HC | 35. Microprosesor

Lelaki itu tiba di tempat kejadian karena sejak awal memang sudah mengikuti mobil yang kini hancur mengenaskan. Hujan kian lebat saat mereka memeriksa denyut nadi setiap korban kecelakaan.

"Tuan, dia masih hidup. Tapi, kedua orang tuanya sudah meninggal."

Pria bertato ular di lehernya tersenyum puas bahwa rencananya membunuh keluar Gilbert sudah berhasil. "Cari mikroprosesornya sampai dapat."

"Baik, Tuan."

Kembali para bodyguardnya mencari chip yang selama ini diincar olehnya. Ia bergerak mendekat pada gadis kecil tersebut. Memeriksa denyut nadi yang melemah. Matanya perlahan kembali terbuka dan menatap sosok asing dengan buram.

"Dimana mikroprosesornya?" tanyanya sambil mencengkram leher Eudith tanpa berbelas kasih.

Eudith merasa sesak. Berulang kali menarik napas melalui mulut dengan susah payah, bahkan untuk sekedar mengeluarkan suara saja dia tidak bisa. Matanya berkeliling berniat mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk memukul kepala lelaki dewasa itu. Tapi, yang ditemukan justru mayat ayahnya yang bergelimpangan darah.

Air matanya mulai mengalir. Bagaimana keadaan ibunya? Adiknya sekarang? Tak jauh dari tempatnya berada, Eudith melirik mobil milik ayahnya tampak begitu mengenaskan. Pasti ibu dan adiknya masih berada di dalam sana. Memikirkan hal tersebut membuat tekad Eudith menguat dan entah bagaimana ia dengan kuatnya menendang dada lelaki itu kemudian merebut pisau di pinggangnya. Lalu, mengacungkannya dengan berani tanpa peduli bahwa kepalanya yang luka akibat kecelakaan semakin terasa berat.

"Le-lepaskan mereka!" ujarnya dengan dingin, dan mata yang siap membunuh mangsa. Padahal, Eudith hanya gadis kecil yang berusia 9 setengah tahun. "Lepaskan mereka!" pekiknya membuat lelaki itu mundur perlahan.

Dengan cepat, Eudith berlari ke mobil dan melihat keadaan ibunya yang juga mengenaskan seperti sang ayah. Lalu Eileen yang tidak sadarkan diri dengan luka di kakinya.

"Ibu, Eileen..."

Saat dia hendak mengeluarkan Eileen, seorang bodyguard langsung menghempaskan badannya. Dan itu membuat Eudith marah sekaligus kesal. Dengan asal, Eudith menyerang dengan membabi buta hingga mengenai lelaki bertubuh besar tersebut. Menusuk perutnya dengan cara kasar. Saat dilihatnya lelaki itu terkapar, Eudith kembali menyelematkan Eileen dengan susah payah agar bisa keluar dari mobil.

"Sudah cukup!" Pria bertato itu membentak marah. "Tangkap keduanya dan bawa ke rumahku. Dan kau," tunjuknya pada bodyguard satu lagi. "Cari mikroprosesornya hingga dapat."

"Baik, bos."

***

Malam itu kedua puteri Gilbert langsung di sekap di sebuah tempat yang tidak mereka kenali. Eudith masih berusaha untuk sadar walau denyut di kepalanya kian menjadi. Bajunya yang sudah koyak di beberapa tempat membuat kulitnya menggigil kedinginan. Ia melirik Eileen yang baru saja sadarkan diri dan menjelaskan semuanya.

"Kau baik-baik saja?"

Eileen mengangguk sambil memeluk lutut. Ia tahu bahwa adiknya ini pasti sedang tersiksa mengingat penyakitnya yang sedang kambuh. Jelas terlihat dari pelipisnya yang berkeringat dengan wajah pucat.

Eudith sungguh khawatir, namun ia tidak menemukan apapun yang bisa mengurangi rasa sakitnya.

"Eileen... Kita akan kabur." Di pegangnya kedua bahu Eileen sambil menatap tegas sang adik. "Aku akan menjagamu dan memastikan bahwa kau baik-baik saja."

"Apakah tidak apa-apa? Bagaimana jika ketahuan, kak? Bagaimana jika mereka membunuh kita?" Eileen nyaris menangis dan Eudith berusaha tegar untuk menenangkan sang adik.

"Kita akan selamat. Aku memastikan bahwa kau akan selamat, Eileen! Ayo."

Eudith membantu Eileen berdiri, keduanya melangkah tertatih di ruangan remang-remang tersebut. Berjalan sambil meraba dinding untuk sampai ke sebuah cahaya kecil di sudut ruangan. Eudith menemukan lemari dan membukanya untuk mencari tahu apa-apa saja yang ada di dalam lemari tua berdebu tersebut. Dan sepertinya, keberuntungan memang berpihak padanya.

Terdapat berbagai jenis alat bangunan. Sepertinya para penculik itu berpikir bahwa mereka takkan mampu menggunakan alat-alat ini. Eudith berpikir sejenak sebelum melihat cahaya kecil dari balik lemari. "Eileen bantu aku dorong lemari ini."

Eileen membantu Eudith mendorong lemari. Namun, sia-sia walau lemari itu tidak begitu besar. "Sebaiknya kita keluarkan barang yang ada di dalamnya dulu, kak."

Eudith mengangguk. "Kau benar. Ayo." Dan mereka mengeluarkan barang yang ada di dalam lemari dengan hati-hati. Setelah kosong, keduanya kembali mendorong lemari tersebut.

"Kita bebas, kak!" Eileen menatap jendela dengan bulan penuh di luar sana.

Eudith tersenyum kala melihat raut bahagia pada wajah adiknya. "Ya, kita akan bebas. Ayo kita buka jendelanya." Tak butuh waktu lama untuk membuka jendela tua tersebut. Keduanya dengan perlahan bergerak dan berjalan keluar dari ruangan gelap tersebut.

"Ayo, cepat kak," Eileen yang keluar lebih dulu membantu Eudith keluar. Keduanya berjalan perlahan hingga Eileen meringis kesakitan karena kakinya terinjak kaca botol pecah.

"Siapa disana?" Suara bariton itu terdengar berlari dan mendekat.

"Kabur dan pergilah sejauh mungkin!" Tanpa menunggu jawaban sang adik, Eudith langsung mendorong Eileen ke arah semak-semak yang tinggi.

"Kau?!" Lelaki itu berteriak marah kala melihat Eudith berdiri dengan wajah pucat.

Eudith segera berlari menjauh agar Eileen tidak tertangkap. Bagaimanapun juga, dia sudah berjanji pada Eileen agar adiknya itu selamat dan baik-baik saja. Dan akhirnya tangan besar itu menangkap lengan kecilnya yang tidak berdaya. Eudith memberontak kuat walau tak ada hasil. Air matanya mengalir kala dirinya dipanggul dengan entengnya. Matanya terus menatap ke semak-semak dimana sang adik bersembunyi.

Eudith mengulas senyuman tipis untuk terakhir kalinya saat mata Eileen yang basah dan penuh air mata itu menangkap matanya yang tegar. Dengan bisikan tanpa suara, Eudith bergumam, "Love you, sister."

Brak!

Tubuh Eudith menghantam begitu kuat pada ubin lantai keramik. Ada lelaki paruh baya di sana sedang menatapnya kejam seakan siap membunuhnya. Mata Eudith melirik kolam renang yang cukup dalam sebelum akhirnya kembali melirik pria itu.

"Kau mencoba kabur, hm?"

Eudith tetap diam. Tidak membuka suara. Menatap penuh dendam pada lelaki di hadapannya. Tangannya mengepal erat sebelum berdiri dan berlari untuk menghajar lelaki itu.

"Kau melakukan hal yang sia-sia, cantik."
Brak.

Badan Eudith kembali terbanting keras. Entah kekuatan darimana hingga saat ini ia masih bertahan padahal luka di seluruh tubuhnya semakin membuat tubuhnya melemah.

"Dimana mikroprosesor itu?"

"Aku tidak tahu apa yang kau maksud."

Bodyguard itu tampak berbisik di telinga bos mereka. "Saya yakin anak-anak ini pasti tidak mengetahui apa yang kita maksud, Bos."

"Kalau begitu bunuh saja dia dan lekas cari yang satunya!"

"Baik, Tuan."

Eudith kembali berlari dengan cepat dan merebut pisau bodyguard di sekelilingnya begitu saja lalu menusukkan pada paha lelaki itu hingga menjerit keras.

"Kau!" teriaknya lalu menampar Eudith hingga terpelanting ke samping membuat kepalanya terbentur keras. Bahkan sudut bibirnya sobek dan berdarah. "Tusuk dan bunuh dia," ujarnya murka pada para pengawalnya.

Kedua tangannya di pegang erat. Seseorang langsung menusuk punggungnya dari belakang. Membuat Eudith menjerit sekeras mungkin dengan darah mengalir. "Hen-tikan...."

"Berani-beraninya kau menusuk bos kami! Tenggelamkan dia."

Byurrr!

Dan Eudith yang masih berumur sembilan tahun merasa megap-megap dalam kolam renang yang sedalam 8 meter. Ia sama sekali tak pandai berenang beda halnya dengan Eileen yang justru lebih aktif dalam olahraga yang satu itu.

Belum lagi rasa sakit dibahunya yang baru saja di tusuk, Eudith merasa sekarat. Darahnya bercampur dengar air. Matanya membelalak saat napasnya mulai berat. Terasa mencekik tenggorokan. Mungkin ini adalah akhir dari kehidupannya sebagai kakak yang baik. Eudith berharap bahwa Eileen takkan menampakkan dirinya hadapan mereka. Cukup dirinya yang berkorban karena yang Eudith inginkan hanyalah keselamatan saudari kembarnya.

**

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top