itu. Karena kini, semuanya sudah berubah. Tidak ada yang bisa membuat Vincent senang lagi mengingat ibunya sudah jelas meninggalkannya. Vincent ingin membenci sang ibu, tapi dia tetap tidak bisa.
"Tuan Geveaux menyuruh saya membawa Tuan Muda Vincent, Nona." Bodyguard itu menjawab lugas sambil menghela Vincent.
"Aku ikut." Eileen takkan tinggal diam. Ia tahu jika ini pasti berhubungan dengan kakak kembarnya.
Dua orang bodyguard tersebut saling memandang satu sama lain karena hal itu tidak ada dalam perintah sang tuan. "Nona-"
"Kenapa? Aeron tidak membiarkanku pergi?" tanyanya sambil melipat tangan di depan dada. Tak ingin mengalah.
"Baiklah. Ayo, ikut kami," seru para bodyguard yang hanya ditugaskan untuk menjaga Vincent.
🖤
"Tuan, Nona Eudith sudah sadar." Dokter Fraud mengangguk sopan menyampaikan berita yang paling ditunggu oleh sang penguasa di hadapannya ini. Dan tarikan napas lega dari Steve cukup memberikan jawaban tersendiri bagi dokter Fraud.
"Aku akan menemuinya."
Dokter Fraud mengangguk. "Silakan, Tuan. Tuan Muda Aldith dalam perjalanan kemari."
"Kau memberitahunya lebih dulu daripada aku?" Steve berdecak tak suka.
"Maafkan saya, Tuan."
Mengibaskan tangannya, Steve mengusir dokter Fraud, "Pergilah. Aku akan segera menemuinya," gumamnya kemudian berdiri dan melangkah masuk ke ruangan dimana puteri sahabatnya itu terbaring lemah. Menatapnya dengan tatapan bingung yang kentara.
"T-tuan?"
Steve menggeleng sambil mengupas senyum simpul. Perlahan jemarinya bergerak menyapu rambut yang sudah beberapa hari tidak disisir. Namun, sama sekali tidak mengurangi kecantikan seorang keturunan Gilbert. Matanya yang teduh nan bijaksana menatap hangat pada Eudith. "Kau bisa memanggilku Ayah, Elle," bisiknya pelan dengan tangan yang terus bergerak mengelus rambut Eudith. "Jangan panggil aku dengan sebutan Sir lagi, karena sejak dulu kau sudah kuanggap sebagai putriku."
"Tapi-"
"Elle, aku ingin meminta maaf padamu." Steve bergumam tulus. Selalu merasa bersalah setiap melihat puteri sulung sahabatnya itu terbaring di rumah sakit. Menatapnya saja Steve sudah tidak sanggup karena melanggar perjanjian yang pernah ia buat bersama Gilbert. Berjanji agar menjaga puterinya yang satu ini.
Menghilang selama beberapa tahun kala itu tidak membuat Steve benar-benar melupakan keberadaan Gilbert. Ia selalu memantau sahabatnya itu dari jarak jauh mengingat kepindahannya ke negara lain. Dan disaat terakhir, ia menghubungi Gilbert untuk menanyakan perihal mikroprosesor yang kini ada di dalam otak puterinya. Bertahan hanya sampai sepuluh tahun dan ini bahkan sudah enam belas tahun nyaris dua puluh.
Astaga...
Lelaki yang jelas ketampanannya serta tubuhnya itu mengusap wajahnya kasar. Betapa banyak pengorbanan yang dilakukan oleh puteri sahabatnya ini, tapi tak satupun bisa ia balas. "Aku minta maaf, Sayang," gumamnya lagi. Dan berapa kalipun ia meminta maaf, takkan cukup menebus semua pengorbanan yang sudah mereka lakukan. Sudut mata lelaki paruh baya itu berair melihat wajah pucat sambil mengulas senyum tipis padanya.
"Ayah," Eudith tersenyum saat menggumamkan kata-kata tersebut. "Sepertinya sudah lama aku tidak menyebut kata itu." Matanya menerawang langit-langit ward dirumah sakit. Mengalihkan lelaki itu dari pembicaraan yang menyakiti hati pria tersebut, karena Eudith pun tak akan sanggup mengingat kejadian kelam bertahun-tahun yang lalu.
"Kau bisa melakukannya setiap saat sekarang, Sweetheart." Steve menatap pilu pada Eudith yang masih terlihat begitu lemah. "Apa kau selalu merasa sakit seperti ini, hm?" karena sejak awal, yang ia lakukan hanyalah melihat wanita ini terbaring di rumah sakit begitu saja.
"Tidak, Ayah." Eudith menggerakkan tangannya untuk menghapus air mata yang berada di sudut mata lelaki paruh baya ini. "Setelah kejadian itu, aku merasa senang dan bahagia. Apalagi, setelah Vincent hadir dalam hidupku," gumamnya membayangkan bagaimana hidupnya dengan Vincent disisinya dulu. "Dia ibarat matahariku, Ayah. Dia yang menyemangatiku untuk hidup walau kami tidak memiliki harta apapun."
Ya, Steve tahu itu. Karena setiap harinya tiada laporan yang tidak sampai padanya mengenai Eudith. Para bodyguardnya selalu memantau Eudith atas perintahnya. Dan mereka melakukannya dengan baik.
"Bolehkah Ayah menemuinya?" Dan entah bagaimana Steve berani menggumamkan kalimat tersebut, membuat Eudith menatapnya dengan tidak percaya mengira bahwa Eudith pasti takkan mengizinkannya.
"Kenapa kau bertanya, Ayah?"
Dan kalimat tanya balik yang dilayangkan padanya cukup bagi Steve untuk bisa melihat cucunya itu.
"Kau adalah kakeknya, tentu saja kau berhak memperkenalkan dirimu padanya." Eudith tersenyum melihat raut lega di wajah tua itu. "Aku tidak pernah melarangnya, Ayah."
"Ayah tahu, Sayang..." Steve lagi-lagi berucap syukur akan kebaikan hati yang Eudith miliki. "Hanya saja~ Ayah merasa tidak yakin jika menemuinya tanpa izinmu."
"Dia akan segera tiba," gumaman datar dengan raut wajah terlihat berantakan itu membuat Eudith dan Steve menoleh.
"Son, kau sudah sampai? Sejak kapan? Apa kau-"
Aeron mengangguk sambil kembali meletakkan makanan yang dibelinya untuk sang ayah dan Eudith. "Aku mendengar semuanya." Ia mendekati Eudith dengan wajah datar tak tertebak. "Kapan kau sadar, hm?" nadanya sedikit melembut saat melihat wanita itu terlihat begitu pucat.
"Beberapa menit yang lalu, Aeron. Kau tidak bekerja?"
"Baru saja pulang dan langsung kemari." Matanya kemudian melirik Steve yang memperhatikan komunikasi keduanya. "Vincent sedang dalam perjalanan kemari karena aku menyuruh bodyguardku menjemputnya." Lalu, mata Aeron bergerak menatap Eudith. "Dan Eileen ikut bersamanya. Kau tidak apa-apa?"
Eudith menggeleng pelan, "Aku tidak apa-apa, Aeron."
"Karena jika kau merasa terluka, aku akan mengusirnya," lanjutnya kemudian seolah tak mendengar jawaban yang Eudith utarakan padanya.
"Daddy akan menunggu disana saja." Steve menunjuk sofa yang tidak jauh dari mereka. "Son, berikan Elle makanan karena sejak beberapa hari lalu dia belum memasukkan apapun ke mulutnya,"
"Dan Daddy sejak tadi hanya mengajaknya bicara?" sahutnya sarkastik menatap Daddy nya mengejek.
Yang Steve lakukan hanya memutar bola matanya dan bergerak duduk di sofa. Tak ingin memperpanjang omongan dengan puteranya itu.
"Mommy menanyakan keberadaanmu, Dad." Aeron memilih duduk di sebelah brankar dimana Eudith terbaring. "Kenapa kau tidak mengatakan bahwa kau kemari?"
"Ya, dan membiarkan Mommy mu menyusul lalu menghancurkan rencanaku? Tidak, Son."
"Rencana apa, Dad?" Matanya menyipit sambil memberi peringatan untuk tidak berlaku macam-macam pada mereka.
"Rencana menikahkanmu dan Elle," gumaman puas langsung terdengar jelas di telinga Aeron dan Eudith. Membuat keduanya terdiam dengan pertanyaan yang membayangi pikiran mereka.
**
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top