HC | 38. The Noble
Steve William Geveaux, seorang yang pria begitu di segani oleh siapapun melangkah masuk dengan tergesa ke rumah sakit miliknya sendiri. Matanya menatap tajam pada siapapun dan membiarkan para pengawalnya mengikuti langkah cepatnya dari belakang. Panggilan dari dokter Fraud membuat dirinya segera memakai pesawat pribadi untuk terbang ke Inggris di detik itu juga.
Perihal Eudith yang kini tidak sadarkan diri akibat dari mikroprosesor yang masih tertanam di otaknya selama enam belas tahun membuat lelaki patuh baya itu bergegas meninggalkan pekerjaan apapun yang sedang dilakoninya.
"Dimana dia?" tanyanya pada Fraud yang sedang menulis sesuatu yang tidak diketahui oleh Geveaux senior.
Mendadak Fraud berdiri, mengangguk sopan untuk menyapa. "Anda sudah tiba?"
"Aku tidak ingin berbasa-basi, Fraud. Katakan saja dimana dia dan bagaimana keadaannya," gumamnya sambil menatap tajam dokter paruh baya tersebut.
Fraud melangkah mendekat. Menautkan kedua tangannya di depan perut buncitnya. "Nona Eudith mulai mengalami reaksi negatif dari chip tersebut, Tuan. Saya duga dia sudah mengalaminya sejak beberapa tahun lalu dan Nona Eudith mengira bahwa itu adalah sakit kepala karena otaknya yang berusaha mengingat kejadian di masa lampau."
"Jadi, maksudmu selama ini Elle sudah merasakan proses kehancuran dari mikroprosesor tersebut?"
"Ya, Tuan." Mata tua Fraud memandang lelaki gagah di hadapannya cemas. "Hari ini, putera anda yang membawa Nona Eudith kemari. Mimisan membuat Tuan Muda tidak percaya bahwa itu hanya akibat dari kehamilan dan saya ingin anda sendiri yang menjelaskannya."
"Apakah tidak bisa di operasi?" Steve mengabaikan penjelasan Fraud perihal puteranya.
Fraud menghela napas pelan dan bergumam, "Saya takut bahwa kita tidak akan bisa melakukan operasi disaat dia sedang hamil."
"Saya akan menemuinya." Dengan tegas Steve melangkah lebar menuju ruangan dimana Eudith diletakkan sesuai dengan titahnya sebelumnya. Ruangan VVIP dengan perawatan tingkat utama.
Steve menghentikan langkahnya saat ia sampai tepat di depan ruangan kaca milik Eudith. Wanita itu terbaring dengan berbagai alat canggih yang menaunginya. Matanya terpejam rapat dengan wajah pucat. Steve langsung melangkah masuk dan tidak melihat puteranya dimanapun. Ia mendekati Eudith lalu berdiri tepat di sebelah brankar puteri sahabatnya itu.
"Maafkan Paman, Sayang," bisiknya pelan sambil mengelus dahi Eudith lembut. "Maaf karena sudah membiarkanmu menderita disaat ayahmu selalu menyelamatkan keselamatan Paman." Menghela napas pelan, Steve melirik Fraud yang terdiam di sebelahnya sambil memastikan keadaan Eudith beberapa menit sekali. "Kapan dia akan sadar?"
Fraud menggeleng. "Saya tidak bisa memastikannya, Tuan. Tergantung Nona Eudith sendiri ingin bertahan atau justru menyerah."
"Dia harus bertahan!"
Baik Fraud maupun Steve menoleh ke arah pintu. Menatap sosok berwajah menahan amarah. "Dia-harus-bertahan!" tekannya pada setiap kata-katanya.
"Tuan Muda," sapa Fraud sedikit menundukkan kepala.
Aeron mengabaikan lelaki bersnelli putih tersebut. Menatap ayahnya tajam seakan menuntut penjelasan apapun yang terjadi pada wanitanya itu. "Apa aku belum cukup dewasa untuk mengetahui semuanya, Daddy?"
Steve melirik Fraud sekilas sebelum matanya jatuh pada Eudith yang terbaring tidak sadarkan diri. Lelaki tua itu menghela napas pelan, "Kau ingin bicara disini atau diluar?"
"Disini saja. Lebih aman! Lagipula, aku tidak ingin meninggalkannya sendirian tanpa ada yang berjaga." Kemudian, Aeron meletakkan kantong yang berisi buah-buahan yang baru saja di belinya di atas meja sebelah oksigen. Kedua lelaki bermata abu-abu itu memilih duduk di sofa yang tidak jauh dari Eudith.
"Fraud, tinggalkan kami!" Steve memberi titah yang sama sekali tidak ingin di bantah. Manik abu-abu itu kembali menatap puteranya yang sudah dewasa. Berapa lamakah mereka tidak seperti ini? Berapa lama Steve tidak menghabiskan waktu bersama anaknya ini? Pemikirannya itu membuat Steve sedikit menahan sesak karena sejak lama itu terjadi, sebelum Aeron memutuskan untuk tinggal sendiri dan bergabung dengan organisasi Leonard Imperial.
"Dimana cucuku?" Steve membuka suaranya terlebih dahulu. Dia sangat ingin diperkenalkan dengan Vincent.
"Konservatori milikku bersama Eileen," sahutnya cepat sebelum bertanya. "Jelaskan, Dad. Apapun itu!"
Tampaknya, Steve memang tidak diharuskan berbasa-basi dengan puteranya ini. "Apa kau ingat wanita yang terbaring itu?"
Aeron menggeleng setelah menatap Eudith beberapa saat. "Apa maksud Daddy?"
"Dulu kau pernah mengatakan bahwa keadaannya begitu mengenaskan. Kau merasa kasihan padanya, tapi Daddy justru menutupinya darimu." Steve akan menjelaskannya secara perlahan. "Ingat saat aku membatalkan acara keluarga kita dan memilih ke rumah sakit? Kau masuk ruangan yang sama ini dengan tiba-tiba lalu bertanya tentang gadis kecil yang berusia 9 tahun terbaring tak sadarkan diri."
Tentu saja Aeron mengingatnya. Apapun yang pernah dikatakannya, dilakukannya ia akan mengingatnya sampai kapanpun sehingga tidak heran jika Aeron dikatakan sangat jenius. "Jangan bilang kalau gadis kecil itu dia, Dad?"
"Kau benar, Son. Gadis kecil itu adalah Eudith Ellena Gilbert."
Oh, astaga! Aeron mengusap wajahnya kasar kemudian menatap ayahnya dengan seksama. "Apa yang terjadi enam belas tahun lalu?"
"Banyak, Aldith. Daddy akan menjelaskannya tapi, dengan syarat kalau kau tidak akan memotong dan menahan emosimu sebisa mungkin!" Sebab Steve tahu buruknya akibat yang akan mereka terima jika Aeron dengan perangai menyebalkannya bertindak tanpa rencana.
"Tergantung, Dad," jawabnya cepat.
Steve mendengus pelan. "Ya sudah, kalau begitu tidak jadi."
Anak dan ayah sama saja keras kepalanya, Steve penasaran siapa diantara mereka yang akan mengalah? Berharap bahwa keturunannya tidak akan ada yang sepertinya ataupun puteranya.
"Seriously, Dad?!" Aeron menatapnya tidak percaya saat melihat ekspresi sang ayah yang tampak begitu datar tanpa berniat mengalah. Persis seperti anak kecil yang mainannya tak ingin direbut. "Alright then! I'll do as you just said."
"Promise me, son? Ini bukanlah hal sepele seperti yang biasa kau hadapi. Sebut saja, ini perang antar bangsawan!"
"Daddy, jangan katakan bahwa Eudith...."
Dengan cepat Steve menggeleng. "Tidak! Elle bukanlah seorang bangsawan," sahutnya tegas seakan tahu pemikiran putranya. "Dia memiliki sesuatu milik para bangsawan yang sedang diperebutkan."
"Apa itu?"
"Sebuah mikroprosesor, Aldith. Kau tahu 'kan aturan mereka? Yang menemukan, yang berkuasa! Dan hanya tinggal empat bangsawan lagi yang tersisa sekarang. Salah satunya adalah calon tunanganmu."
Informasi yang baru saja di terima olehnya membuat Aeron berpikir keras. "Lalu, bagaimana Daddy tahu chip itu padanya? Bahkan, selama ini Eudith tidak mengatakan apapun padaku tentang itu."
"Memangnya kau siapa dia sehingga dia harus mengatakannya?" Steve bertanya dengan nada mengejek yang kental, sehingga Aeron mengumpat pelan tanpa suara. "Mikroprosesor itu seharusnya menjadi milik kita, Aldith. Saat kau masih kecil, Daddy memiliki teman yang bernama Gilbert. Dia seorang bioteknologi hebat dengan IQ di atas rata-rata. Pekerjaannya diketahui oleh pemerintah sehingga dia selalu di jaga ketat. Lalu, Daddy memberikan chip itu padanya karena keadaan keluarga kita sedang kacau. Membiarkan Gilbert menyimpannya karena tahu jika jatuh ke tangan orang yang salah, maka keluarga kita akan tamat!"
Aeron melihat jelas bagaimana penyesalan sang ayah sambil menatap wanita yang sedang hamil anaknya itu. "Lalu? Kenapa menjadi rebutan disaat chip itu memang milik kita?"
Menghela napas pelan, mata Steve menerawang ke langit-langit rumah sakit. Masa lalu itu memang menyakitkan sehingga dapat membuat sebagian orang merasa depresi. "Chip itu bukan lagi sepenuhnya milik kita setelah keluarga Olena campur tangan! Jauh sebelum kau lahir, chip itu disimpan begitu apik oleh para petinggi bangsawan. Lalu, saat keluarga bangsawan terpecah belah, mereka mulai memperebutkannya sehingga kematian banyak terjadi. Dan sekarang hanya tersisa empat keluarga bangsawan, dua diantaranya adalah kita dan keluarga Olena." Mata Steve yang jelas wibawanya menatap puteranya penuh makna. "Maka itu, Ibumu menjodohkanmu dengan Olena agar keluarga kita bisa menjadi keluarga terpilih dalam aturan petinggi para bangsawan yang ada."
Aeron tak tahu bahwa kisahnya akan serumit ini. Kembali menatap pemandangan cantik di depannya, Aeron mengulas senyum miris.
Sudah terlalu banyak yang kau korbankan untuk keluargaku, Eudith. Lalu, yang bisa kulakukan hanya menyakitimu....
"Dad, sudah berapa lama chip itu bersamanya? Lalu, penyebab kematian orang tuanya, apakah karena chip itu? Siapa dalang dibaliknya?" serbunya karena menurut Aeron sudah cukup ia tidak tahu apa-apa tentang perihal ini. Menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa Aeron mengingat kejadian kala di malam mereka menghadiri pesta ulang tahun Olena.
"Malam itu..." Aeron mulai berbicara dengan nada pelan, mencoba menerka apa yang terjadi. Adakah sangkut pautnya? "...adalah malam dimana kami kembali bertemu setelah empat bulan. Aku melihat bahwa dia mengikuti Davos diam-diam. Lalu, saat hampir ketahuan oleh Davos, aku langsung menciptakan drama." Ya, drama yang justru membuatnya ketagihan.
"Daddy yang sudah mengatakan padanya bahwa Davos adalah salah satu pembunuh kedua orang tuanya. Dia yang menyabotase mobil keluarga Ellena, Aldith."
Tak dipungkiri, bahwa kenyataan itu justru menampar Aeron dengan kuat. "Apa? Davos? Bagaimana mungkin? Bukankah dia merupakan bangsawan keempat? Apa hub~ oh, shit, Dad!"
Steve mengangguk membenarkan pemikiran puteranya. "Davos merupakan Ayah Christa. Wanita yang sudah merebut suami adikmu, Aldith."
"Dia sudah mati," gumamnya cepat dengan tangan mengepal erat. "Christa sudah mati!" ulangnya dengan nada menahan emosi.
"Ya dan yang membunuhnya adalah dia." Tunjuk Steve pada Eudith yang terbaring pucat.
"Apa?!" Oh, Tuhan... Apalagi ini?
"Percayalah, Son. Tidak hanya Christa, bahkan Elle sudah membunuh Leo bersama wanita itu untuk dendamnya sendiri. Dendam karena sudah membully adik kembarnya di masa lalu."
Aeron merasakan lututnya melemas. Dia tidak pernah berpikir bahwa dalang dibalik kematian orang yang diincarnya adalah wanita yang sedang mengandung anaknya. Aeron butuh bernapas sejenak, semua ini terlalu tiba-tiba untuk dicerna oleh otaknya. Mencoba meraup oksigen yang tersisa, "Lalu, apa yang bisa kita lakukan sekarang? Apa kita harus memeriksa setiap barangnya untuk menemukan chip tersebut lalu memusnahkannya?"
"Chip akan hancur jika terus dibiarkan bersamanya," tunjuk Steve pada Eudith dengan dagunya.
"Apa maksudmu?"
"Chip itu berada di otaknya, Aldith!" Tak ada lagi raut jenaka di wajahnya. Mata Steve bahkan menyipit tajam saat melihat puteranya. "Enam belas tahun, chip itu ada di otaknya dan yang dialaminya saat ini adalah efek samping dari chip tersebut! Fraud tidak bisa mengoperasinya karena dia sedang hamil anakmu."
Mata Aeron membelalak seketika, menatap marah sekaligus kesal pada ayahnya. Hal sepenting ini, kenapa baru sekarang? Ia menyugar rambut pendeknya dengan kasar. "Apa yang akan terjadi?" tanyanya nyaris tanpa suara. "Apa yang akan terjadi padanya jika chip itu tidak dikeluarkan juga?"
"Kemungkinan terburuknya, dia meninggal, Aldith."
**
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top