Bab 8

Ada yang menyabotase gue?

Livia merasa Danny terlalu banyak menonton film.

Sudah sehari berlalu, Livia tak ingin mendengar serius ucapan Danny yang biasanya memang tak perlu diseriusi. Namun, tetap saja omongan itu mengganggu banget. Memang sih beberapa hari kemarin dirinya banyak menerima kejadian aneh. Namun, tidak ada yang berarti. Ancaman teror di Mading juga cuman ancaman kosong. Karena hingga saat ini Livia masih baik-baik saja, dan tentu saja anak-anak mading lainnya juga baik-baik saja. Bukannya gadis itu nungguin kejadian buruk, tapi siapa tahu pelakunya akan cepat ketahuan saat berulah di teror selanjutnya. Tidak ada kejadian yang berujung berakhir seperti kata-kata dalam teror itu.

Walau Livia tidak bisa mengenyahkan fakta bahwa kunci pintu kaca Mading kenapa bisa ada di dalam tasnya, padahal kunci itu ada di Nurul sore itu. Jelas Livia merasa memang ada tangan manusia yang resek. Tapi siapa?

Untuk bangkai tikus yang memenuhi meja, pihak sekolah sudah menenangkan dengan fakta tentang tikus-tikus yang sering muncul keluyuran saat malam hari. Tapi bukannya aneh karena tikus itu sudah rusak, hancur tak berbentuk. Berlumuran darah. Bukan sekadar bangkai tikus biasa. Itu artinya tikusnya mati karena dibunuh. Bukannya kalau sekadar kematian biasa tak mungkin ada luka dan berdarah-darah sampai tercecer organ tubuhnya. Siapa yang membunuh para tikus itu. Apa tikus dan darah di mading itu berkaitan erat? Bagaimana cara menyelesaikan teka-teki itu?

Kejadian itu membuatnya lebih semangat menyelesaikan naskah drama sejak kemarin. Demi mengalihkan pikiran. Masalah bertubi-tubi, dijauhi teman dekat karena berantem, dan kesepian tentu saja. Livia jadi memanfaatkan waktu agar tidak kehilangan kewarasan.

Sebenarnya tadi pagi naskah sudah selesai. Naya si PJ naskah itu meminta tolong agar naskahnya diusahakan ada yang ditambahkan detail lagi. Naya ingin naskahnya lebih sempurna.

Livia baru menyelesaikan naskahnya saat jam istirahat pertama. Langsung dicetak di lembaran kertas A4 dan dijilid sekalian olehnya di Koperasi sekolah. Jam istirahat kedua Livia baru bisa menyerahkan ke Naya. Tadi sudah menyerahkan print out naskah drama buatannya ke ruangan anak Ekskul Drama, drama sekolah mereka yang akan tampil di acara pensi Mardi Bakti Youth Time. Untungnya tadi tidak bertemu dengan Danny di ruangan ekskulnya itu.

Sekarang, jam istirahat siang ini baru berjalan lima belas menit berlalu, Livia sudah dipanggil lagi oleh Naya. Entah apa yang ingin dikatakan olehnya sepertinya genting sampai ditelepon. Memanggilnya agar datang ke ruang klub drama. Semoga saja tidak ada si Danny. Livia masih bete dengannya, soalnya tu cowok lebay suka ngarang indah.

"Ada apa, Nay?" tanya Livia saat memasuki ruang klub drama.

Naya menoleh dengan wajah cemas, "Livia, lo nggak salah?" Dia mengacungkan makalah merah yang dikenali sebagai dokumen naskah drama Gadis Berkerudung Merah.

"Emang ada yang salah?" Livia bingung.

"Coba lo baca sendiri, mulai dari halaman 20," kata Naya gemas lalu menyodorkan bundle makalah tersebut kepada Livia dengan kasar.

Livia memandang temannya tidak mengerti, dia langsung membuka-buka segera ke halaman 20. Mata Livia langsung melebar melihat kalimat yang seharusnya tidak mungkin ada tercetak dengan anggun dan jelas di sana. Hawa dingin langsung merayap di tengkuknya.

Gadis berkerudung merah memasuki rumah neneknya yang terletak di tengah hutan. Memang perjalanan yang ditempuh sangat jauh dan melelahkan. Namun, itu tidak seberapa, dia akan bertemu dengan neneknya, melepas kerinduan yang ada. Pintu rumah neneknya tidak terkunci sehingga dia bisa langsung masuk.

Gadis Berkerudung Merah: Nenek!

Nenek: Iya, cucuku. Masuklah!

Suaranya berasal dari belakang gadis berkerudung merah, saat gadis berkerudung merah menoleh, dia sangat terkejut melihat serigala memiliki moncong tajam dan mata berkilatan menyeramkan, yang memakai baju neneknya sedang melayangkan kapak besar ke arahnya.

Gadis berkerudung merah menjerit ketakutan dan berlari menghindar. Namun, sia-sia. Serigala berkapak itu berhasil melukai wajahnya. Wajah sang gadis berkerudung merah berdarah-darah setelah dihujam kapak berkali-kali oleh serigala yang menyamar menjadi neneknya.

Tubuh gadis itu terjatuh dengan wajah sudah rusak dan kepala hancur nyaris terbelah dua. Serigala semakin memperparah dengan menghancurkan kepala sampai darah semakin bercipratan ke segala sisi.

Kurang puas menghujani wajah gadis berkerudung merah dengan kapaknya, serigala yang sedang kelaparan itu mencincang tubuh gadis berkerudung merah hingga menjadi bagian-bagian terkecil. Serigala merebus semua bagian tubuh gadis berkerudung merah di kuali yang besar. Agar semakin lezat serigala mencampurnya dengan segala jenis bumbu milik nenek yang ada di dapur.

"Ini bukan!! Sumpah!" seru Livia membela diri dengan perasaan ketakutan setengah mati.

Naya memandangnya tak percaya. "Lo gila ya bikin naskah drama sekolahan kaya begini? Ini apa?"

"Ini bukan yang asli, sumpah," kata Livia mengulang dengan nada penuh penekanan. Livia maju melangkah mendekati Naya, cewek di depannya itu malah melangkah mundur.

"Lo! Lo, psikopat ya, Vi? Lo kok bisa nulis cerita horror penyiksaan begini?"

"Haaah?? Jangan bercanda deh!" bentak Livia sewot. "Sembarangan lo ngatain orang psikopat!"

"Orang normal nggak mungkin bisa berpikiran begini. Otak lo nggak beres pasti, Vi."

"Kalo lo menilai begitu, ya penulis cerita thriller sadis yang motong-motong daging manusia di novel dan film adalah manusia psikopat semua dong!" Livia mendesis sebal. "Itu kan bagian dari keseruan." Gadis itu berhenti bicara saat menerima tatapan tajam tercengang milik pendengar ocehannya.

Apa cuma dia yang menganggap adegan seram thriller itu berseni?

Dasar bodoh! Kenapa Livia malah difitnah melakukan ini? Sejenak cewek itu ragu, dia memang sempat mengetik cerita itu. Namun, bukan cerita itu yang tadi dia cetak.

Kenapa Livia tidak tahu dari halaman 20 naskahnya berubah, siapa yang mengeditnya? Bukan siapa yang mengedit, atau mengubah, tepatnya siapa yang mengambil draft cerita versi horor itu di folder koleksi cerita buatannya?

Tadi Livia cuman nge-print. Aneh. Saat Livia membaca hasil cetakan tidak ada adegan serigala berkapak itu.

"Lo nggak percaya sama gue? Gue masih simpen softcopy -nya di flashdisk. Mau kita bongkar liat filenya bareng-bareng?" tanya Livia dengan muka panik lalu merogoh saku rok dan kemeja seragamnya. Flashdisk-nya ternyata ada di kelas. "Yang gue kasih tadi siang bukan yang kaya begini. Sumpah, pas jam pelajaran kosong sampe istirahat pertama gue pake buat memperbagus naskah ini. Mana mungkin gue ngasih yang berbeda, dan jelas bukan ini! Lo kan udah baca juga tadi pagi sebelumnya!"

Tatapan takut Naya beralih ke pintu di belakangnya, pintu terbuka di sana ada Danny muncul dengan air muka heran mendapati Naya yang nemplok ketakutan di tembok, dan Livia yang panik.

"Ada apaan sih?" tanya Danny bingung.

"Danny!! Nih, dia stress banget. Drama kita mau dirusak," kata Naya lalu menyambar map merah, menyodorkannya pada Danny. "Lo baca sendiri deh halaman 20."

Danny menerima bundle makalah tersebut membacanya langsung ke halaman 20. Matanya yang kecil bergerak-gerak, ekspresinya langsung menegang, rahangnya yang tegas semakin menyeramkan. Danny langsung melempar tatapannya kepada Livia. Tatapan yang tajam dan mengerikan.

"Memangnya ini yang Bu Indah minta?" tanya Danny dengan suara tajam.

Kontan Livia menggeleng. "Gue beneran nggak tau kenapa ceritanya jadi begitu."

"Gue nggak menyangka ternyata lo punya imajinasi kayak begini," decak Danny kagum. Bibirnya menyeringai sinis. "Ini sadis di luar logika. Lo sakit ya, Liv. Lo nggak serius ya bantuin kita, kenapa alurnya begini? Nggak gue sangka lo bisa begini! Lo main-main ngeledek dikasih kepercayaan sama kita? Kita percaya dan kagum banget sama bakat lo dari dulu, makanya kita minta bantuan."

WHAT? Sekarang jadi Danny yang berani-beraninya menghujat dirinya. Jadi begini rasanya dikatain tepat di depan muka? Livia menggelengkan kepala kuat-kuat.

"Gue juga nggak mengerti kenapa ada narasi teks itu. Buatan gue biasa aja, cerita normal kayak versi pada umumnya." Livia membela diri. "Tadi pagi lo udah baca sendiri kan di file softcopy, Nay."

Naya juga sama bingungnya. "Tapi kenapa berubah jadi seram begitu?"

Danny menghempaskan map merah tersebut ke meja, lalu menarik tangan Livia keluar dari ruangan klub drama. "Lo harus bertanggung jawab," ujarnya.

Livia dibawa Danny tepatnya diseret paksa pergi menjauh dari ruang klub drama.

"Lo mau bawa gue ke mana?" tanya Livia takut.

"Ayo, ke Bu Dina." Astaga, Danny mau membawa Livia ke guru Bahasa Indonesia yang menjadi penanggung jawab Ekskul Mading.

"Nggak! Jangan! Kita selesaikan antara kita aja dulu, Danny!" pekik Livia terengah-engah napasnya. Panik campur capek dibawa pergi oleh Danny dengan buru-buru kasar.

Loh ... loh?

Danny tidak membawa Livia ke kantor guru, melainkan belok ke area belakang gedung sekolah. Pemuda itu membawa Livia ke bangunan setengah jadi yang tadinya ingin dibuat menjadi gedung laboratorium. Namun, terbengkalai lantaran belum ada dana sumbangan lagi. Sedangkan menurut Pak Tono guru Fisika, suasana lembab dan dingin di area sekitar situ tidak terlalu bagus untuk dibangun gedung khusus laboratorium.

Bangunannya yang masih kasar dengan besi-besi pondasi mencuat membuat Livia bergidik takut. Tangganya juga masih berupa semen yang kasar, benar-benar sudah terbengkalai. Area itu lumayan terlarang untuk dijadikan tempat bermain. Risiko kecelakaan dan luka lumayan besar.

"Kok kita ke sini?" tanya Livia dengan suara panik.

Sudah tidak bisa galak sama cowok di depannya itu. Danny sudah menganggap dirinya sakit tadi. Bagaimana bisa Danny akan memandang dirinya sama dengan yang biasanya? Dan, Danny bisa siap menjebloskan Livia ke guru BK atas pelaporan perusakan moral. Livia sadar betul naskah drama tadi memang tidak layak untuk ditampilkan, siapa si keparat yang mengganti naskah buatannya yang banyak mengorbankan waktu tidur? Siapa yang berhasil mengambil curi data dari flashdisk-nya?

Sedetik kemudian dia tersadar akan sesuatu. Atau, memang itu perbuatannya sendiri? Gadis itu menjadi ketakutan saat terbersit bayangan dugaan itu.

Apa beneran gue yang mencetak cerita yang versi horror itu? Gue secara nggak sadar melakukan itu. Apa gangguan itu muncul lagi? Tidak!!!!! Jangan!!!!

Kalau begitu, ini akan semakin berbahaya. Dia berbahaya lagi jika kembali seperti dulu!

"Eh, Danny! Lepasin nggak? Gue nggak mau ketemu sama guru! Please!!" Livia menarik tangannya berusaha melepaskan diri dari tarikan Danny. Namun percuma, cowok bertenaga badak dilawan ya kalah. "Terus kenapa ke sini? Ih, ngapain sih?"

Cowok itu masih berjalan menariknya sampai memasuki bangunan tersebut. Di sana sepi, tidak ada orang lain. Danny mau ngapain. Jangan-jangan dia???

"Eh, tadi akting gue bagus, 'kan? Muka lo panik banget, hahahaha, anjir!" Danny tertawa lalu memainkan alis dengan bibir yang menyeringai usil. Sorot matanya berubah jadi berbinar geli.

"Hah?" Muka Livia berubah jadi pongo.

Danny tergelak di posisinya lalu meraih satu-satunya kursi kayu di situ, menduduki kursinya dengan posisi terbalik, kedua tangan menopang di sandaran kursi. Cowok itu masih tertawa keras. Ingin sekali Livia menjambaknya lalu membenturkan ke lantai yang masih berupa semen kasar. Ngeselin.

"Lo pasti kagum sama bakat akting gue, Liv. Gue cuma akting biar bisa bawa lo keluar dari posisi terjepit tadi." Danny masih tertawa geli. "Hahaha."

Livia menatapnya murka. "Lo .... Lo!!!"

"Iya, gue udah nggak kuat nahan tawa dari tadi di ruang klub. Lo percaya banget sama akting gue sampe keliatan ketakutan gitu. Baru kali ini gue liat reaksi lo begitu deh."

"Cukup! Nggak lucu!" serunya. Livia mulai berang beranjak mau pergi.

"Livia! Lo jangan marah," Panggil Danny sebelum Livia beranjak pergi meninggalkan. "Maaf, kata-kata gue tadi di ruang klub. Gue percaya sama lo kalo itu palingan file ceritanya error."

"Error apanya, itu ketikannya serem! Mana mungkin cuma error!"

"Kalo begitu pastinya ada yang ngetik bagian seram itu, bukan kerjaan lo! Lagi-lagi pelakunya bukan elo dong."

"Kenapa lo percaya sama gue? Kenapa cuma lo yang percaya sama gue? Emang gue ngapain selama ini, hah? Sampe nggak dipercaya sama orang lain? Pelaku? Maksud lo apaan, memangnya gue yang keliatan kayak orang jahat sampe jadi tertuduh terus?"

Livia dapat merasakan seluruh darahnya langsung naik ke ubun-ubun. Dia memang pinter akademik. Namun, sepertinya tidak terlalu pintar untuk menyadari bahwa akhir-akhir ini memang ada yang berusaha menjatuhkannya.

"Pelaku? Maksud lo tentang naskah drama tadi ada yang berusaha mengubahnya? Gue kira itu emang kesalahan gue." Livia jatuh terduduk dengan lutut menempel lantai bangunan yang kasar. "Apa itu ulah gue sendiri?" Gadis itu terlihat memucat ketakutan.

"Kesalahan lo?" Danny sontak menatap penasaran dan heran. "Jadi, maksudnya beneran lo yang menyerahkan naskah berisi narasi cerita horor sadis kayak gitu?" Tatapan mata pemuda itu menampilkan ketakutan yang tak bisa ditutupi. Tatapan takjub, tak percaya, dan was-was.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top