HC | 14. Step Mother

Eudith menidurkan Vincent yang terlelap di kamar yang disediakan Aeron untuk lelaki kecil mereka. Ia menatap mata puteranya yang membengkak, dan pipinya yang basah. Mengecup dahi Vincent dengan penuh kasih sayang. Membiarkan Aeron menatapnya dari samping. Setelah menyelesaikan kebiasaan malamnya pada Vincent, Eudith beranjak keluar diikuti oleh Aeron.

"Selamat malam, Pak." Gumamnya pelan, lalu beranjak ke kamarnya sendiri.

Eudith tidak pernah menyangka jika pada akhirnya, lelaki yang mengambil mahkotanya sekaligus menghamilinya adalah penguasa dunia malam sekaligus pembisnis muda yang perusahaannya rata-rata memiliki setiap anak cabang di seluruh negara.

Lalu, setelah mengetahui semua ini, apa yang bisa Eudith lakukan?

"Aaaaa!" Ia memekik saat tiba-tiba Aeron memanggulnya di bahu lalu membawanya ke sebuah kamar utama. "P-pak lepas!" Eudith berusaha memberontak, namun sia-sia.

Aeron meletakkan Eudith di atas kasur empuknya dengan cara yang sama sekali tidak anggun. Kembali untuk mengunci pintu kamar lalu melepas pakaiannya satu persatu.

"A-apa yang kau lakukan?"

"Apapun yang memuaskanku." Dan kemudian, Aeron memerangkap tubuh mungil itu dibawahnya. Kedua tangan Eudith ia satukan di atas kepala dan sama sekali tak membiarkan wanita itu memberontak padanya. Mengecup leher jenjang Eudith yang putih mulus. "Terakhir kita melakukannya, kau sangat menikmatinya, Eudith. Kenapa sekarang kau menolak?"

"H-hentikan..." Desahnya diikuti rengekan yang nyaris membuatnya menangis.

Aeron menyeringai sinis. Menghentikan?! Ia takkan melakukannya. Apalagi, setelah hampir enam tahun mencari keberadaan wanita yang kini terbaring pasrah dibawahnya. Malam itu adalah malam yang tidak bisa dilupakan oleh Aeron. Dan entah mengapa, ia selalu membayangkan Eudith saat bercinta dengan wanita lainnya. Apalagi setelah tahu bahwa wanita ini adalah wanita yang memberikannya sebuah mahkota bermakna walau di negaranya itu tak lagi ada artinya.

Aeron melepas kasar baju yang Eudith kenakan. Menampilkan kembali tubuh elok miliknya yang putih dan bersih. Bagian luka di punggungnya yang tergores hingga ke bahu adalah sasaran utama Aeron. Luka yang membuatnya sadar bahwa Eudith adalah wanita yang ia cari. Dikecupnya luka itu lalu kembali menatap wajah cantik yang terengah. Bibirnya langsung bergerak memagut bibir Eudith yang setengah merekah. Memperdalam ciumannya sambil menggerakkan tangannya ke tempat-tempat sensitif.

Keduanya saling memenuhi keinginan kuat yang selama ini memendam hasrat. Sisa kesadaran nyaris lenyap kala tangan kokoh itu bergerak semakin liar. Membelainya dengan penuh makna hingga timbul rasa menyengat yang membuat kesadaran Eudith langsung tertelan oleh keinginan akan menerima sentuhan lagi dan lagi.

"Menginginkannya, Eudith?" Aeron berbisik seduktif, membiarkan kejantanannya yang berdiri gagah menyentuh pusat intim milik wanita di bawahnya. "Aku akan memberikannya setelah menyiksamu." Lanjutnya kemudian benar-benar menyiksa Eudith dengan gairah.

"Brengsek!" Umpat Eudith saat Aeron sama sekali tak membiarkannya mencapai orgasme.

Aeron kembali menyeringai. "Jawab pertanyaanku, apa kau pernah melakukannya dengan orang lain?"

"T-tidak, ahh..."

Jemarinya bergerak mencengkram rahang Eudith. "Tatap aku dan katakan dengan jujur! Atau aku tidak akan memberikan apa yang kau inginkan."

"Tidak. Aku tidak pernah melakukannya!" Eudith nyaris frustasi. Namun, sebaliknya. Aeron tersenyum puas dan memulai penyatuan yang terasa sangat berbahaya sekaligus nikmat untuk dirinya. Berbahaya karena ia takut takkan bisa berhenti. Lagipula, Eudith tampaknya tak berbohong melihat bagaimana wanita dibawahnya mengeluh sakit dan rapatnya bagian dalam sana yang Aeron rasakan.

Peluh menemani keduanya sampai titik dimana mereka mendapatkan kenikmatan masing-masing. Aeron benar-benar pintar dalam memanjakan wanita terutama ketika bercinta. Dia adalah ahlinya yang mampu membuat kaum hawa terbang tinggi sebelum dijatuhkan ke dasar jurang setelahnya. Ya, itulah prinsip Aeron. Mendapatkan kepuasan lalu membuang wanita bagai sampah.

Eudith benci mengakuinya, namun itulah kenyataannya. Dan hanya tinggal menunggu ia dibuang setelah berhasil menaklukkan Vincent, putera mereka.

Oh, bolehkah Eudith berharap lebih? Akankah ada kesempatan dirinya untuk bersama Vincent?

Dirinya menarik selimut hingga menutupi buah dadanya yang penuh lukisan dari Aeron. Membelakangi lelaki itu agar Aeron tak tahu bahwa ia sejak tadi menahan tangis.

"Tubuhmu milikku, Eudith. Segala yang ada padamu adalah milikku!" Gumaman tegas itu tak membuat tangisan Eudith menyurut. "Jika ada yang menyentuhmu, maka aku pastikan siapapun itu akan mati! Jadi, jaga baik-baik milikku, paham?!"

Eudith hanya mengangguk pelan. Tak berniat menjawab.

"Besok Vincent sudah masuk ke GV school. Aku akan menyuruh Daniel mengantarnya."

Eudith menghapus air matanya cepat. Memilih tidur terlentang sambil menatap Aeron bingung. "Kenapa anda tidak mengantarnya sendiri?"

"Musuhku ada dimana-mana, Eudith. Data Vincent harus dipalsukan atau mereka akan mengincarnya."

Eudith mengangguk walau sebenarnya ia tak setuju. "Dia akan lebih senang jika anda yang mengantarnya."

"Vincent sudah besar dan pintar. Aku yakin dia akan mengerti."

Tak ada lagi bantahan dari mulut mungil Eudith, sehingga ia memilih bangkit untuk beranjak ke kamarnya sendiri dan membersihkan diri. Tangannya tercekal erat.

"Kemana kau?"

"Aku ingin kembali ke kamar."

Dengan sekali sentak, Eudith kembali terbaring dibawah Aeron. "Ini kamarmu, kamar kita." Bisiknya serak kembali menghujamkan gigitan-gigitan kecil yang menuntut pada bahu Eudith. "Bukankah Vincent lebih senang, jika ayah dan ibunya berada dalam satu kamar yang sama?"

Dan yang bisa Eudith lakukan hanyalah pasrah dan kembali menerima serangan yang tak tahu kapan kelarnya.

🖤

"Morning Daddy..." Vincent menyapa Aeron yang baru saja masuk ke dapur untuk melihat puteranya.

"Morning, Son." Mengecup kepala Vincent sebelum memasang dasinya. "Paman Daniel sebentar lagi sampai. Jadi, kau pergi dengannya. Daddy tidak bisa mengantarmu."

Eudith hanya diam saat melihat raut ceria puteranya yang sedikit sendu. Namun, dia tidak bisa mengatakan apapun. Karena Aeron adalah pria tak bisa dibantah ucapannya.

"Baik, Dad." Ucapan Vincent terdengar riang. Tapi Eudith tahu, keceriaan itu tidak sampai pada matanya.

Vincent adalah anak yang sensitif, sehingga ia merasa tidak berhak untuk menuntut sang ayah agar mengantarnya. Lagipula, mereka baru saja berjumpa semalam. Jadi, mana mungkin ayahnya mau mengantarnya ke sekolah.

"Habiskan sarapanmu, Sayang." Eudith berusaha mengalihkan pikiran puteranya. "Ingin Mami siapkan bekal?"

Vincent menggeleng dan tersenyum, "tidak apa-apa, Mom."

Eudith tak ingin memaksa puteranya. Tatapannya beralih pada lelaki yang sudah membuat mood anaknya dipagi hari memburuk. "Anda tidak sarapan, Pak?"

Menggeleng tegas. "Tidak. Olena akan membawa sarapan untukku. Aku pergi!"

Dalam hati, Eudith berdecih. Semalam saja dia terlihat hangat ketika di ranjang, namun diluar konteks tersebut Aeron adalah orang yang tak mampu dikenal siapapun. Ranjang memang dapat mengubah manusia jika sudah berurusan dengannya. Bisa dibuktikan dengan rasa nyeri di pinggangnya dan kewanitaannya hingga sekarang. Ia sendiri bahkan tak lagi mengingat berapa kali mencapai klimaks.

"Siapa Olena, Mom?" Suara mungil Vincent memecah lamunannya. Tepat, setelah Aeron pergi.

Eudith berdecak kesal mengingat semua kejadian semalam. Lalu, dirinya berujar ketus. "Calon ibu tirimu!"

"Jasku ketinggalan," Aeron kembali tiba-tiba membuat Eudith langsung memukul mulutnya sendiri yang berbicara asal.

Apakah pria itu mendengarnya? Berharap tidak.

Sambil beranjak dan memakai jas, Aeron berkata pada Vincent setengah menyindir. "Sepertinya ibu tiri tidak buruk. Ya kan, Son? Apalagi jika dia cantik."

Dan Eudith berharap bisa mencekik lelaki itu hingga mati.

🖤🖤🖤

Gak vulgar kan ya? Nggak dongss 😂😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top