Bab 7

Masih pagi sekali Livia sudah diberikan kejutan. Yeah, pagi-paginya saat sudah bersiap ingin pergi ke sekolah, mobil Revan sudah bertengger di depan rumahnya seperti biasa. Untuk menutupi perasaannya yang sangat senang lantaran cowok itu masih mempedulikannya, Livia tetap memasang wajah setenang mungkin, begitu yang dia kira. Sesampainya di mobil Revan, kaca sebelah kiri terbuka dan Livia menyapanya seperti biasa.

"Pagi, Re!" Sapa Livia tulus.

"Pagi juga. Ayo masuk," sahutnya lempeng.

Di tengah perjalanan setelah mereka menjemput Serryl sesungguhnya suasana seperti ini tidak mengenakkan, semuanya sibuk sendiri-sendiri. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

Apa harus membuka suara agar keheningan ini terpecah?

Apa mengatakan yang sejujurnya sekarang? Tapi apa mereka percaya padanya? Takutnya juga mereka sudah tidak ingin membahas hal itu lagi. Lagian memangnya siapa yang salah? Livia tak mau memulai, kan dia yang dipojokkan oleh dua temannya. Jadi dia putuskan untuk diam. Biarkan waktu berjalan dengan cepat. Biarkan nanti suasana akan mencair sendiri.

***

Dugaannya salah. Ternyata dua orang itu belum benar-benar melupakan kejadian kemarin. Buktinya saja masih mendiami Livia, bahkan sampai tiba di sekolahan. Di parkiran, mereka bubar tanpa mengucapkan sepotong kata pun.

Sebuah telepon masuk ke ponselnya. Dari Nurul, anak kelas 11 Bahasa 1 yang merupakan teman se-klubnya, klub Mading. Kemarin Livia melimpahkan tugas menempel artikel bulanan mading kepada cwek itu. Apa ada masalah?

"Livia!!!" teriak Nurul di seberang sana lewat ponsel, "Lo di mana sekarang? Udah dateng belum?"

"Udah mau jalan ke kelas nih baru masuk gerbang kedua. Ada apa sih?"

"Jangan ke kelas dulu. Mending lo ke Mading, Vi. Buruan. Genting."

Ada apa lagi ini? Telepon dari Nurul terputus. Livia segera melesat ke mading kaca yang terletak dekat podium upacara. Di sekitar mading sudah banyak dikerubungi murid. Tidak biasanya anak-anak murid seantusias ini melihat mading yang baru ditempel kemarin sore. Semakin mendekat Livia tahu apa penyebabnya. Namun, ternyata bukan mading itu yang menarik para murid berkerubung di sekitar lemari kaca mading.

"Nurul!" Panggil Livia pada cewek berambut lurus, panjang, dan berkacamata itu.

"Livia, coba lihat ini deh!"

Tanpa perlu dikasih tahu Livia sudah bisa melihat mading kaca yang berukuran 2 meter dan berisi artikel-artikel baru dirusak dengan darah bertuliskan Kau Harus Mati sehingga artikel mading buatan mereka rusak parah. Livia menggeser kaca mading. Namun, usahanya sia-sia.

"Livia, madingnya kan dikunci," cicit Nurul lirih. Dia juga lemas ketakutan dengan bibir sudah pucat pasi. Keningnya juga sudah berkeringat. Padahal ini masih pagi nan dingin.

"Kuncinya mana?"

"Hilang," Nurul menjawab ketakutan.

Livia menganga tidak percaya. Gila, mana mungkin ini bisa terjadi? Kuncinya hilang. Tulisan yang mengerikan ini tidak bisa disingkirkan sebelum kunci pintu kacanya dibuka. Sial. Selama kunci tidak ada, tulisan ini akan tetap terlihat oleh banyak orang. Untungnya belum ramai banget saat ini, tetapi semakin siang akan semakin banyak yang melihatnya.

"Kok bisa ilang? Kemarin lo pulang jam berapa? Ke mana dulu?" cecar Livia menatap penuh selidik.

"Pulang jam 4. Atau jam 5 ya? Langsung pulang kok."

"Terus?"

"Gue juga nggak tau, Tapi gue sadar kuncinya ilang pas masih di sekolah, pas gue cari-cari di ruang mading juga udah nggak ada. Gue cari di koridor nggak ada. Karena nggak ketemu, gue pulang aja. Gue mikirnya kunci ilang gapapa, toh mading udah ditempel. Kita bisa minta kunci cadangan lagi, tapi kok ada hal lain ini." Nurul terisak menahan tangis. Livia jadi tidak tega.

Di belakang mereka puluhan murid sibuk bergosip kasak-kusuk.

"Gila, siapa yang nulis kayak gini? Niat banget."

"Pake darah. Berarti ini teror."

"Siapa yang diteror?"

"Jangan-jangan ini ulah yang juga mencelakai Tristan? Hantu sekolah?"

"Bubar bubar!!!!" teriak Livia galak mengusir para gerombolan tidak tahu diri, yang bisanya cuman menonton Mading tanpa ada niat memanggil pengurus sekolah.

Kemudian terdengar sorakan kecewa dari para penonton. Nurul pergi untuk memanggil Pak Kus, pemilik semua kunci di sekolah mereka, pokoknya dia pemegang serep kunci sekolah mereka. Setahunya kunci pintu kaca mading ini cuman dipegang oleh anak klub mading dan Pak Kus.

Livia melepas tasnya, membongkar isi tas pada zipper yang besar untuk mengambil parfum, bau anyir dari darah yang bisa ditebak sebagai darah binatang ini sangat merebak dan membuatnya ingin segera muntah. Gadis itu mengambil botol parfum mahalnya yang wanginya tidak akan hilang seharian. Oh, tunggu dulu? Namun, matanya menangkap sesuatu yang sedang mereka butuhkan.

Benda mungil, buluk, dan karatan dengan gantungan pita berwarna orange terselip di antara buku-buku dalam tasnya.

Kunci mading ada di dalam tas gue? Bagimana bisa?

Selagi otaknya berputar memikirkan kemungkinan yang bisa saja terjadi mengenai kunci tersebut, Nurul dan Pak Kus datang dengan gantungan 1000 kuncinya. Livia menepi di pinggir mading masih memikirkan kunci tersebut. Tangannya tanpa sadar mencengkeram erat tasnya sambil was-was cemas takut ada yang menyadari kalau ternyata benda yang dicari-cari sedang berada di dalam tasnya.

Pak Kus membuka kaca mading. "Neng harus lapor Pak Lukman, ini udah bagian dari teror yang merugikan penuh ancaman. Ini bisa membahayakan. Apalagi ini jadi meresahkan murid-murid lain," ucapnya simpatik.

Mereka tidak perlu melapor sebab sang kepala sekolah tersebut sudah datang memandangi mereka dengan cemas.

"Siapa yang melakukannya?" tanya Pak Lukman.

"Tidak tahu, Pak. Kemarin saya memasangnya sekitar jam 4 sore. Saat hendak mau pulang saya menyadari kunci hilang. Saya cari-cari nggak ketemu. Saya cek ke mading masih bersih belum ada tulisan darahnya, jadi kemungkinan dilakukan setelah anak mading bubar."

"Jadi kunci mading dicuri seseorang?" tanya Pak Lukman lagi, kumisnya bergerak-gerak panik. "Kemungkinannya, kunci itu dicuri oleh seseorang yang ada niat buruk. Lalu merusak mading sekolah."

Siapa oknum yang melakukannya lalu mencoba mengembalikan kuncinya secara diam-diam di tas gue ya? Perasaan kemarin saat rapat di aula, gue nggak jauh-jauh dari tas. Kecuali, sebelum pulang ke rumah. Gue mampir ke toilet sebentar untuk buang air kecil, mencuci tangan, dan merapikan baju. Masa iya gue dijebak saat ninggalin tas di westafel? Gue kira udah aman nggak akan ada orang yang bisa ngambil barang, toh isi tas gue kan cuma ada buku. Sialan, gue nggak takut sama maling, malahan kena jebakan orang. Siapa yang melakukan ini?

Kenapa gue kecipratan kena kejadian aneh-aneh terus? Namun, dewa kesialan tidak seberuntung itu.

Cewek itu memutuskan untuk tidak mengakui kunci mading tersebut ada di dirinya, daripada semuanya semakin runyam. Lepas dari kasus pertama, jatuh ke kasus kedua. Sialnya kenapa Livia terus yang kena.

Kenapa dari kemarin ada masalah terus sih?

***

Livia kembali ke kelas dengan langkah gontai. Artikel mading yang sudah rusak berkat darah bau dibuang. Tak ada yang bisa diselamatkan. Masih pagi sudah ada saja masalah yang muncul. Langkahnya terhenti dihadang Rian di dekat tangga kelasnya.

"Kerjaan siapa, Vi? Gue baru tau dari anak kelas yang ngeliat. Tadi pas baru sampe gue langsung naik ngerjain PR. Jadi bulan ini kita harus mengejar bikin ulang artikelnya?" tanya Rian dengan lesu.

Livia menggeleng lemah. "Gue belum tau apa rencana kita selanjutnya. Artikel nggak ada yang bisa diselamatkan. Anak-anak juga pasti capek kalo ngejar buat bikin artikel lagi."

"Aneh nggak sih? Kenapa bisa ada yang membuka kunci mading, menulis kalimat itu dan mengunci kembali kacanya. Jadi, menurut gue, kunci itu sekarang ada di seseorang yang merupakan pelakunya." Rian berkomentar dengan nada penuh selidik.

"Kalo masih dia simpan. Kalo udah dibuang? Gue yakin sih udah dibuang sama orangnya. Targetnya siapa ya? Menurut lo siapa, Yan?" Livia memandang cowok itu.

Rian salah satu anak terpintar di sekolah mereka, ketua OSIS tahun ini. Livia sering bertukar pikiran dengannya karena mereka satu klub, intinya mereka sering saling meminta bantuan. Seperti chat yang tadi malam. Rian juga memiliki logika yang bagus. Wajar saja cowok itu yang menjadi ketua OSIS, bukan Livia. Lagian Livia lebih suka menjadi Wakil Ketua II. Sudah memegang jabatan sebagai Ketua Ekskul Mading soalnya, bisa jadi dia keteteran mengurus banyak kerjaan. Livia sudah merasa adil berbagi peran dengan Rian.

"Cukup pintar kalo dia membuangnya," jawabnya dengan nada senyum. "Gue lihat foto tulisannya yang tertuju untuk satu orang. Kau."

"Iya, juga ya. Satu orang. Siapa kira-kira?" Livia mengangkat bahu. "Udahlah. Semoga nggak ada kejadian kayak begitu lagi. Gue ke kelas dulu ya!" Livia melenggang pergi menuju kelas.

"Kelas lo masih sepi, berani di kelas sendirian?" tanya Rian perhatian, karena gosipnya di kelas 11 IPA 2 ada hantu cewek.

Livia tertawa geli. Dia mendapati beberapa anak kelasnya melewati dirinya menuju kelas itu. "Tuh udah pada dateng, lagian gue sering sendirian nggak ada apa-apa."

Terlihat para temannya sudah masuk ke dalam kelas. Tiba-tiba terdengar suara jeritan kencang dari seseorang di kelasnya. Suara cewek. Livia segera masuk ke kelas 11 IPA 2. Pemandangannya kurang lebih sama seperti di depan mading tadi, kali ini gerombolan anak murid IPA 2 memenuhi mejanya. Saat Livia sampai di meja yang terletak di baris ketiga dari koridor, meja paling depan. Lagi-lagi Livia mencium bau aneh lagi, kali ini bau bangkai, bangkai tikus.

Ivan yang sudah meneliti keadaan segera memakai sarung tangan dari plastik hitam dan mengeluarkan sesuatu dari kolong mejanya.

"Ada apa ini?" Livia celingukan.

"Pas kita masuk kelas udah bau bangkai tikus, Liv. Ternyata baunya berasal dari kolong meja lo. Lo jorok banget sih," kata Santi, salah satu murid ternyinyir dan bigos di kelasnya. Suara nyaring tadi pasti dia. Dia kan lebay banget.

"Mana gue tau? Gue baru dateng. Lagian logikanya mana mungkin tikus bisa ada di kolong meja gue. Minggir!"

Livia melesat membelah kerumunan dan mendekati Ivan. Meski tidak kuat akan bau dan pemandangan yang akan dia dapat, cewek itu harus menghargai usaha Ivan dengan tidak menjerit lalu kabur. Dia tahu bersikap dalam menghargai orang lain. Mana mungkin dia tengil sama orang yang sudah repot-repot membantunya.

Ivan sibuk mengeluarkan bangkai tikus yang ternyata tidak satu. Saat dikeluarkan pun kondisinya sudah tidak jelas dipenuhi lalat hijau, lehernya tersayat, bahkan ususnya ada yang terburai. Hancur lebur bentuknya bagai disiksa dengan sadis. Sial. Ini masih pagi. Bisa-bisa Livia mengeluarkan seluruh isi perutnya.

Setelah anak murid kelasnya mengetahui apa isi kolong mejanya, mereka bubar tanpa diminta sambil melempar tatapan jijik ke arah sang pemilik meja.

Livia menjadi tak suka dipandang begitu, dia hanya bisa menahan emosi yang mengganjal karena tak bisa membalas tatapan manusia di sekitarnya. Mana gue tau? Hah, mana gue tau??

"Ivan, lo oke?" tanya Livia pada cowok yang berani dan tanpa sungkan membantu orang lain ini, dalam artian baik banget.

"Oke. Cuman abis ini gue rasa napsu makan gue lenyap seketika. Huek .... Ini kok bisa banyak banget. Pantes bau banget. Livi, lo panggil Pak Diman ya minta menukar meja aja. Meja ini udah nggak layak lagi dipakai. Selama ada meja ini pasti kelas masih bau busuk."

"Iya. Gue bakal nyari Pak Diman. Eh, anak yang piket hari ini belum dateng. Kita bersihin kelas lebih awal gimana, demi kenyamanan bersama?" Livia harus sedikit patuh ke orang yang sudah membantunya dalam mengangkut bangkai sialan ini.

"Iya, setuju deh harus dipel super wangi ni kelas." Ivan batuk-batuk nyaris muntah. "Ntar pinjem semprotan pewangi ruangan sekalian dari Ruang Guru."

Livia menjadi tidak enak hati, dia segera pergi ke luar kelas untuk meminta bantuan dari Marbot Sekolahan untuk membersihkan bangkai, sementara rencananya dia akan mengerjakan tugas membersihkan kelas. Biar wangi!!

Sepanjang berada di jalan Livia menggerutu. Kenapa para tikus malang ini lebih memilih mati di kolong mejanya sih? Dari puluhan meja di kelasnya, dari ratusan meja di sekolah itu, kenapa mereka memilih mati di kolong mejanya. Seakan menambah beban hidupnya yang sudah berat sekali sejak kemarin.

Saat dalam perjalanan balik ke kelas sudah banyak anak murid bertebaran di koridor deretan kelas 11 IPA. Hatinya Livia langsung mencelos saat melihat sosok mirip Danny bersama teman-teman sekelasnya ikutan bergerombol menyaksikan kejadian aneh dan menjijikan super heboh di sekolah.

Livia mendesis, dia menduga itu cowok bakal ngeledekin dirinya seperti biasa. Makanya cewek itu berusaha mengabaikan, menghindar tak melirik Danny sedikit pun. Saat melihat gelagat Danny mau mendekatinya mengajak bicara, spontan saja Livia langsung berjalan cepat sampai menubruk orang di depan pintu kelasnya. Dia tak mau bicara sama siapa pun! Dia tak mau mendengar komentar ledekan dari Danny.

Setibanya di meja Livia disambut oleh Ivan yang masih berurusan sama bangkai itu. "Livia. Ini punya lo?" Ivan menunjukkannya sebuah serabut ijuk, eh bukan sapu ijuk, melainkan wig rambut berwarna hitam.

"Mana mungkin, hah?!" Livia tak tahan malah berseru penuh emosi. Tidak habis pikir kenapa dia mendapat masalah terus, dan ini masih pagi banget sudah mampu membuatnya kesal sekali. Akan membuat moodnya memburuk sepanjang hari.

***

"Halo Dear!!!"

Livia hampir tersedak menyemprotkan es teh manis yang sedang diminumnya. Kehadiran Danny di tengah waktu istirahatnya semakin memperburuk badmood-nya.

Tahu nggak sih kalo Serryl dan Revan benar-benar mengibarkan bendera permusuhan kepadanya. Yang benar saja ke mana-mana Livia menjadi sendirian, mereka juga tidak menanyakan tentang berita kejadian mading yang dirusak, teror berdarah, dan penemuan bangkai tikus di mejanya. Benar-benar membuat Livia jengkel.

Kenapa sih mereka malah mengabaikan begitu? Apa mereka sedang melakukan aksi menjauhinya, karena ingin pedekate? Kenapa harus menyingkirkan Livia segala? Bilang saja seharusnya daripada menjauh diam-diam tanpa penjelasan.

Berharap didatangi oleh Serryl atau Revan, Danny malah dengan santainya duduk di sebelah Livia. Mengingat pertemuan terakhir membuat Livia berada dalam masalah besar, cewek itu tidak mengindahkan kehadirannya, bangkit dari duduk, beranjak pergi.

Danny mengejarnya di belakang. "Kok pergi gitu aja, nggak bilang makasih atau ngomong apa gitu sama gue?"

"Lo mending auh-jauh dari gue deh. Kenapa harus makasih sama lo? Gara-gara lo kemarin kita jadi terjebak?" pekik Livia dengan nada suara keras penuh menyalahkan.

"Tunggu! Ya, coba aja kemarin lo nongol dari loker, mungkin keadaannya lebih runyam lagi. Dikiranya lo turun dari tangga. Lo masih marah sama gue?" Danny tidak tahu lagi sedang akting atau tidak, tapi raut wajahnya lesu dan sedih. Sepertinya aktingnya berhasil.

"Gue selalu emosi sama lo," jawab Livia.

"Dengerin gue ya, walau nggak bakalan lo gubris. Biarin gue ngomong ini sama lo, gue juga udah tau tentang mading yang ditulisin darah-darah, dan meja lo yang diisi bangkai binatang. Gue kasih tau, Liv. Ada yang lagi berusaha jahat atau usil sama lo! Dia pengen membuli atau menyabotase lo!"

"Alaah, apaan deh sabotase segala? Emang gue ngapain? Selama gue sekolah di sini selama satu setengah tahun gue, nggak punya masalah apalagi musuh. Masalah gue cuman satu, yaitu lo," geramnya. Livia cukup sadis kalo lagi marah. Benar saja kata-katanya sangat menyakitkan.

"Begitu? Jadi, gue cuman jadi masalah buat lo ya? Oke-okeee." Danny meninggalkannya setelah mengucapkan kalimat yang sepertinya sangat merasakan sebuah kekecewaan besar. Dia kecewa? Kenapa dia kecewa sekali?

Bukannya Livia sudah sering kali menghujat cowok itu. Namun, baru kali ini Danny terlihat sangat sedih dan kecewa. Mungkin cowok itu benar-benar terluka atas perkataannya. Padahal memang begitu kenyataan benarnya.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top