HC | 23. Leave
"Eileen, sini sayang." Panggilan lbu sang ibuk untuk Eileen membuat Eudith langsung menoleh. Merasa iri pada saudari kembarnya yang begitu tampak di perdulikan. "Lihat, ibu punya sesuatu untukmu. Taraa." Dan ibunya yang bernama Joanna memberikan sebuah kotak besar yang berisi boneka barbie lengkap dengan rumah-rumahannya.
"Thank you, Mommy."
Joanna tersenyum dan mengelus rambut sang adik. "Sama-sama, sayang."
Eudith menatap keduanya dari jauh. Ia tersenyum tipis. Bahagia melihat sang adik tersenyum, namun juga iri karena perbedaan kasih sayang yang jelas diantara mereka.
"Elle, kemari." Sang ibu yang melihatnya langsung memanggil. Membuat sebongkah harapan kecil dalam dirinya yang baru saja berumur 8 tahun. Eudith mendekat, berjalan sambil menyunggingkan senyum manisnya berharap mendapatkan hadiah yang sama dan juga perhatian yang penuh kasih sayang dari sang ibu. "Kau harus menjaga adikmu, ingat? Tidak boleh kau meninggalkannya dalam keadaan seperti apapun. Dia membutuhkan kita." Joanna melirik Eileen yang sibuk dengan mainan barunya. "Dia tidak bisa sepertimu yang mandiri, Elle. Jadi, ibu mohon padamu, jaga dia dengan segenap nyawamu." Setelahnya, Joanna langsung meninggalkan Eudith yang terpaku di tempat.
Harapan demi harapan yang dipupuknya lenyap sudah. Tidak ada hadiah karena yang di dapat justru nasihat yang memang sudah pasti di lakukannya. Eudith kecil menahan isakannya sambil memegang dada. Menatap Eileen yang tersenyum bahagia.
Adiknya selalu mendapatkan apapun. Adiknya juga memiliki teman, tidak seperti dirinya yang hanya berteman dengan alat-alat dan juga mayat.
Kapan ini berakhir?
Eudith sudah lelah. Otaknya terasa ingin pecah karena di press setiap hari.
Seandainya saja ia bisa memilih, maka Eudith takkan mau untuk lahir dengan bakat seperti ini. Otak pintarnya justru musuh terbesarnya. Ia membencinya hingga rasanya ingin membunuh dirinya sendiri.
"Eudith, lihatlah. Mereka sangat cantik seperti kita, bukan?"
Eudith yang masih terdiam di tempat mengangguk perlahan dan mengumbar senyum setipis mungkin setelah menghapus air matanya dengan cepat.
"Ya, Eileen. Mereka cantik seperti kita. Sepertimu."
🖤
"Mami, Vincent pergi dulu. Bye..."
Eudith menatap puteranya dengan perasaan sedih karena ini adalah terakhir kali mereka berjumpa. Dan setelahnya, Eudith tidak tahu kapan ia bisa kembali berjumpa dengan puteranya. Eudith bergerak mendekat dan mencium seluruh wajah puteranya dengan perasaan haru. Bahkan, air matanya mengalir saat menatap puteranya yang tampak bingung.
"Mami aneh." Vincent melirik ibunya menyelidik. "Mami menangis. Ada apa, Mom?"
Eudith tersenyum lalu menghapus air matanya cepat. Ia menggeleng pelan, "Mami tidak apa-apa, sayang. Maafkan Mami ya?" Maaf jika Mami akan meninggalkanmu, sayang. Eudith menangkup wajah anaknya dan melekatkan dalam benaknya.
"Mami tidak salah, kenapa harus meminta maaf?" Tanya Vincent kembali, dan kini tangannya justru bersedekap di depan dada. "Jangan buat aku curiga, Mom."
"Tidak sayang. Mami tidak apa-apa." Sahutnya pelan kemudian menatap Daniel yang turut menatapnya curiga. "Jaga dia, Daniel."
Daniel mengerutkan dahinya. "Aku selalu menjaganya karena dia juga keponakanku."
Eudith tersenyum, merasa aman karena sudah meninggalkan Vincent pada orang yang tepat. Setidaknya, ia bisa pergi dengan tenang.
"Bye, sayang."
Vincent mengangguk. "Bye, Mom. See ya later, kay?"
"Okay."
Setelahnya, Eudith hanya bisa melihat Vincent menjauh dari pandangannya. Aeron yang sedang sarapan di mejanya menatap Eudith dengan pandangan tidak terbaca. Menelisik dari matanya yang berair lalu menilai gerak-geriknya yang tampak aneh.
"Kemana kau hari ini?"
"Kerja." Eudith menyahut singkat dan kembali bergulat di pantri untuk membuat minuman hangat.
"Sebagai maskot?"
Eudith mengangguk. Ia akan bekerja sebagai maskot dan setelahnya dia akan menemui Eileen untuk bertukar posisi. Tidak, lebih tepatnya agar Eileen bisa membalaskan dendamnya pada kawanan wanita yang sudah menghancurkan dirinya dulu.
"Aku antar."
Maa Eudith melebar. Tidak biasanya lelaki itu mengantar dirinya ke tempat bekerja. "Tidak perlu, aku bisa sendiri."
"Aku antar! Tidak ada bantahan." Aeron berdiri dari meja makan dan naik ke kamarnya.
Eudith hanya bisa menuruti keinginan pria itu karena membantah pun percuma. Ia tidak akan menang.
🖤
"Pulanglah lebih awal. Kita akan dinner bersama malam ini." Aeron membuka suaranya sambil fokus mengemudi. "Vincent memintaku untuk mengajakmu karena kita tidak pernah makan bersama."
Bagaimana Eudith tidak terenyuh akan ajakan tak tersirat itu? Jantungnya bahkan kini berdetak cepat hanya karena ajakan lumrah yang sudah tentu dilakukan oleh para keluarga lainnya. Tapi, apakah layak mereka disebut keluarga?
Eudith hanya berdeham mengiyakan walau nyatanya orang yang pergi bersama mereka nanti bukanlah dirinya, melainkan Eileen, adik kembarnya. Sedikit banyaknya Eudith merasa takut untuk meninggalkan mereka walau tahu bahwa Aeron belum tentu mencintainya. Namun, ia justru takut kalau Eileen mampu merebut Aeron dan Vincent darinya.
Oh Tuhan... Ini menyakitkan.
"Aku akan menjemputmu jam 7 di rumah."
Eudith mengangguk. Ia sampai di sebuah toko yang baru saja dibuka. Eudith melepaskan seatbelt hendak keluar dari mobil sport milik Aeron namun, lelaki itu justru mengunci pintunya dan menyudutkan dirinya. Mata Eudith melebar kala Aeron secara tiba-tiba menyentuh bibirnya dengan kasar. Mencecapnya tanpa ampun dan menahan kedua tangannya di kaca dan kursi mobil.
"Hmmpphh..." Eudith berusaha melawan tapi sia-sia. "Le.... Pas."
Aeron melepaskannya dengan napas terengah. Matanya menggelap. "Kau bertingkah aneh pagi ini." Bisiknya pelan. "Seakan kau ingin pergi jauh." Lanjutnya kemudian membuat Eudith langsung menatapnya nanar.
"Aku~ harus bekerja." Mendorong pelan dada bidang Aeron yang keras dan kokoh.
"Eudith..." Gumaman pelan dari Aeron membuat air matanya langsung mengucur keluar.
Kenapa begitu menyakitkan?
"Kau menangis?" Aeron menghapus air mata Eudith dengan pelan.
"Maaf, tidak akan terjadi lagi." Dengan cepat Eudith menepis tangan besar milik Aeron. Lalu, keluar dari mobil mewah lelaki itu dengan perasaan yang begitu menyakitkan. Padahal, Eudith tak pernah berharap bahwa ini akan terjadi. Biarkan dia tersiksa asalkan jangan lagi orang-orang yang disekelilingnya. Lagipula, dari ingatan-ingatan yang akhir-akhir ini menghantam otaknya, Eudith tampaknya sudah biasa terluka. Terluka karena mengalah dan terluka karena paksaan.
Setelah mobil Aeron menjauh, Eudith melangkahkan kakinya ke dalam toko dan disana ada seorang wanita anggun nan cantik sedang duduk sambil menunggu peresmian pembukaan toko tersebut. Wajah itu benar-benar mirip dengan wajahnya. Namun jelas pakaian yang mereka kenakan berbanding terbalik. Jika Eileen mengenakan gaun selutut, maka Eudith hanya mengenakan kemeja yang digulung sesiku dan jeans hitam biasa.
"Sudah lama?"
Eileen menggeleng dan menunjuk keluar dimana para bodyguard nya menunggu. "Baru saja. Jadi, kau sudah siap?"
"Aku yang seharusnya bertanya. Apa kau siap?"
"Lahir dan batin aku tentu siap." Eileen tersenyum manis. Kemudian, menatap Eudith lurus-lurus. "Jadi, bisa jelaskan detailnya apa-apa saja yang kau lakukan selama ini dan keadaan di rumah Aeron? Mungkin aku bisa improvisasi."
Bagaimanapun, Eudith memang harus menjelaskan banyak hal. Dia tidak akan melewtkan satu hal pun agar tidak ada dari mereka yang curiga. Dan mulai saat ini Eudith akan menjauh dari siapapun termasuk puteranya sendiri.
🖤🖤🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top